History

Sejarah Depok dalam Buku Novel Fanny Jonathans Poyk, Ibu Pada Bait Kenangan

Sejarah Depok dalam Buku Novel Fanny Jonathans Poyk, Ibu Pada Bait Kenangan

ruzka.republika.co.id--Wartawan senior yang juga novelis, Fanny Jonathan Poyk meluncurkan buku Sebuah Novel Depok, Tentang Ibuku, Kota Depok, Feminisme, Filsafat Kehidupan dan Cinta pada diterbitkan Kosa Kata Kita (KKK) pada September 2023. Berikut kisah Bagian Pertama, Ibu Pada Bait Kenangan.
 
Orang yang mengenal dia memanggilnya Lena, nama yang singkat dan mudah diingat. Nama panjangnya Maria Magdalena. Namun nama asli yang diberikan sang Avah adalah Thio Ok Nyo. Dia berdarah campuran China dan Kampung Manggah. Sebuah kampung yang berada di tengah Kota Depok, Jawa Barat. Ibunya berasal kampung itu. Dia Ibuku.

Menurut penuturan Ibu, dia lahir sebelum Jepang menjajah Indonesia. Barangkali sekitar tahun 1927-an. Dulu Ibu juga menuturkan kalau Nenekku selalu menjelaskan padanya bahwa usianya hampir sama dengan umur pohon beringin yang tumbuh rindang di halaman rumahnya, rumah dengan dinding bambu bercampur tanah liat yang terletak di sebuah perkampungan orang-orang Depok Lama, tepatnya di kampung yang dulu bernama Rawa Kandang dan sekarang sudah berganti nama menjadi Jalan Bungur.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kampung Depok Lama penduduknya ada yang berasal dari suku Ambon, Timor, Bali, Jawa, Maluku, dan beberapa suku di Indonesia lainnya. Komunitas ini kemudian disebut Kaoem Depok dan orang-orang yang mengetahui tentang keberadaan mereka, kerap menyebut nama mereka dengan bahasa satir yang mengandung sinisme dan candaan, yaitu Belanda Depok.

Konon dahulu, pada generasi pertama dan kedua, orang-orang Kampung Depok Lama, fasih berbahasa Belanda, meski mereka berasal dari suku-suku di seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Diperkirakan, kemahiran berbahasa Belanda itu telah menjadi bahasa sehari-hari mereka dengan sang majikan yang rata-rata berasal dari negeri kincir angin.

Sekarang di era milenial ini, generasi yang tersisa tak lagi piawai berbahasa negeri penghasil keju tersebut. Meski demikian, generasi muda yang kebetulan ikut kursus bahasa Belanda atau kuliah mengambil jurusan Sastra Belanda di berbagai universitas baik negeri atau swasta, mengerti bila diajak berkomunikasi dengan bahasa itu.

Dahulu pula, sebutan Belanda Depok kerap membuat orang-orang Kampung Depok Lama kesal, mereka secara tidak langsung merasa mengalami diskriminasi dan ucapan itu sangat menyentuh ranah kehidupan pribadi mereka, padahal mereka orang Indonesia asli.

Ada kisah yang lucu namun berbau satir atau sindiran juga, jika orang-orang Bogor naik kereta api melewati Stasiun Depok Lama, dari dalam kereta ada vang nyeletuk atau berkata, “hmmm kita sudah masuk di areal Belanda Depok, bau keju mulai tercium!"

Sindiran itu kerap membuat penumpang yang naik kereta api dari stasiun Depok Lama merasa tersinggung. Di dalam gerbong tak jarang terjadi saling sahut-menyahut dengan nada kesal perihal sindiran itu.

“Daripada elu, bau tales Bogor yang udah busuk!" sahut salah seorang penumpang dari Kampung Depok Lama.

Jika sudah demikian maks tawa dan suara 'huuuuu' yang panjang terdengar dari dalam gerbong kereta yang mengangkut para penduduk Bogor, Citayam, Cilebut, Bojonggede dan Depok untuk pekerja di Jakarta. Barangkali kala itu perihal tentang HAM (Hak Azazi Manusia) dan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) belum menjadi masalah yang krusial yang berkaitan dengan ketersinggungan secara verbal.

Ibuku yang berdarah China dan Betawi, berasal dari dua kampung yang ada di Depok, yaitu Kampung Liok dan Kampung Manggah (Orang di kampung itu menyebutnya demikian, kampung Mangga ditambah konsonan h menjadi Manggah).

Namun sejak lahir Ibu sudah menetap di Kampung Liok. Kalau dari silsilah keturunan pihak Engkong, Ibu sudah tak ingat lagi letaknya di China daratan yang bagian mana.

Menurut Ibu, kata Engkong pokoknya dia berasal dari China. Engkong hanya tahu ia ber-she atau marga Thio. Letak kampung Ibu dekat dengan terminal Depok dan stasiun kereta api Depok Baru sekarang. Juga dekat dengan Kampung Depok Lama.

Ayahnya yang asli dari China atau Tiongkok yang bermarga Thio itu, akrab disapa Engkong Tjun, nama lengkapnya Thio Teng Tjun. Sedangkan nama Ibuku yang asli, Thio Ok Nyo, sanak famili dan saudara-saudaranya kerap memanggil Ibu Enci Nyonyo dan nama Maria Magdalena atau Lena dipakai Ibu setelah ia dibaptis menjadi penganut Kristen Protestan.

Masa kecil Ibuku, berbarengan dengan pergolakan revolusi di mana Indonesia menuntut kemerdekaan dari tangan penjajah, khususnya Belanda dan Jepang. Masa itu membuat Ibu dan kedua orangtuanya harus pandai-pandai menjaga diri agar bisa selamat dan tidak dicurigai sebagai mata-mata, khususnya oleh tentara Jepang.

Menurut cerita Ibu, keturunan campuran pada masa itu kerap menjadi pusat perhatian dari tentara Kolonial Belanda maupun Jepang. Mereka dianggap sebagai warga non pribumi yang tidak bisa dipercaya, apakah benar. benar berada di pihak penjajah atau penduduk asj Indonesia.

Tak jarang tentara Republik pun (Indonesia) kerap mencurigai Engkong. Entah apa sebabnya, Ibu hanya mematuhi perintah kedua orangtuanya agar ia berhati-hati di dalam bergaul dan membawa diri.
Jangan sampai salah berbicara pada siapa pun, harus waspada.

Kala itu, beragam penderitaan akibat penjajahan pernah dirasakan Ibu, Engkong, Nenek dan semua saudara kandungnya. Saudara kandung Ibu berjumlah empat orang, jadi jumlah total semuanya lima orang, termasuk Ibu. Yang paling tua Ibu, lalu Enci Nona, kemudian ada Thio Beng Tjoa atau Paman Beng, Thio Beng Ing kerap dipanggil Paman Ing, dan Thio Beng Hwat atau Paman Hwat.

Tiga saudara Ibu yang laki-laki ini mengikuti agama isteri mereka yaitu Islam, mereka menyebar kemudian tinggal di sekitar Bojonggede, Citayam, Sawangan, serta Cibinong, tiga wilayah yang ditulis di awal masih termasuk ke dalam wilayah Depok.

Mungkin mereka telah beranak dan bercucu dan menyebar di seluruh Depok hingga ke Cibinong, Bogor atau daerah lainnya.

Baca Juga: Keren, Komunitas Kampoeng Kita Depok Manfaatkan Lahan Tidur Berencana Bangun Food Estate Ditengah Kota

Ketika Ibu dan Ayahku telah tiada, jalinan persaudaraan itu pupus oleh berjalannya waktu dan ketiadaan kabar dari mereka, termasuk aku dan keluargaku. Semua kembali ke keluarga inti, tak tahu lagi di mana saudara-bersaudara Ibuku itu berada.

Sedangkan Ayahku, merupakan anak tunggal yang diangkat anak oleh Ibunya, akrab ku panggil Oma Janah. Suaminya orang Depok asli, Opa Steve Jonathans, itu sebabnya aku dan saudara-saudaraku bermarga Jonathans, mengikuti marga Ayah.

Tak ada yang tahu secara pasti asal-usul Ayahku. Ada yang mengatakan dia dari Cirebon atau Kuningan, kami tak bisa mencari tahu tentang akar keberadaan darimana ia, waktu telah mengubur semua kisah tentang Ayahku. Yang pasti Ayah sosok yang cerdas dan berpendidikan tinggi setingkat Akademi.

Kala itu pendidikan Ayah sangat dihormati dan tidak dianggap sebelah mata. Ia bergelar sarjana muda teknik bangunan, entah gelar itu ada atau tidak, yang pasti Ayahku memang menguasai bidang bangun-membangun, ia pernah membangun sebuah hotel besar di Bali, itu terjadi sekitar tahun tujuh puluhan.

Barangkali penderitaan yang dirasa berat pada masa Ibuku masih muda adalah yang berkaitan dengan pangan juga penyakit, sebab pada zaman Jepang, Ibu pernah menuturkan beras sulit diperoleh. Andai pun ada, harus dibeli dengan harga yang cukup mahal.

Baca Juga: Perempuan di Kota Depok Diminta Terlibat dalam Pembangunan

Sedangkan beragam penyakit yang muncul belum ditemui obat penangkalnya. Penyakit seperti disentri, cacar, kaki gajah serta datangnya kutu busuk, sempat membuat Ibu dan saudara-saudaranya, termasuk orangtuanya kewalahan.

Di tengah pandemi dari ragam penyakit itu, Ibu dan keluarganya harus tetap bertahan. Belum lagi tentang garis keturunan yang kerap menjadi masalah di kehidupan mereka pada masa itu.

Ibu bersama Ayahnya juga Nenek, masih selalu disangka mata-mata musuh oleh kedua belah pihak. Pihak tentara Jepang lah yang paling gencar mengintip semua aktivitas Engkong. Lelaki yang sangat fasih berbahasa Indonesia dengan dialek Betawi-Liok ini, kerap merasa kesulitan di dalam memposisikan dirinya sebagai warga keturunan China.

Meski berwajah Indonesia, ia selalu merasa tak nyaman ketika tentara.Jepang memata matal gerakannya. Ditambah dengan kekurangan bahan makanan yang menjadi musuh krusial di dalam rumahtangganya, Engkong merasa keadaan kehidupannya kian bertambah berat.

Begitu juga keberadaan para jawara ahli Ilmu silat teman-teman Engkong, mereka juga merasa gelisah karena selalu dicurigai oleh tentara Jepang.

Pendek kata, masa itu ketentraman hidup tak lagi dirasakan oleh Engkong dan kawan-kawannya, mereka dianggap sebagai mata-mata tentara Republik oleh Jepang.

Ibu menuturkan, kehidupan memang berubah drastis pada saat zaman penjajahan baik Belanda maupun Jepang Kemudian Nenek mengambil alih tugas Engkong sebagai pencari nafkah untuk anak-anaknya.

Dia dan Ibuku bekerja sebagai penanam padi di sawah tuan-tuan tanah Kampung Depok Lama yang telah dibebaskan dari perbudakan dan diberikan tanah oleh Tuan Cornelis Chastelein.

Kami menggarap sawah, menyiangi tanah agar bisa ditanami padi dan tanaman palawija lainnya. Selain memperoleh upah, nanti jika padi telah siap dipanen, kami memperoleh beberapa bagian sesuai dengan perjanjian. Selain itu, Nenek dan Ibu juga bekerja mencari makanan untuk peliharaan kambing, kerbau dan babi mereka.

Nenekmu yang dahulu putri seorang tuan tanah di Kampung Manggah, yang memperoleh warisan cukup luas di sekitar kampungnya, melepaskan semua itu. Disela menderita dan bekerja keras agar kami bisa makan.

Engkong benar benar tak berdaya, sebab ia selalu menjadi incaran tentara Jepang. Ruang geraknya sungguh sangat terbatas.

Kala itu ia tak bisa lagi menjadi centeng di pasar atau melindungi rumah serta warung warung orang kaya di sana. Engkong selalu bersembunyi, menghindar dari satu tempat ke tempat lain.

Selain membantu Nenek, Ibu juga berkisah tentang bagaimana dia mengantri pembagian beras dari pemerintah Jepang dan Belanda, tidur bersama kutu busuk yang memenuhi kasur tempat dia dan saudaranya beristirahat.

Makan dengan nasi bercampur bulgur atu jagung, semua itu juga sering dia dan saudara-saudaranya alami. Jangan ditanya tentang penyakit pandemik yang datang tanpa Isyarat, mereka sudah terima dengan keadaan seperti itu.

Masa pergolakan di mana Indonesia masih berjuang keras untuk merdeka dan melepaskan diri dari penjajah, adalah masa yang mungkin dirasakan oleh semua bangsa di seluruh dunia. Teramat memedihkan. Dan, situasi ini lambat-laun membuat meraka menjadi terbiasa.

Hidup dikejar-kejar tentara Jepang juga Belanda dan dicurigai sebagai kaki tangan tentara Republik membuat Engkong pasrah terhadap keadaan saat itu. Meski demikian, kesetiaan Engkong Thio Teng Tjua, Nenek, Ibu dan kami semua pada NKRI (Negara Kasatuan Republik Indonesia) jangan diragukan lagi.

Setelah Jepang menyerah, Engkong kemudian dipercaya menjadi penjaga beberapa toko milik pribumi di pasar Depok Lama. Kala itu peperangan antara tentara pribumi dan Jepang mulai jarang terjadi. Perdagangan kembali menggeliat lagi.

Sesekali tentara Jepang mendatangi toko-toko kelontong milik para pribumi. Engkong seorang jawara yang sakti mandraguna kerap terlibat secara tidak langsung ketika Jepang mendatangi toko-toko para pribumi itu dan membentak-bentak sang pemilik sambil menekan-nekan kepala mereka dengan popor senjata. Biasanya, dengan caranya Engkong bisa mengusir mereka.

Engkong yang Sakti Mandraguna. Engkong terkenal akan ilmu silat dan ilmu metafisik yang sulit dicerna dengan logika.

Aku tidak tahu dari mana kesaktiannya diperoleh, menurut Ibu, dulu Engkong rajin berpuasa dan bertapa ke tempat-tempat yang angker di sekitar kali atau sungai Ciliwung dan daerah Bogor sekitarnya.

Engkong kenal para jawara di daerah Bogor dan Depok. Untuk memperdalam ilmu tenaga dalamnya, barangkali ia belajar pada para jawara itu. Konon Engkong dapat menghilang secara tiba-tiba.

Kisah tentang Engkongku ini memiliki akurasi fakta yang seimbang, artinya antara percaya dan tidak kadarnya lima puluh persen-lima puluh persen. Dan aku sebagai cucu, tetap mengagumi Engkongku yang tampan mirip bintang film China Chou Yun Fat atau Jet Lee itu.

Barangkali kekagumanku pada Engkong, sama kadarnya dengan rasa kagum ku pada Ayah. Ayahku yang mahir berbahasa Belanda termasuk tata bahasanya, sering membuatkan surat permohonan untuk warga Kampung Depok Lama yang hendak hijrah ke Belanda. Ketika ditanyakan mengapa Ayah tidak ikut-ikutan memboyong keluarganya pergi ke negeri bunga tulip itu, lelaki yang sejak lahir menetap di Kampung Depok Lama ini hanya berkata bahwa ia sangat mencintai tanah airnya Indonesia, khususnya tanah tempat ia dibesarkan.

Ayah orang yang jujur dan agamais. Seperti yang kukatakan, ia ahli di dalam menghitung dan menggambar serta merancang sebuah bangunan.

Di masanya, Ayah mungkin bisa dibilang seorang arsitek atau insinyur bangunan yang piawai. Ia mengajarkan kami anak-anaknya untuk selalu mematuhi perintah agama yang kami anut.

Sedang Engkong Thio Teng Tjun masih beragama Kong Hu Tzu, dan Nenek beragama Islam namun dia tidak serius menjalaninya, tampaknya Nenek mulai mengikuti keyakinan yang dianut Engkong. (Bagian Pertama)