Petrus, Cerita Masa Lalu yang Tebarkan Teror ke Para Pria Bertato
ruzka.republika.co.id--Setiap malam, seorang pria yang kerap keluar masuk penjara, Tato Anggara kerap gelisah saat menonton berita di televisi, ditemukannya mayat seorang pria bertato tanpa identitas di jalan atau di pinggir sungai. Berita-berita tersebut selalu bermunculan setiap harinya di koran dan televisi dengan narasi diduga korban penembakan misterius (Petrus).
Para pelaku Petrus beraksi di berbagai kota besar di Indonesia, menculik dengan menyasar para penjahat dan pria bertato, terutama yang memiliki catatan kriminal atau di anggap preman yang menganggu ketertiban umum.
Beragam saksi mengungkapkan, bahwa para korban Petrus diculik sekelompok orang yang menggunakan kendaraan jenis Toyota Hardtop. Mayatnya ditemukan dengan luka tembak di kepala dan leher.
Toto yang memiliki tato di sekujur tubuhnya pun, tidak pernah tidur nyenyak setiap malam saat berbaring hendak memejamkan mata. Terbayang, jika juga akan menjadi korban Petrus.
Selain tidak keluar rumah, salah satu langkah agar setidaknya terhindar dari kejaran pelaku Petrus, Toto memutuskan untuk menghapus seluruh tato yang ada di beberapa bagian tubuhnya.
Tidak berpikir panjang, Toto pun menghapuskan tatonya dengan menggunakan setrikaan. Sakit memang, tapi itulah yang segera dilakukan Toto agar setidaknya berpeluang terhindar jadi incaran Petrus.
***
Pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Suharto, pada 1982 menggelar operasi pemberantasan kejahatan dikenal kala itu dengan istilah Petrus.
Istilah Petrus dipakai media massa karena para korban tewas karena luka tembak dari para pelaku yang tidak pernah berhasil ditangkap aparat kepolisian atau pelakunya masih misterius.
Operasi ini menargetkan orang-orang yang teridentifikasi sebagai kriminal. Para pria yang bertato dicurigai sebagai pelaku kriminal atau preman.
Pada tahun 1980-an, angka kejahatan di Indonesia begitu tinggi, khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Maret 1982 dalam suatu rapat, Presiden Suharto meminta Polri dan ABRI untuk mengambil langkah efektif dalam menekan angka kriminalitas yang sedang tinggi-tingginya.
Presiden Suharto mengulang kembali permintaannya tersebut dalam pidatonya pada 16 Agustus 1982, permintaan ini dipustuskan dalam sebuah rapat dengan Polri dan ABRI yang dilakukan pada Januari 1983 dengan memberlakukan Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) yang dilaksanakan oleh aparat gabungan dari kepolisian dan militer.
Pemerintah menetapkan kebijakan OPK guna menumpas kriminalitas secara cepat dan tepat, sebab proses hukum dinilai kurang efisien dalam menyelesaikan berbagai masalah kejahatan. OPK yang kemudian dikenal masyarakat melalui media massa saat itu dengan istilah Petrus.
Teror pun ditebar. Aksi pertama Petrus dimulai saat Letkol M Hasbi dari Kodim Yogyakarta melakukan operasi pemberantas kejahatan pada Maret 1983. Semula hanya melakukan pendataan para pelaku kriminal.Namun kemudian operasi pemberantasan penjahat berkembang ke penculikan dan penembakan hingga mati.
Aksi pasukan Petrus tak segan menembak siapa saja yang anggap sebagai sampah masyarakat, seperti para pelaku kejahatan hingga para preman. Kala itu para pria bertato di cap sebagai preman atau penjahat.
Para korban Petrus pun memiliki ciri yakni pelaku kejahatan, memiliki catatan kriminal dan orang-orang bertato. Mati dengan luka tembakan di kepala dan leher serta mayatnya ditemukan dalam karung atau tergeletak di pinggir jalan, sungai atau ditempat-tempat umum yang mudah ditemukan warga. Kemudian, penemuan mayat korban Petrus selalu menghiasi pemberitaan media massa.
Hal tersebut sepertinya disengaja, dijadikan sebagai efek shock theraphy yang sangat ampuh untuk membasmi pelaku-pelaku tindak kejahatan meminimalisir angka kejahatan.
Petrus menciptakan kontroversi. Tercatat selama tahun 1983 sebanyak 532 orang mati akibat penembakan oleh Petrus.
Aksi pasukan Petrus yang dianggap melanggar HAM ini memang berhasil menurunkan tingkat kriminalitas di Jakarta, Yogyakarta dan Semarang. Angka kejahatan mengalami penurunan yang drastis.
Karena dinilai berhasil, operasi ini terus dijalankan oleh pemerintah hingga secara perlahan berakhir menghiasi pemberitaan pada 1986 setelah mendapat protes para penggiat HAM internasional.
Hingga sekarang tidak ditemukan bukti korban Petrus itu dilakukan para aparat gabungan kepolisian dan militer. Namun, Presiden Soeharto di buku Dalam Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto mengakui bahwa Petrus digunakan untuk mencegah kejahatan dengan langkah yang efektif, dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera di masyarakat agar tidak melakukan tindak kriminalitas.
"...Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu. Maka kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang menjijikan tersebut". (Rusdy Nurdiansyah)