Galeri

Kenapa Masjid Agung Al Azhar Jakarta Sholat Idul Adha 1444 H Berbeda? Ini Penjelasannya

Sholat idul Adha 1444 H di Masjid Agung Al Azhar Jakarta, Rabu (28/06/2023).

ruzka.republika.co.id--Banyak masyarakat Indonesia mempertanyakan mengapa penentuan tanggal Idul Adha oleh Pemerintah Indonesia berbeda dengan yang ditetapkan Kerajaan Saudi Arabia. Tentunya hal ini diiringi dengan pengetahuan mengenai era digital yang semakin modern, yang mampu memperlihatkan keadaan bumi secara utuh, dan mampu menembus ruang dan waktu sehingga apa yang terjadi dibelahan dunia lain dapat dilihat dari belahan dunia yang lainnya.

Ketua Lembaga Falakiyah PBNU, Drs. K.H. Sirril Wafa, M.A. menjelaskan bahwa awal bulan syariyyah bisa saja berbeda karena perbedaan posisi hilal sebagai penentu bulan baru dan posisi hilal umumnya lebih tinggi di bagian bagi negara yang ada di sebelah barat, daripada negara yang berada di bagian timur.

"Untuk awal Zulhijah tahun 2023 ini, posisi hilal di Indonesia pada hari Ahad tanggal 18 Juni 2023 yang lalu baru berkisar antara kurang dari 1 derajat hingga sekitar 2 derajat, dan kebetulan pada saat itu juga hilal dilaporkan tidak terlihat di seluruh Nusantara. Maka, digenapkanlah (bulan Zulkaidah) menjadi 30 hari," jelas Siril Wafa sebagimana dilansir dari akun Instagram resmi Ditjen Bimas Islam Kemenag RI (@bimasislam), Rabu (28/06/2023).

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Pemerintah Indonesia, dalam menentukan awal Dzulhijjah, menggunakan kriteria MABIMS, yakni unifikasi atau proses penyeragaman dalam kajian fiqih yang ditetapkan secara bersama oleh Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura, yang kemudian disingkat MABIMS.

Pandangan mengenai Rukyat Global (Hanafi, Maliki, dan Hambali) berbeda dengan pandangan mengenai Rukyat Lokal (syafi'i), oleh karena itu, Kriteria Mabims dibangun atas dasar pengamatan global jangka panjang, pendekatan multidisipliner, hingga kajian astronomi.

Jadi kriteria Mabims ini dibangun dengan data rukyat dan dianalisis secara hisab serta merupakan titik temu bagi pengguna metode rukyat dan metode hisab. Akan tetapi, pada sidang isbat pada hari Ahad, 18 Juni 2023 yang lalu telah disampaikan bahwa posisi bulan memang belum mencapai kriteria hilal, yang ketika itu teramati tingginya 0 derajat 20 menit sampai 2 derajat 36 menit, dengan sudut elongasi antara 4 derajat 40 menit sampai dengan 4 derajat 94 menit.

Sehingga diputuskanlah bulan Zulkaidah digenapkan menjadi 30 hari dan akhirnya tanggal 1 Zulhijjah kita berbeda dengan Arab Saudi.Lantas mengapa ada masyarakat yang mengikuti keputusan pemerintah dan ada yang tidak?.

Secara hukum, memang tidak ada sanksi bagi yang tidak mengikuti keputusan pemerintah terkait dengan penentuan tanggal hari raya, artinya semua bebas menentukan mazhab mana yang hendak digunakan. Akan tetapi setiap ada perbedaan pasti menimbulkan kegaduhan.

Masjid Agung Al Azhar menjadi salah satu masjid yang kali ini berbeda dengan Pemerintah dalam hal penentuan hari raya Idul Adha. Penjelasannya sederhana, hari raya Idul Adha adalah hari dimana jemaah haji telah usai melaksanakan wuquf di arafah.

"Kita yang tidak berkesempatan pergi haji dari seluruh dunia, turut merayakannya dengan cara shalat berjamaah Idul Adha. Perbedaan pendapat mengenai rukyat dan hisab masih dapat diterima untuk Idul Fitri. Karena itu, Masjid Agung Al-Azhar selalu mengikuti keputusan Pemerintah sebagai “ulil amri” mengenai jadwal puasa Ramadhan dan Idul Fitri," ungkap Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie selaku khatib pada Sholat Idul Adha di Lapangan Masjid Agung Al-Azhar, Rabu (28/06/2023).

Tetapi untuk Idul Adha, lanjut Jimly, patokannya adalah wukuf di padang Arafah yang jadwalnya sudah diumumkan sejak minggu lalu, dan sudah dilaksanakan tadi malam pada 27 Juni. "Maka kita melaksanakan sholat Idul Adha pada 28 Juni 2023, mendahului tanggal yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai ulil-amri," terangnya.

Aisyah Tiar Arsyad, S.E., MBA., Dosen Universitas Al-Azhar Indonesia, sebagai salah satu masyarakat Indonesia yang turut merayakan Idul Adha pada hari Rabu menjelaskan bahwa, memang perdebatan mengenai perbedaan hari perayaan Idul Adha ini cukup membuat kegaduhan. Banyak masyarakat yang kemudian menjadi berdebat mengenai mana yang paling benar.

"Di lingkungan saya saja banyak yang akhirnya berusaha untuk menjelaskan hari apa yang paling benar, perbedaan hari memang jadi menimbulkan kegaduhan. Tapi apapun itu, menurut saya keduanya benar. Tidak ada hari yang salah," ungkap Aisyah.

Dia menyampaikan bahwa, mayoritas masyarakat Indonesia adalah bermazhab Syafi'iyah. Mazhab yang berpatokan pada rukyat dan hilal dalam menentukan hari kabisat di suatu wilayah negara. Sementara mazhab lainnya, sebut saja Maliki, mengikuti rukyat dari masjidil haram.

"Masjid Agung Al-Azhar berpendapat bahwa dalam menentukan hari raya Idul Adha, seharusnya kita mengikuti jadwal jemaah haji. Karena salah satu makna Idul Adha adalah merayakan hari dimana jemaah haji selesai wukuf di Arafah. Karena Indonesia lebih cepat 4 jam dari waktu di Arab Saudi, maka momentum hari raya Idul Adha seharusnya hari rabu, karena Indonesia maghrib duluan dari Arab Saudi," papar Aisyah.

Mengenai penentuan kriteria MABIMS, Aisyah tidak mempermasalahkan hal tersebut, hanya saja di era globalisasi seperti saat ini, seharusnya dapat dipertimbangkan bahwa saat ini sudah diketahui bahwa bumi itu bulat dan satu, satelit bumi yang bernama bulan hanya ada satu, dan penentuan penanggalan jangan berbasis suatu negara.

"Kadang saya bingung juga dengan penjelasan mengenai mengapa hilal terlihat lebih jelas di Arab Saudi, yang katanya karena berada di barat Indonesia. Ini kan persfektif manusianya, Arab Saudi lebih berada di Barat, karena manusianya berdiri di bagian timur," terangnya.

Lanjut Aisyah, bumi ini bulat, satelit bumi yang bernama bulan cuma ada satu. Di China juga ditentukan hari Idul adha jatuh pada hari Kamis, karena hilal tidak terlihat padahal mereka juga di bagian barat. Maroko yang berada di barat Arab Saudi juga kamis. Semua menentukan hari itu hanya karena tidak melihat hilal. Semua berbasis pada negara, padahal rentang waktu seharusnya tidak berbasis negara. Karena buminya sama. bulannya sama.

"Saya berharap suatu saat nanti akan ada konsensus ummat Islam seluruh dunia untuk menentukan hari penanggalan ummat islam. kan bagus kalau kita kompak. masa negara bersebelahan tapi penanggalannya berbeda cuma karena di negaranya hilal tidak terlihat," harapnya.

Memang tidak ada yang salah, bagaimana cara menentukan semuanya telah sesuai dengan kajian fikih dan tidak bertentangan satu sama lain. Imam Maliki merupakan guru dari Imam Syafi'i. keduanya saling menghormati satu sama lain meskipun berbeda pandangan terhadap satu dan beberapa hal.

"Kedua imam yang diikuti jutaan orang ini saja saling menghargai pendapat satu sama lain, seharusnya kita sebagai 'manusia biasa' juga bisa memaknai perbedaan sebagai suatu karunia dari Allah SWT," tutur Aisyah. (Rusdy Nurdiansyah)