
Sejarah Hari Buruh: Refleksi atas Perjuangan dan Harapan
Khazanah | 2025-05-02 02:33:09
Mayday atau Hari Buruh Internasional di peringati setiap tanggal 1 Mei. Peringatan ini menjadi sebuah bentuk penghormatan bagi para buruh untuk mendapatkan kesejahteraan nya dalam bekerja. Dalam sejarahnya, May day tercetus pada akhir abad ke-19 di Amerika Serikat. Pada saat itu – lebih tepatnya pada tahun 1884 – Federasi Serikat Buruh dan Perdagangan Terorganisir (FOTLU) di Amerika Serikat melakukan sebuah kongres dan melakukan ultimatum bahwa pada 1 Mei 1886, mereka akan memperjuangkan hak kerja menjadi 8 jam. Hal yang mendasarinya adalah pada masa itu, para buruh bekerja hingga 10 hingga 16 jam sehari dengan upah rendah dan kondisi kerja yang tidak manusiawi. Sehingga kemudian, tuntutan tersebut di kenal dengan slogan “8 jam kerja, 8 jam istirahat, dan 8 jam rekreasi”.
Dua tahun berselang. Pada 1 Mei 1886, sekitar 350.000 buruh di Amerika Serikat kemudian melakukan aksi mogok kerja dan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja. Aksi ini dilakukan di Chicago selama 4 hari hingga tanggal 4 Mei 1886. Naas nya, pada hari terakhir terjadi sebuah insiden pelemparan bom ke arah polisi di Haymarket Square yang menyebabkan kematian beberapa orang. Dari insiden tersebut kemudian memicu kekerasan antara Polisi dengan para buruh, sehingga di kenal dengan Tragedi Haymarket.
Dua tahun kemudian. Tepatnya pada tahun 1889, kembali diadakan nya kongres untuk para buruh. Kongres Buruh Internasional kemudian di gelar di Paris dan memutuskan untuk memperingati peristiwa Haymarket dengan mengadakan unjuk rasa setiap tanggal 1 Mei. Sejak saat itulah kemudian setiap tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional, sebagai bentuk solidaritas dan penghormatan terhadap perjuangan buruh di seluruh dunia.
Sejarah Mayday di Indonesia
Di Indonesia sendiri sebenarnya telah ada sejak masa Hindia Belanda. Pada masa itu, salah satu organisasi buruh bernama ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) sudah mulai menyuarakan perjuangan hak-hak buruh, termasuk jam kerja, upah, dan perlindungan sosial. Sampai pada tanggal 1 Mei 1920, dicetuskanlah Peringatan 1 Mei yang dimana para buruh melakukan aksi damai dalam menuntut hak-hak mereka. Akan tetapi, kegiatan tersebut di curigai oleh pemerintah kolonial sebagai kegiatan subversif.
Pasca kemerdekaan, Presiden Soekarno kemudian menjadikan tanggal 1 Mei menjadi hari libur nasional tidak resmi, sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan bagi para buruh. Dampak dari dukungan pemerintah terhadap buruh, melahirkan banyaknya organisasi-organisasi buruh, salah satunya SOBSI atau Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia. Akan tetapi, pasca kejadian G30S/PKI dan naiknya Soeharto sebagai presiden, menyebabkan semua organisasi yang terafiliasi atau di curigai dekat dengan PKI di berantas. Salah satunya adalah pembubaran SOBSKI. Bahkan, 1 Mei tidak lagi diperingati sebagai Hari Buruh. Akan tetapi, pemerintah Orde Baru mengganti Hari Buruh dengan pendekatan konsep harmonial indsutrial yang membuat adanya pergeseran makna menjadi “Hari Peningkatan Produksi Nasional”. Sehingga pemerintah pun mengontol ketat pergerakan para buruh melalui organisasi seperti SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).
Hari buruh kemudian mulai kembali diperingati saat era reformasi berlangsung. Dengan iklim politik yang cenderung terbuka, muncul lah serikat-serikat buruh yang secara independen membuat sebuah gerakan untuk memperjuangkan kembali hak kesejahteraan para buruh. Peringatan Mayday pun kembali bergulir dengan unjuk rasa secara damai di berbagai kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
Setelah desakan para buruh bertahun-tahun lamanya, pada tahun 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian menandatangani Keputusan Presiden No. 24 Tahun 2013 yang menetapkan tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional. Akan tetapi, Keppres tersebut tidak menjamin keberlangsungan hidup para buruh. Pasalnya, pada era Presiden Joko Widodo, di sahkannya Undang-Undang Cipta Kerja dalam UU No. 11 Tahun 2020 atau Omnibus Law yang di dalam pasalnya mengurangi perlindungan terhadap buruh, termasuk adanya kemudahan outsourcing dan adanya kontrak jangka pendek yang menyebabkan adanya potensi PHK secara masif.
Alhasil, terjadilah konsolidasi antar serikat buruh seperti KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) dan KSBSI (Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia) dalam menolak UU Cipta Kerja. Oleh karena itu, pada peringatan Mayday tahun 2020-2021, dilakukan lah aksi besar-besaran yang dilakukan di berbagai daerah. Bahkan aksi demonstrasi ini tidak hanya diikuti oleh para buruh saja, melainkan seluruh elemen masyarakat. Meskipun pada November 2021, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, dan harus diperbaiki dalam kurun waktu 2 tahun. Akan tetapi, pada Maret 2023, pemerintah malah melakukan pengesahan revisi melalui Perppu Cipta Kerja yang disahkan menjadi sebuah UU.
Dengan demikian, peringatan Hari Buruh Internasional bukan hanya perayaan serimonial belaka saja. Melainkan simbol perjuangan kelas pekerja dalam menuntut hak kesejahteraannya dalam bekerja. Selain itu, peringatan ini menjadi wadah solidaritas antar sesama, juga simbol harapan bagi para pekerja supaya dapat diperlakukan secara adil dan manusiawi dalam memberlakukan para buruh
Selama kita masih menerima upah/gaji, maka disana lah kita masih disebut sebagai buruh.
Selamat Hari Buruh!
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.