Catatan Cak AT: Zohran Mamdani, Selamat

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- New York, kota yang biasanya hanya "kalah" oleh dirinya sendiri, hari ini memilih untuk mencatat sejarah dengan huruf tebal dan sedikit tinta dramatis.
Zohran Mamdani menutup kampanyenya yang penuh sikutan, manuver tajam, dan debat yang kadang lebih panas daripada uap subway di musim panas, dengan sebuah kemenangan.
Rasanya seperti tiupan terompet panjang. Sebagian warga bersorak, sebagian mengelus dada, dan sebagian lain mengunggah status sok netral: "Demokrasi telah berbicara."
Seakan-akan jutaan orang di Manhattan sampai Queens serempak menarik napas panjang dan berkata, "Ya sudahlah, mari kita coba sesuatu yang benar-benar baru."
Baca juga: Diplomasi Akademik UI-Peking University Dorong Kolaborasi Pendidikan dan Riset Global
Bilik-bilik suara di seantero New York sudah resmi ditutup. Kota itu kini hanya menunggu hitungan akhir layaknya menanti kereta bawah tanah yang selalu terlambat tetapi tetap dirindukan.
Data awal menunjukkan Mamdani memimpin perolehan suara dengan selisih tinggi: Mamdani 50,4% vs Coumo 41,5 vs Curtis Sliwa 7,2%.
Ini cukup untuk membuat lawan-lawannya mulai merancang pidato "kami menghormati proses demokrasi" sambil menenangkan syaraf masing-masing.
Dengan total dua juta suara tercatat —rekor sejak 1969— arah angin politik berembus begitu kencang ke kubu Mamdani. Belum final, memang. Namun tanda-tanda jelas bahwa ini akan menjadi malam Mamdani.
Baca juga: DEPOK atau DEPOT? Kota yang Berhenti di Loket 'Kepentingan', Pembangunan Masjid Jadi Tumbal!
Kemenangan ini sontak mengukuhkan Mamdani sebagai bintang baru sekaligus sosok yang bikin partainya sendiri menggaruk kepala.
Demokrat merayakannya seperti pesta kecil yang tiba-tiba berubah menjadi konser besar, sementara Republik langsung mendapat musuh ideal menjelang pemilu tengah periode.
Menurut mereka, kemenangan Mamdani adalah bukti bahwa Demokrat "ke kiri terlalu jauh." Menurut warga New York? "Akhirnya ada walikota yang paham harga sewa apartemen!" Mereka tak peduli segala macam ancaman Presiden Donald Trump yang memang gemar menyiram bensin ke percakapan publik.
Mulai 1 Januari nanti, Mamdani diduga kuat menjadi wali kota Muslim pertama dalam sejarah Big Apple. Ia juga akan menjadi orang kedua dalam sejarah modern, setelah David Dinkins, yang mengidentifikasi dirinya sebagai demokrat sosialis. Identifikasi ini yang membuat Trump menuduhnya komunis.
Baca juga: Keren! Pemkot Depok Ingin Sepanjang Jalan Margonda Raya Bernuansa Jepang, Tanam Pohon Tabebuya Pink
Dengan kemenangan ini, Mamdani menyingkirkan Cuomo untuk kedua kalinya. Pertama di primary, kedua di pilkada yang berubah menjadi pertandingan ulang penuh kepahitan. Cuomo yang dulu dikenal sebagai gubernur paling lihai di Albany mendadak seperti tokoh drama yang kehilangan spotlight, tak kuat menahan arus dukungan Mamdani.
Sementara itu, Curtis Sliwa —dengan beret merah kesayangannya— lebih memilih diam setelah kampanye yang tak pernah benar-benar mendapat angin. Publik tampaknya lebih percaya masa depan kota ini diserahkan kepada seorang aktivis-politisi yang membawa pesan sederhana: "Kota ini harus bisa ditinggali, bukan hanya dipamerkan."
Jika benar Mamdani memimpin, beginilah kira-kira keadaan New York: kota yang dibangun oleh keringat imigran, dibesarkan para pekerja keras, tetapi kerap diwarnai segelintir miliarder yang gemar membeli gedung setinggi ego mereka, tiba-tiba jatuh ke pelukan seorang sosialis Muslim yang lahir di Uganda dan berdarah India.
Entah bagaimana reaksi Wall Street—mungkin biasa-biasa saja, atau barangkali mereka sedang menggelar rapat darurat mempertanyakan apakah kapitalisme masih aman bila walikota mereka lebih memilih samosa daripada steak 300 dolar.
Baca juga: Catatan Cak AT: Tanggungjawab Saya, Katanya
Dalam narasi publik, kemenangan Mamdani tampak seperti adegan film indie yang tiba-tiba mendapat slot di bioskop besar: tanpa efek CGI, tetapi emosinya telak. Bagaimana mungkin seorang _assembly member_ yang dulu hanya dikenal di beberapa distrik bisa menjungkirbalikkan seorang mantan gubernur lengkap dengan endorsement dari tokoh politik paling berisik se-Amerika Serikat?
Dramatisasinya bahkan lebih absurd dari telenovela: Cuomo awalnya mengaku paling tegas menghadapi Trump, namun kemudian malah mendapat endorsement Trump sendiri. Pada titik itu warga New York menoleh ke kanan-kiri sambil berbisik, "Lho, ini plot twist apa prank politik?"
Namun kemenangan Mamdani bukan sekadar soal identitas. Ia bukan dipilih karena Muslim, bukan karena sosialis, dan bukan karena wajahnya yang humble saat blusukan ke gereja dan klub malam. Ia dipilih karena janji paling sederhana tetapi paling mahal di kota metropolitan: membuat hidup sedikit lebih terjangkau.
Di kota yang harga sewanya bisa membuat orang relijius tiba-tiba rajin membaca doa penjagaan rezeki, pesan itu terdengar seperti air zamzam bagi jiwa-jiwa kering kantong.
Kemenangan ini juga mengguncang peta demografi: komunitas Latino bergerak, Afrika-Amerika menguat, kulit putih progresif mengalir, komunitas Muslim berkaca-kaca, dan generasi muda berseru, "Akhirnya ada kandidat yang tidak membuat kami menua sepuluh tahun setiap kali buka televisi."
Baca juga: RSUI Lakukan Edukasi Daring Deteksi Dini Kanker Payudara
Hanya di New York seseorang bisa menyatukan begitu banyak kubu dengan modal senyum, sepatu nyaman, dan kebijakan publik yang tidak memihak gedung pencakar langit.
Serangan politik padanya pun tak kalah dramatis dari sinetron laga: tuduhan "jihadis", fitnah "anti-Yahudi", hingga teriakan bahwa ia ingin meng-globalize intifada—padahal maknanya tak sesederhana terjemahan Google. Tetapi alih-alih roboh, ia justru semakin tegap.
Orang-orang menyapanya di jalan seperti tetangga lama yang baik hati: ada yang minta selfie, ada yang minta tanda tangan, dan ada pula yang minta kebijakan murah-murah—pertanda ia dicintai atau minimal dianggap punya peluang membuat harga hidup lebih manusiawi.
Jika kemenangan ini sungguh terwujud, New York bukan hanya mendapatkan walikota baru, tetapi juga sebuah cermin besar: bahwa kota sebesar ini masih percaya pada nilai kecil namun penting —keadilan, keberanian, dan kesediaan untuk tidak menjual prinsip demi kursi.
Kota yang dulu pernah mengawasi masjid-masjid secara massal pasca-9/11 kini dipimpin seorang Muslim. Ironi? Tentu. Mengharukan? Sangat. Seakan kota itu berkata, "Kami belajar dari masa lalu. Kini kami pilih jalan yang lebih waras."
Baca juga: FMIPA UI Ajak Pelajar Cinta Alam dan Siaga Bencana Melalui Gerakan Cerdas Alam
Akan ada banyak analisis, banyak debat, dan sejumlah cuitan panjang menyusul kemenangan ini. Tapi pelajaran utamanya sederhana: dalam politik, siapa pun bisa jatuh, siapa pun bisa bangkit, dan siapa pun yang dulu tidak diperhitungkan justru bisa menjadi pemenang demokrasi.
Suara rakyat —ketika sudah sepakat— lebih nyaring daripada sirene polisi dan lebih tajam daripada kritik editorial.
Dan mungkin, di sela kesibukan mengatur kota yang tidak pernah tidur, Mamdani akan mengingat bahwa kemenangan adalah ujian. Mampukah ia memimpin kota yang warganya cerewet, politiknya riuh, gedungnya tinggi, dan harapan rakyatnya jauh lebih tinggi?
Kekuasaan akhirnya bukan panggung glamor, melainkan sumur renungan. Dari sanalah setiap pemimpin menimba kebijaksanaan, dan dari sanalah kita belajar bahwa perubahan besar kadang datang dari mereka yang dulu dianggap tidak cukup besar. (***)
Penulis: Cak AT – Ahmadie Thaha/Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 6/11/2025