Kolom

Kampung Haji Indonesia: Ibadah, Amanah, dan Godaan Kekuasaan di Tanah Suci

Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior. (Foto; Dok RUZKA INDONESIA) 
Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior. (Foto; Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- "Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini terasa tepat menjadi gerbang memasuki perbincangan tentang Kampung Haji Indonesia di Mekkah, sebuah gagasan besar yang kini bukan hanya sekadar bisikan, tapi mulai menjadi kenyataan.

Dari Jakarta hingga Jeddah, dari ruang parlemen hingga mimbar khutbah, nama proyek ini menjadi doa, harapan, sekaligus pertanyaan besar tentang niat.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menggagas proyek ini, dan kini sudah masuk dalam tahap tender internasional oleh Pemerintah Arab Saudi. Senator Fahira Idris menyambutnya dengan lantang, menyebut sebagai “proyek peradaban dan spiritual”.

Baca juga: Breaking News: Ledakan Keras Terdengar Saat Khutbah Jumat di Masjid SMAN 72 Jakarta

Sebuah kalimat yang menuntut kesungguhan, sebab membangun di Tanah Suci tidak pernah hanya perkara fisik, tapi perkara hati.

Dukungan langsung datang dari Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman (MBS). Untuk pertama kalinya, Arab Saudi memberikan izin kepemilikan tanah bagi negara asing di Kota Mekkah dan Indonesia menjadi negara yang menerima kehormatan tersebut.

Di sinilah kegelisahan saya bermula. Apakah Kampung Haji benar-benar dibangun untuk memuliakan jamaah, atau hanya menjadi panggung baru bagi ambisi politik dan kebanggaan duniawi?

Mimpi di Lembah Hindawiyah

Lahan seluas 80 hektare di Jabal Hindawiyah, Mekkah, rencananya akan disulap menjadi kawasan pelayanan jamaah haji dan umrah Indonesia. Hotel, rumah sakit, pusat layanan ibadah, klinik kesehatan, dapur halal Nusantara, bahkan area UMKM akan berdiri di sana. Sebuah kampung kecil Indonesia di Tanah Suci.

Saya membayangkan seorang ibu dari pelosok desa yang menabung selama bertahun-tahun. Ia tak perlu lagi tersesat di jalan sempit Mekkah, tak perlu kebingungan mencari maktab atau hotel. Jika ini benar terjadi, maka proyek ini adalah bentuk cinta negara pada tamu Allah.

Tapi dalam sejarah, setiap mimpi besar selalu berdiri bersebelahan dengan godaan besar. Di Mekkah, godaannya bukan hanya harta, tetapi juga gengsi dan kuasa.

Baca juga: Digagas Presiden Prabowo, Kampung Haji Indonesia di Mekkah Masuki Proses Tender

Ibadah, Investasi, dan Batas Tipis di Antaranya

Proyek ini diyakini dapat menekan biaya logistik, mengurangi ketergantungan pada hotel sewa musiman, serta menjadi pusat ekonomi syariah yang membawa pemasukan bagi negara. Semua terdengar menjanjikan. Tapi agama memberi batas: jangan sampai ibadah berubah menjadi industri yang mencekik.

Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa yang Allah jadikan pemimpin atas urusan umatku, lalu ia menyulitkan mereka, Allah akan menyulitkannya. Dan barang siapa memudahkan mereka, Allah akan memudahkannya.” (HR. Muslim)

Ini mengingatkan saya bahwa memudahkan jamaah adalah ibadah. Tapi memanfaatkan jamaah sebagai pasar, menjadikan mereka sekadar objek ekonomi—adalah bentuk halus dari kezaliman.

Para jamaah bukan konsumen. Mereka adalah dhuyufurrahman—tamu Allah. Dan tamu Tuhan harus dimuliakan, bukan diperjualbelikan.

Baca juga: BPS: Indeks Pembangunan Manusia di Depok Meningkat, Kualitas Hidup Warganya Lebih Sejahtera

Amanah Dana Umat: Bukan Angka, Tapi Air Mata

Proyek ini melibatkan BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji), Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), dan sejumlah Kementerian terkait, sesuai Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2025 tentang Pembangunan Kampung Haji Indonesia di Mekkah. Artinya, dana yang digunakan bukan hanya dana negara, tapi dana umat.

Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada pemiliknya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58)

Di sinilah letak ketakutan terbesar saya. Sebab setiap rupiah di BPKH bukan berasal dari korporasi besar atau investor asing. Ia datang dari sawah yang dijual, cincin kawin yang digadai, dan doa yang dipeluk dalam sepi. Jika ada yang bermain di dalamnya—sekecil apa pun—itu bukan sekadar korupsi, tapi pengkhianatan terhadap tamu Allah.

Tanah Haram, Hati Harus Bersih

Mekkah bukan tanah biasa. Allah sudah memperingatkan:

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil Haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih.” (QS. Al-Hajj: 25)

Ayat ini berbicara tentang niat, bahkan sebelum tindakan terjadi. Maka ketika proyek ini dimulai, yang pertama harus dibangun adalah hati bukan fondasi beton.

Saya yakin bukan semua pejabat berniat buruk. Tapi niat baik saja tidak cukup. Harus ada mekanisme pengawasan, transparansi tender, audit dana haji, dan keberanian moral untuk berkata tidak pada kepentingan pribadi.

Baca juga: Mitrade Pertahankan Kredibilitas Setelah Aksi Penipuan Investasi Semakin Diwaspadai di Asia

Sejarah Tidak Pernah Netral

Jika proyek ini berhasil dengan niat yang benar, ia akan dikenang sebagai lompatan berani bangsa muslim terbesar di dunia. Namun jika gagal karena nafsu dunia, ia akan dikenang seperti menara-menara tanpa ruh megah, tetapi kosong.

Rasulullah SAW bersabda:

"Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya ke mana dihabiskan, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya". (HR. Tirmidzi)

Hadis ini menutup seluruh percakapan dengan pertanyaan yang menembus: ketika Allah bertanya, ‘Dengan niat apa Kampung Haji dibangun? Dari uang siapa? Untuk siapa?’—apakah kita siap menjawab?

Baca juga: Danantara Pilih Mitra Resmi SUS Indonesia dalam Program Nasional WtE

Antara Doa dan Tanggung Jawab

Kampung Haji Indonesia bisa menjadi doa yang berubah menjadi bangunan. Bisa juga menjadi bangunan yang kehilangan doa. Semua tergantung niat, cara, dan kejujuran dalam menjalankannya.

Saya tidak menolak proyek ini. Saya justru berharap proyek ini suci sejak di atas kertas. Bukan hanya karena ia berdiri di tanah para Nabi, tapi karena ia berdiri di atas doa rakyat biasa.

Semoga yang terbangun bukan hanya dinding, tapi rasa aman. Bukan hanya hotel, tapi ladang pahala. Bukan hanya bangga di depan manusia, tapi diterima di hadapan Allah. (***)

Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior

Berita Terkait

Image

Kemenag Depok Terima 17 Ajuan Pelimpahan Porsi Haji

Image

Prakiran Cuaca Wilayah Jakarta dan Sekitarnya, Selasa 05 Juni 2022

Image

Ingin Beraktifitas, Cek Dulu Prakiraan Cuaca Untuk Kota Jakarta dan Sekitarnya!

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

rusdynurdiansyah69@gmail.com