Kolom

PWI Kota Depok, Puisi, dan Sepiring Kepahlawanan

Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Pagi 10 November selalu hadir dengan caranya sendiri, udara yang lebih dingin dari biasanya, jalanan yang sedikit lebih lengang, dan bendera merah putih yang berkibar dengan gagahnya.

Di beberapa tempat, alunan lagu “Gugur Bunga” berkumandang, mengalun pelan dari pengeras suara sekolah dan halaman kantor pemerintahan.

Di satu sisi negeri, orang-orang berdiri tegak menghormat pahlawan. Di sisi lain, hidup berjalan seperti biasa, macet, rapat, dan pesan instan yang tak berhenti berdatangan di gawai.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Namun di Kota Depok, ada cara lain memperingati Hari Pahlawan: lewat kata-kata, lewat puisi yang lahir dari hati pelajar.

Baca juga: Diikuti 71 Tim se-Kabupaten Garut, Kapolres Garut Tutup Turnamen Bola Basket Kapolres Cup 2025

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Depok menggelar Lomba Menulis dan Membaca Puisi untuk pelajar SD, SMP, hingga SMA/SMK sederajat di Kota Depok.

Mereka menggandeng Forum Indonesia Emas 2045 dan Optik Sejahtera. Temanya sederhana, tetapi mengguncang kesadaran: “Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk Generasi Emas Indonesia 2045.”

Bukan soal seragam pejuang, bukan tentang senapan atau meriam, melainkan tentang piring nasi, sebutir telur, segelas susu, dan masa depan anak-anak Indonesia.

Dan di sinilah ironi sekaligus harapan muncul: sudah delapan puluh tahun merdeka, tapi masih ada anak bangsa yang sekolah dengan perut kosong. Apa arti upacara, tabur bunga, dan jargon kepahlawanan, jika generasi penerusnya masih menahan lapar.

Baca juga: Surabaya Mengetuk Pintu dari Gang ke Gang: Mencari Pekerja yang Belum Dilindungi

PWI Depok memilih jalan yang sunyi namun bermakna. Mereka tak mengumpulkan massa di lapangan, tak membuat panggung besar. Mereka meminta anak-anak menulis.

Menulis puisi tentang pahlawan, tentang rasa lapar, tentang ibu yang mengurangi suapan nasi demi anaknya.

Lalu mereka diminta membaca puisi itu dalam video satu menit, memakai seragam sekolah, menyebut nama dan asal sekolah. Sesederhana itu, tapi justru di kesederhanaan itulah lahir kejujuran yang tak bisa dipalsukan.

Ketua PWI Kota Depok, Rusdy Nurdiansyah, mengatakan lomba ini adalah kelanjutan dari tradisi literasi yang sebelumnya digagas untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda 2025 lalu.

Baca juga: Gelar Green Democracy Fun Walk, DPD RI Edukasi Masyarakat Soal Demokrasi Parisipatif dan Ramah Lingkungan

Bedanya, kali ini lomba digelar untuk menyambut Hari Pahlawan. “Kami ingin pelajar mengenang jasa pahlawan melalui karya sastra, sekaligus menumbuhkan kesadaran pentingnya makan bergizi untuk masa depan bangsa,” ujarnya.

Bagi PWI, jurnalisme bukan hanya tentang menulis berita, tapi juga merawat imajinasi, menyalakan empati.

Sejarah mencatat, puisi bukan benda mewah yang hanya dibacakan di atas panggung. Puisi pernah menjadi peluru.

Penyair Chairil Anwar menulis “Karawang-Bekasi” ketika kematian begitu dekat. Kata-katanya bukan sekadar seni, tapi perlawanan.

Baca juga: Tidar Tolak Budi Arie Gabung ke Gerindra, Diduga Cari Aman Menuju Pilpres 2029

Kini, di zaman yang berbeda, peluru itu berganti bentuk. Ia menjadi tulisan digital, dikirim lewat WhatsApp. Tapi daya guncangnya tetap sama: mempertanyakan, menggugah, menyadarkan.

Puisi-puisi yang dikirim para pelajar bicara tentang pahlawan, tetapi juga tentang nasi yang tak cukup. Tentang teman yang tak sarapan. Tentang ibu yang berbohong, berkata sudah makan padahal menahan lapar.

Dan, mungkin inilah wujud kepahlawanan baru: mereka yang menulis agar perut-perut kecil itu tidak terus diabaikan negara.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digaungkan pemerintah menghendaki bahwa tidak akan ada anak Indonesia yang belajar dengan perut kosong. Bahwa gizi bukan lagi hak istimewa, tapi hak dasar.

Baca juga: Penampilan Group Band Bagindas Jadi Penutup Depok Literacy Fest 2025

Namun, program itu kalau hanya berhenti di baliho, tetaplah janji. Anak-anak tidak bisa makan slogan. Mereka butuh sarapan, bukan sekadar seremoni atau spanduk warna-warni.

Dulu, pahlawan adalah mereka yang memukul mundur penjajah. Mereka yang namanya kini tertulis di batu nisan Taman Makam Pahlawan. Namun kini, definisi pahlawan meluas.

Ia bisa guru yang tetap mengajar meskipun gajinya tak cukup membeli buku baru. Ia bisa jurnalis yang menulis kebenaran meski dibayar dengan ancaman. Ia bisa ibu-ibu yang memikirkan gizi anaknya lebih dari dirinya sendiri.

Ia juga bisa seseorang yang berani bertanya: mengapa negara mampu membangun tugu megah, tapi masih lalai memastikan anak-anaknya tidak berangkat sekolah dalam keadaan lapar?

Baca juga: Jakarta Muslim Fashion Week 2026 Cukup Sedot Perhatian Penikmat Fesyen

PWI Kota Depok seolah ingin berkata bahwa memperingati Hari Pahlawan tidak hanya dengan mengirim karangan bunga, melainkan dengan memastikan nilai perjuangan terus hidup.

Pahlawan tidak hanya dikenang, tetapi dilanjutkan. Anak-anak menulis puisi tentang mereka yang gugur, tetapi juga tentang mereka yang masih berjuang hari ini: ayah yang pulang larut membawa gaji pas-pasan, ibu yang diam-diam menahan lapar, guru yang mengajari muridnya membaca agar tak selamanya tertinggal zaman.

Di beberapa sekolah, setelah lagu wajib dikumandangkan, guru meminta murid menundukkan kepala untuk mengheningkan cipta. Namun selesai upacara, sebagian murid kembali ke realitas: perut kosong, uang jajan seribu rupiah, mimpi yang kadang terasa jauh.

Apa artinya kemerdekaan, jika masih ada anak bangsa yang menghafal nama pahlawan sambil menahan lapar?

Puisi-puisi dalam lomba ini seakan menjadi suara lain dari sejarah. Mereka tidak bicara soal revolusi fisik, tetapi revolusi perut, revolusi kesadaran. Mereka menulis tentang nasi, telur, roti — hal-hal sederhana yang justru menentukan masa depan bangsa. Karena generasi emas tidak lahir dari upacara, tetapi dari tubuh yang sehat dan pikiran yang merdeka.

Baca juga: Meutya Hafid Sebut Perempuan Pelaku UMKM Pahlawan Perekonomian Bangsa

Hari Pahlawan adalah soal keberanian mencintai bangsa. Dahulu caranya adalah dengan mengangkat senjata. Kini caranya bisa dengan mengangkat pena, kamera, sendok, atau suara.

Kalau dulu pahlawan menahan lapar demi merdeka, hari ini tugas kita adalah memastikan anak-anak tidak lagi lapar dalam kemerdekaan.

Maka, ketika PWI Kota Depok menyelenggarakan lomba puisi ini, seolah mereka sedang mengajak kita semua: “Mari jaga kemerdekaan, bukan hanya dengan mengheningkan cipta, tapi dengan mengenyangkan cita-cita.”

Hari Pahlawan bukan hanya milik mereka yang gugur di medan perang, tetapi juga milik anak-anak yang berani menulis, berani merasa, dan berani peduli. Milik guru yang tak kenal lelah. Milik jurnalis yang menjaga nyala empati. Milik siapa saja yang percaya bahwa sepiring nasi dan sebait puisi bisa menjadi bentuk cinta paling nyata kepada bangsa ini. (***)

Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior

Berita Terkait

Image

MUI Depok Luncurkan Ruang Bisnis Tumbuh dalam Ekosistem Syariah

Image

Satgas CLBK Depok Bantu Proses Evakuasi ODGJ di Kelurahan Cisalak

Image

Pemkot Depok Bentuk CSIRT, Dapat Mendukung SPBE yang Lebih Aman

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

rusdynurdiansyah69@gmail.com