Kolom

Marsinah: Ketika Pahlawan Lahir dari Pabrik dan Luka

Penulis: Djoni Satria. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Penulis: Djoni Satria. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Pagi ini, Senin, 10 November 2025, ruangan dalam Istana Negara terasa berbeda. Ada bunga-bunga putih disusun rapi di depan podium, dan udara Jakarta yang cerah membawa aroma kenangan.

Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional bagi 10 tokoh dari berbagai daerah di Istana Negara, Jakarta.

Acara penganugerahan gelar pahlawan nasional merupakan bagian dari rangkaian Peringatan Hari Pahlawan Tahun 2025. Penetapan itu didasarkan atas Keputusan Presiden RI Nomor 116/TK Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Ada 10 nama yang dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional. Penetapan sepuluh nama itu dibacakan oleh Sekretaris Militer, Wahyu Yudhayana.

Baca juga: Aksi Heroik Pasukan PLN Jakarta Selamatkan Lebih dari 1 Juta kWh Tanpa Padam

Tiga diantaranya, mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), aktivis buruh Marsinah, dan mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Sarwo Edhie Wibowo.

"Memutuskan, menetapkan, dan seterusnya. Satu, memberikan gelar pahlawan nasional kepada mereka yang namanya tersebut. Keputusan ini sebagai penghargaan dan penghormatan yang tinggi atas jasa yang luar biasa untuk kepentingan mewujudkan kesatuan dan kesatuan bangsa," ujar Wahyu.

Tujuh nama lain yang ditetapkan, yaitu mantan presiden Soeharto, mantan Menteri Hukum Mochtar Kusumaatmadja, Rahmah El Yunusiyyah, Sultan Muhammad Salahuddin, Syaikhona Muhammad Kholil, Tuan Rondahaim Saragih, dan Zainal Abidin Syah.

Di antara nama-nama besar yang disebut Presiden Prabowo Subianto dalam upacara Hari Pahlawan, ada satu nama yang membuat dada saya sesak oleh haru: Marsinah, perempuan kelahiran 10 April 1969 di Nganjuk, Jawa Timur.

Nama itu melintasi waktu. Dulu, ia hanya dikenal di ruang-ruang sempit pabrik arloji, di sela suara mesin dan keringat buruh. Tapi hari ini, namanya diukir sejajar dengan para tokoh bangsa bukan karena kekuasaan, bukan karena senjata, melainkan karena keberaniannya melawan ketidakadilan dengan tubuh dan nyawa sendiri.

Baca juga: 10 Nama Tokoh Diberi Gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo

Marsinah bukan pahlawan dari mimbar tinggi atau ruang sidang megah. Ia lahir dari rahim rakyat biasa, buruh perempuan di PT Catur Putera Surya (CPS), Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang hidupnya sederhana, gajinya kecil, tapi hatinya besar.

Ketika sebagian besar orang memilih diam, Marsinah justru berdiri lantang menyuarakan. Ia mempertanyakan mengapa upah yang sudah ditetapkan pemerintah tak pernah sampai ke tangan para pekerja.

Ia perempuan yang cerdas, karena sering menduduki peringkat pertama di kelasnya. Tapi ia tidak bisa meneruskan pendidikannya ke perguruan tinggi karena tak punya biaya.

Bagi Marsinah, tunjangan bukan keadilan, sebab tunjangan tidak dibayar saat buruh sakit, cuti haid, atau hamil. Ia paham betul arti kehilangan gaji bagi para buruh perempuan yang setiap bulan harus berhadapan dengan tubuhnya sendiri dan tuntutan hidup yang tak kenal kompromi.

Maka ketika perusahaan menolak menaikkan gaji pokok dan hanya mengutak-atik tunjangan, Marsinah menolak. Ia memimpin pemogokan.

Baca juga: Perkuat Layanan Kesehatan, Diagnos Laboratorium Utama Gandeng Helix Dirikan Klinik di Depok

Dan di negeri yang dulu menabalkan diam sebagai kebajikan, keberanian seperti itu adalah dosa.

Pada 8 Mei 1993, masa pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, dua hari usai dipanggil ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo, Jawa Timur, tubuh Marsinah ditemukan tak bernyawa di sebuah gubuk di tengah persawahan di Dusun Jagong, Desa Wilangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

Patah tulang di sana-sini, organ dalam hancur, dan luka-luka di sekujur tubuhnya. Dunia tahu, dia dibunuh karena melawan.

Kasusnya kemudian menjadi simbol paling kelam dalam sejarah perburuhan Indonesia. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mencatatnya dengan nomor khusus (Kasus 1773), dunia mencatat Indonesia sebagai negara yang membungkam buruh dengan kekerasan, dan rakyat mencatat Marsinah sebagai martir, seorang perempuan muda yang tubuhnya dihancurkan, tapi semangatnya tak pernah bisa dimatikan.

Selama tiga dekade, nama Marsinah hidup di jalanan. Ia hadir dalam poster-poster buruh setiap 1 Mei, dalam lagu-lagu perjuangan, dalam mural-mural usang di tembok-tembok kota.

Baca juga: Catatan Cak AT: Dua Wajah Sherly

Tapi negara, selama itu, memilih diam. Sampai akhirnya, hari ini, Presiden RI Prabowo Subianto menepati janjinya yang diucapkan pada peringatan May Day 2025: menjadikan Marsinah Pahlawan Nasional Bidang Perjuangan Sosial dan Kemanusiaan.

Bagi sebagian orang, mungkin keputusan ini hanyalah seremoni politik. Tapi bagi mereka yang pernah menyebut Marsinah dengan air mata dan kemarahan, ini adalah bentuk pengakuan sejarah bahwa keadilan tidak bisa dikubur selamanya. Bahwa tubuh yang mati bisa hidup kembali dalam ingatan bangsa.

Di Istana Negara, Marsini, kakak almarhumah, dan adiknya Wijiyanti, tampak menunduk haru, air mata menetes, saat saudara kandung mereka, namanya disebut. Ia bercerita bagaimana pertama kali mendengar kabar dari Wartawan pada peringatan May Day, tentang rencana adiknya mendapat gelar pahlawan. Ia tak percaya. Ia takut berharap. “Saya tunggu sampai benar-benar pasti,” kata Marsini lirih.

Hari ini, kepastian itu datang. Negara akhirnya memberi penghormatan pada sosok yang dulu mereka biarkan terhina.

Menurut Andi Gani Nena Wea, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), keputusan ini adalah momen bersejarah bagi gerakan buruh Indonesia. Ia menyebut Marsinah bukan hanya simbol buruh, tapi roh perjuangan yang menolak tunduk. “Semangat Marsinah akan selalu hidup,” katanya.

Baca juga: PWI Kota Depok, Puisi, dan Sepiring Kepahlawanan

Dan benar, nama Marsinah kini tak lagi sekadar milik para buruh. Ia menjadi milik bangsa ini, bangsa yang sedang berusaha menebus kesalahan masa lalunya.

Namun, bagi saya, keputusan ini bukan sekadar penghormatan. Ini adalah ujian moral bagi negara. Sebab, memberi gelar pahlawan kepada korban tanpa menuntaskan siapa pembunuhnya adalah bentuk penghormatan yang pincang.

Marsinah memang kini diakui, tapi para pelakunya tetap tak tersentuh hukum. Mereka menua dalam diam, mungkin masih hidup, mungkin juga sudah tiada, tapi dosa sejarah itu tetap menggantung di udara negeri ini.

Inilah paradoks kita sebagai bangsa: kita memuliakan korban tapi tak pernah menuntut pelaku. Kita mengangkat kisah perjuangan, tapi menutup mata terhadap kejahatan yang melatarinya. Kita memberi bunga di pusara, tapi membiarkan kuburannya tetap tanpa keadilan.

Meski begitu, saya percaya: langkah kecil ini tetap penting. Ketika negara akhirnya berani menyebut nama Marsinah di podium resmi, berarti luka itu diakui.

Baca juga: Surabaya Mengetuk Pintu dari Gang ke Gang: Mencari Pekerja yang Belum Dilindungi

Ketika seorang presiden menyerahkan gelar Pahlawan kepada keluarga buruh, berarti dinding pemisah antara istana dan pabrik mulai retak. Dan ketika publik kembali menyebut namanya hari ini bukan dengan bisik, tapi dengan bangga berarti sejarah sedang menulis ulang dirinya sendiri.

Marsinah telah menembus batas antara buruh dan pahlawan. Ia menunjukkan bahwa keberanian tak harus lahir dari pangkat, tapi dari kejujuran hati terhadap ketidakadilan. Bahwa perjuangan sosial dan kemanusiaan tidak selalu berwujud perang, tapi bisa dalam bentuk suara kecil yang menolak tunduk pada kebijakan zalim.

Kini, tiga puluh dua tahun setelah kematiannya, nama Marsinah kembali hidup. Ia tak lagi sekadar foto hitam putih di kaos-kaos demonstran atau spanduk demonstrasi, tapi resmi diabadikan dalam catatan negara.

Namun penghargaan sejati bagi Marsinah bukan sekadar gelar atau medali. Penghargaan sejati adalah memastikan tak ada lagi buruh yang harus mati karena memperjuangkan haknya. Selama itu belum terjadi, semangat Marsinah akan terus menghantui nurani kita.

Kala itu, Marsinah pernah berkata kepada rekan-rekannya di pabrik: “Kalau bukan kita yang bicara, siapa lagi?”

Hari ini, negara akhirnya menjawab:

“Kau benar, Marsinah. Kami terlalu lama diam.”

Baca juga: Gelar Green Democracy Fun Walk, DPD RI Edukasi Masyarakat Soal Demokrasi Parisipatif dan Ramah Lingkungan

Dan di langit Jakarta yang cerah siang ini, saya membayangkan Marsinah tersenyum dalam liang lahat bukan karena gelarnya, tapi karena akhirnya, suara kecilnya didengar juga.

Hari ini, ketika nama Marsinah disebut di Istana Negara, saya tak hanya melihat penghargaan, tapi penebusan. Sebab bangsa yang besar bukan bangsa yang tanpa dosa, melainkan bangsa yang berani mengakui dan memperbaiki kesalahannya.

Dan hari ini, Indonesia belajar satu hal dari buruh bernama Marsinah: bahwa keberanian sejati bukan soal menang, tapi soal menolak tunduk. (***)

Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior

Berita Terkait

Image

Presiden Probowo Luncurkan Logo dan Tema Hari Kemerdekaan RI ke 80, Bersatu Berdaulat untuk Indonesia Maju

Image

Atlantic Council Selenggarakan Global Food Security Forum di G20

Image

Prakiran Cuaca Wilayah Jakarta dan Sekitarnya, Selasa 05 Juni 2022

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

rusdynurdiansyah69@gmail.com