Kolom

Ketika Suara Brand Kota Depok Tak Lagi Pas

Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior. 
Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior.

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Malam minggu, saya memilih tinggal di rumah saja. Di luar, suara motor dan tawa anak muda yang melintas sesekali menyentuh jendela.

Tapi di dalam, rumah terasa seperti ruang hening yang memberi kesempatan bagi pikiran untuk berjalan lebih pelan.

Lampu ruang tamu menyala temaram, ponsel tergeletak di meja, dan saya menikmati keheningan yang jarang-jarang datang.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Dalam suasana malam yang tidak terburu-buru itu, sebuah notifikasi WhatsApp muncul, pesan baru dari grup Depok Media Center (DMC).

Bunyinya biasa saja, namun entah bagaimana, percakapan di dalamnya membuat langkah pikiran saya yang tadi berjalan pelan tiba-tiba menemukan arah baru.

Dari percakapan malam itulah, sebuah pertanyaan besar tentang identitas Depok perlahan muncul ke permukaan pikiran saya.

Sebab memang ada masa ketika sebuah kota harus berhenti sejenak dari segala keriuhannya, dari macet yang tak pernah benar-benar reda, dari kampus-kampus yang terus menumpahkan gelombang mahasiswa baru, dari UMKM yang tumbuh mengisi celah-celah kehidupan kota dan mendengarkan dirinya sendiri.

Kota, seperti manusia, kadang perlu menatap cermin; bukan hanya untuk melihat wajahnya hari ini, tetapi untuk memahami apakah kata-kata yang selama ini ia gunakan masih cukup memeluk perjalanan dan pertumbuhannya.

Depok berada di masa refleksi itu. Sebuah fase ketika kota tumbuh begitu cepat, namun identitas verbalnya, suaranya tidak ikut bergerak.

Ketika slogan yang muncul di spanduk, baliho, dan ruang digital terdengar lebih seperti gema masa lampau daripada representasi dari energi warganya yang terus berubah. Slogan yang dulu terasa pas, kini mulai terdengar longgar di telinga.

Dan menariknya, kesadaran itu tidak lahir dari rapat resmi atau forum kajian branding. Ia justru muncul secara organik, dari percikan kecil yang berloncatan dalam percakapan sehari-hari.

Baca juga: Keteladanan Seorang Prajurit Bangsa: Refleksi HUT ke-90 Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno

Tepatnya di grup WhatsApp DMC, tempat informasi, kelakar, dan kritik berbaur tanpa jeda.

Tulisan saya ini bermula ketika rekan, Rusdy Nurdiansyah, memposting tautan tulisannya berjudul “Festival Depok Keren Sukmajaya, Ajak Warga Ikut Lomba Buat Video Konten Kreatif.”

Sekilas hanya kabar rutin khas DMC, perpaduan antara kerja jurnalistik dan obrolan santai yang berseliweran tiap hari.

Tak berapa lama, seorang anggota lain membalas postingan itu hanya dengan menekan ikon panah kiri, fitur sederhana dalam WhatsApp.

Namun balasan kecil itu malah membuka pintu menuju percakapan yang lebih besar: tentang slogan kota, tentang identitas yang mulai terasa tak lagi pas, tentang bagaimana Depok ingin menyebut dirinya di hadapan warganya sendiri.

Di tengah aliran komentar itu, Yons Achmad melontarkan kalimat ringan namun memantik renungan mendalam.

Ia mempertanyakan slogan “Depok Keren” menyebutnya terlalu generik, terlalu datar, seperti pujian spontan yang biasa kita ucapkan usai menonton film bagus.

“Keren apanya?” begitu kira-kira intinya. Kritiknya bukan ingin menjatuhkan, tetapi mengingatkan, jika Depok ingin naik kelas, brand-nya pun harus ikut naik kelas. Harus disadari Depok sesungguhnya adalah sebuah Brand.

Harapannya sederhana, namun tajam, Depok membutuhkan kata yang lebih jujur menggambarkan dirinya.

Kata yang memuat semangat, bukan sekadar memoles permukaan. Dari sanalah ia menawarkan alternatif, “Depok, Kota Sejuta Talenta.”

Gagasan yang sekilas tampak kecil itu, sesungguhnya mewakili hal besar bahwa Depok dikenal karena potensinya, bukan infrastrukturnya; karena manusianya, bukan gedungnya. Depok adalah kota yang digerakkan oleh orang-orangnya.

Sebagai jurnalis yang mengikuti nadi kota ini hampir setiap hari, sekaligus senang dengan hal-hal yang berbau branding, apalagi yang menjurus ke “City Branding”, kegelisahan itu beresonansi. Tagline bukan sekadar kata-kata.

Ia adalah kompas identitas. Ia adalah arah. Ia adalah janji kota kepada warganya sendiri dan kepada siapa pun yang ingin mengenalinya.

Mengapa Suara “Depok Keren” Mulai Tak Lagi Pas

Untuk memahami persoalan ini, saya perlu menjernihkan satu hal yang sering disamakan orang: positioning dan tagline. Padahal keduanya berdiri di dua ruang berbeda meski saling melengkapi.

Positioning merupakan fondasi strategis, cara sebuah brand ingin dilihat dan dipahami oleh publik. Ia menjawab pertanyaan:

apa nilai unik kita? apa keunggulan kita? mengapa orang harus memilih kita? Positioning bersifat dalam, jangka panjang, dan menjadi arah besar sebuah identitas.

Sementara tagline adalah suara yang lahir dari positioning tersebut, ringkas, emosional, mudah diingat. Ia tampil di ruang publik, di spanduk, di kampanye, di tutur promosi.

Jika positioning adalah pikiran, maka tagline adalah suara. Tanpa positioning, tagline kehilangan makna. Tanpa tagline, positioning kehilangan cara untuk menyapa publik.

Di sinilah menurut saya, masalah Depok hari ini: suaranya tidak lagi mencerminkan pikiran besar kota.

Dan memang menurut saya juga “Depok Keren” tidak menjelaskan kekuatan unik Depok, tidak memetakan keunggulannya, tidak menunjukkan arah masa depannya.

Kota ini jauh lebih kompleks dan hidup daripada sekadar keren. Ia adalah rumah dari ribuan mahasiswa yang datang dari seluruh penjuru negeri.

Ia adalah pusat UMKM yang bergerak penuh daya juang. Ia adalah tempat komunitas kreatif, sosial, dan edukasi tumbuh di gang-gang kecil.

Depok hidup dalam percampuran energi manusia yang luar biasa. Dan kehidupan seperti ini membutuhkan suara brand yang lebih jujur, lebih spesifik, lebih visioner.

Brand Kota Adalah Arah, Bukan Hiasan

Sekarang, mari kita keluar sejenak dari pembahasan slogan “Depok Keren” yang saya singgung sebelumnya.

Ketika saya mencoba menelusuri jejak digital kota ini melalui mesin pencari Google, situs resmi, maupun publikasi daring lainnya, saya justru tidak menemukan satu pun penjelasan yang jelas tentang apa sebenarnya positioning dan tagline resmi Kota Depok.

Tidak ada pijakan yang dapat dirujuk untuk memahami bagaimana kota ini ingin memperkenalkan dirinya kepada publik.

Yang saya temukan justru hal lain: menjelang peringatan hari jadinya, kota ini merilis logo dan tagline “HUT Ke-26 Kota Depok Tahun 2025, Bersama Depok Maju.”

Sebuah identitas visual yang tampaknya hanya dirancang untuk momentum perayaan tahunan. Besar kemungkinan, logo dan slogan itu akan berganti lagi tahun depan, sebagaimana tradisi yang kerap terjadi di banyak daerah.

Namun yang disayangkan, semangat dari slogan “Bersama Depok Maju” itu pun tidak tampak digaungkan secara konsisten. Ia seperti hadir sekilas untuk satu momen seremoni, lalu lenyap begitu kegiatan pemerintah kembali berjalan seperti biasa.

Baca juga: Catatan Cak AT: Mungkin Mukjizat Vaksin mRNA

Tidak terlihat upaya untuk menjadikannya sebagai pesan yang mengikat seluruh program, kampanye, maupun aktivitas organisasi perangkat daerah.

Mungkin memang tidak ada panduan penggunaan identitas visual HUT Ke-26 yang disusun dan dibagikan secara formal. Sebab jika kita cermati spanduk, backdrop, atau baliho yang tersebar di berbagai sudut kota, logo dan slogan “Bersama Depok Maju” hampir tidak pernah muncul berdampingan dengan logo resmi Pemerintah Kota Depok. Ia seperti hidup sendiri, terlepas dari komunikasi pemerintahan yang lain.

Ke depan menurut saya, Depok perlu merumuskan apa yang dikenal sebagai City Branding.

City branding bukan lagi urusan estetika. Ia adalah instrumen pembangunan. Slogan yang tepat dapat: menarik wisatawan, mengundang investasi, membentuk kebanggaan warga, dan yang terpenting menyatukan arah pembangunan.

Ketika brand positioning kota tidak jelas, arah pembangunan pun kabur. Ketika tagline tidak memantulkan positioning, hubungan kota dengan warganya pun terasa dingin. Sebuah kota bertumbuh dari cerita yang ia yakini tentang dirinya. Jika ceritanya lemah, pertumbuhannya pun hilang arah.

Depok dan Suara Baru yang Mulai Terdengar

Barangkali inilah saatnya Depok meninjau ulang suaranya. Bukan untuk sekadar mengganti slogan, tetapi untuk merumuskan ulang positioning kota: siapa kita hari ini, dan siapa yang ingin kita jadi.

Percakapan kecil yang lahir dari satu postingan Rusdy, lalu disambut celoteh Yons, mungkin terlihat remeh. Tetapi kota besar acap kali bergerak justru dari suara-suara kecil yang jujur, suara warga yang sehari-hari merasakan denyut kota, tanpa teori, tanpa pretensi.

Depok sedang tumbuh terlalu cepat untuk diwakili oleh slogan lama. Ia membutuhkan suara yang lebih pas, lebih menggambarkan wajahnya, lebih memantulkan potensinya.

Karena pada akhirnya, kota yang kuat bukan yang paling keras bersuara, melainkan kota yang paling tepat memilih suaranya. (***)

Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior

Berita Terkait

Image

MUI Depok Luncurkan Ruang Bisnis Tumbuh dalam Ekosistem Syariah

Image

Satgas CLBK Depok Bantu Proses Evakuasi ODGJ di Kelurahan Cisalak

Image

Pemkot Depok Bentuk CSIRT, Dapat Mendukung SPBE yang Lebih Aman

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

rusdynurdiansyah69@gmail.com