Perempuan Ini Melindungi Mereka yang Tak Pernah Dicatat Negara

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Hari masih terlalu pagi. Jarum jam seakan enggan bergerak. Baru menunjuk pukul 05.10 WIB. Selepas subuh dari dapur kecil rumahnya di kawasan Kelapa Dua, Kota Depok, Jawa Barat (Jabar), aroma teh hangat berpadu dengan denting sendok dan suara piring yang saling bersentuhan.
Rutinitas sederhana itu menjadi penanda hari bagi Novarina Azli (46), seorang ibu, istri, sekaligus perempuan di balik perlindungan ribuan pekerja yang dulu tak pernah tercatat oleh negara.
Setelah memastikan anak-anak siap ke sekolah dan suami berangkat ke kantor, Nova—begitu ia biasa disapa—mulai melangkah menuju tempatnya bekerja, sebuah kantor jaminan sosial ketenagakerjaan di Jalan Sersan Aning No. 26, Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok.
Perjalanan ditempuh sekitar 20 menit bila lalu lintas bersahabat, namun bisa berlipat saat kemacetan Depok menguji kesabaran. Baginya, waktu menuju kantor adalah jeda untuk menyiapkan hati melayani orang lain.
Ia selalu tiba sebelum loket pelayanan dibuka pukul 08.00 WIB. Sebelum masuk ke ruang kerjanya, Nova kerap berkeliling dulu: menyapa satpam yang baru berganti shift, menegur ramah petugas pelayanan dan pengaduan, atau sekadar menanyakan kabar staf administrasi.
“Kami ini keluarga. Kantor tidak boleh hanya berjalan dengan sistem, tapi juga dengan rasa,” ujarnya sambil tersenyum.
Melampaui Angka
Di kantor itu, kursi-kursi tunggu tersusun rapi, Nova melihat wajah-wajah yang dulu jarang muncul dalam data ketenagakerjaan: dokter yang membuka praktik sendiri, freelancer atau pekerja lepas, pengemudi ojek daring, juru parkir, pedagang, kurir paket, dan guru honorer.
Mereka datang membawa map lusuh, menanyakan saldo Jaminan Hari Tua (JHT), atau sekadar memastikan nama mereka sudah tercatat dalam sistem perlindungan sosial.
Bagi sebagian orang, pekerjaannya mungkin hanya urusan angka. Tapi bagi Nova, setiap angka adalah wajah manusia.
Data per 31 Oktober 2025 mencatat peserta aktif lembaga jaminan sosial ketenagakerjaan di Kota Depok sudah mencapai 197 ribu orang.
“Total peserta aktif Bukan Penerima Upah (BPU) per 3 November 2025 sudah 50,9 ribu orang,” ujar Novarina Azli yang menjabat sebagai Kepala BPJS Ketenagakerjaan Depok, kepada Ruzka Indonesia, Senin (17/11/2025).
Angka itu setara 25,73 persen dari total peserta. Sebuah capaian tinggi untuk pekerja informal, bahkan di atas rata-rata nasional yang baru sekitar 21 persen menurut data Oktober 2025 dari BPJS Pusat.
“Mereka bukan orang yang berjas dan bersepatu pantofel,” kata Nova. “Mereka pedagang pasar, sopir angkot, guru honorer, tukang bangunan, pengemudi ojek daring, orang-orang yang bekerja keras tanpa jaminan apa pun.”
Ia berhenti sejenak, menatap data di mejanya.
“Angka-angka itu bukan sekadar statistik,” ucapnya pelan. “Itu wajah manusia yang harus kami jaga.”
Di Kota Depok, peserta dari pekerja formal (PU) masih mendominasi dengan 62,87 persen. Disusul pekerja informal (BPU) 25,73 persen dan sektor jasa konstruksi (JAKON) 11,40 persen. Adapun pekerja migran (PMI) masih nihil karena sebagian besar terdaftar di daerah asal mereka.
“Masih banyak yang belum terlindungi, dan tugas kami belum selesai,” ujar Nova.
Potret Tantangan Nasional
Kondisi Kota Depok sesungguhnya menggambarkan situasi Indonesia. Dalam Rapat Koordinasi Sinkronisasi Program dan Kegiatan Kementerian/Lembaga dengan Pemerintah Daerah Tahun 2025 di IPDN Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Jumat (31/10/2025), Deputi Kepesertaan Korporasi dan Institusi BPJS Ketenagakerjaan, Hendra Nopriansyah, menyampaikan bahwa secara nasional baru 37,01 persen pekerja tercatat sebagai peserta aktif jaminan sosial ketenagakerjaan.
“Artinya, lebih dari separuh pekerja di Indonesia masih berjalan tanpa perlindungan jika sakit, kecelakaan, atau kehilangan pekerjaan,” ujarnya mewakili Direktur Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan.
Hendra menegaskan, untuk mempercepat peningkatan cakupan kepesertaan, dibutuhkan sinergi lebih kuat antara pemerintah pusat dan daerah, termasuk inovasi pembiayaan sosial yang berkelanjutan.
Pemerintah kini menargetkan Universal Coverage Jamsostek (UCJ) sebesar 99,5 persen, dengan dukungan kebijakan, regulasi, dan penganggaran, khususnya bagi pekerja miskin dan rentan.
Namun menurut para akademisi, tantangan terbesar bukan sekadar memperluas angka kepesertaan, tetapi memastikan pekerja informal merasa layak menjadi bagian dari sistem perlindungan negara.
“Tantangan utama bukan hanya memperluas program, tetapi mengubah cara pandang negara dalam memandang pekerja informal,” ujar Prof. Indrasari Tjandraningsih, Guru Besar Sosiologi Ketenagakerjaan, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. “Selama perlindungan sosial masih dianggap sebagai bantuan, bukan hak, maka pekerja informal akan selalu berada di pinggiran.”
Data yang Hidup
Sepanjang 2025, kantor jaminan sosial tenaga kerja Depok, data resmi per 3 November 2025 telah membayarkan klaim senilai lebih dari Rp570 miliar. Rinciannya meliputi: Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) Rp44,7 miliar, Jaminan Kematian (JK) Rp16,6 miliar dan Jaminan Hari Tua (JHT) Rp509 miliar.
Manfaat perlindungan sosial itu bukan sekadar angka di atas kertas laporan.
Bukti bahwa program JKK benar-benar memberi manfaat nyata terlihat ketika Williyani (42), seorang pengawas Tempat Pemungutan Suara (TPS) 107, Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Cilodong, Kita Depok, mengalami kecelakaan kerja saat bertugas di Pemilu 2024 lalu.
“Saya jatuh saat mengangkut logistik pemilu, dan kaki saya patah,” kenang Williyani, penerima manfaat itu bercerita. “Saya pikir harus berhenti kerja lama dan biayanya pasti besar. Tapi semua ditanggung BPJS Ketenagakerjaan Depok dari operasi sampai terapi.”
Semua biaya pengobatan, perawatan hingga rehabilitasi dirinya senilai Rp122,9 juta ditanggung penuh oleh lembaga jaminan sosial bersama Pemerintah Kota Depok.
“Saya baru tahu, ternyata negara benar-benar hadir untuk kami,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Kisah lain datang dari Lia (32), istri seorang pekerja rentan, Kecamatan Cipayung, Kota Depok yang kehilangan suaminya karena meninggal dunia.
“Saat suami saya wafat, saya pikir hidup ikut berhenti,” kata Lia pelan.
Namun ketika petugas datang membawa santunan sebesar Rp42 juta, ia menangis. “Bukan karena jumlahnya, tapi karena saya merasa tidak ditinggalkan.”
Bagi Nova, cerita seperti itu selalu menggedor lembut hatinya.
“Angka klaim itu bukan sekadar laporan keuangan,” ujarnya. “Itu bukti bahwa jaminan sosial benar-benar menjaga martabat manusia.”
Tantangan Kesadaran
Namun, di balik angka-angka dan keberhasilan serta kisah para penerima manfaat itu, Nova tahu masih ada pekerjaan besar yakni mengubah cara pandang. Banyak pekerja informal yang menganggap iuran jaminan sosial sebagai beban, bukan perlindungan.
“Kesadaran membayar secara mandiri masih jadi tantangan, tapi kami harus terus bergerak,” ujar Nova.
Upaya edukasi pun dilakukan lewat pendekatan humanis kepada komunitas: ojek daring, pedagang pasar, pelaku UMKM, hingga pekerja jasa. Program seperti Pasar Sadar Jaminan Sosial, kemitraan Perisai (Penggerak Jaminan Sosial Indonesia), hingga kanal digital Jamsostek Mobile (JMO) digunakan untuk mempermudah akses dan mendekatkan layanan.
Lewat aplikasi JMO, pekerja informal kini bisa mendaftar, membayar iuran, dan memantau saldo kapan saja, dan di mana saja tanpa harus datang ke kantor.
“Inovasi digital ini bukan sekadar kemudahan, tapi jembatan menuju kesetaraan,” kata Nova, yang sering turun langsung mengajari peserta menggunakan aplikasi tersebut.
Nova percaya, perlindungan sosial bukanlah belas kasih negara kepada warganya, melainkan hak dasar setiap pekerja. Ia sering mengingatkan timnya bahwa iuran yang dibayar peserta bukan beban, tapi tiket agar setiap tenaga kerja informal punya rasa aman dan harga diri.
“Jaminan sosial adalah cara paling manusiawi negara hadir untuk rakyatnya,” ujarnya menjelang sore, menatap antrean warga yang masih datang bergantian di kantornya.
Perlahan, keyakinan itu tak berhenti di ruang kata atau sosialisasi semata. Nova ingin menghadirkan bentuk nyata dari semangat perlindungan sosial yang bisa dirasakan langsung oleh para pekerja rentan di kotanya.
De'llina Kerren
Dari semangat itu lahirlah Program De’linna Kerren (Depok Lindungi Pekerja Rentan), kolaborasi pemerintah kota dan lembaga jaminan sosial. Aparatur Sipil Negara (ASN) Kota Depok menyisihkan sebagian gaji untuk membiayai iuran pekerja yang tak mampu: petugas kebersihan, marbot masjid, penjaga parkir, hingga penggali kubur.
“Kami ingin memastikan tak ada pekerja yang berjalan sendiri,” kata Nova.
Program ini juga menggandeng Baznas, serta aplikator transportasi Gojek atau Grab untuk melindungi guru ngaji, amil zakat, dan mitra pengemudi.
Wali Kota Depok, Supian Suri menegaskan bahwa perluasan jaminan sosial bukan hanya program, tetapi komitmen pemerintah kota.
Dalam konteks perluasan jaminan sosial bagi pekerja informal, Pemerintah Kota (Pemkot) Depok mendukung penuh pelaksanaan jaminan sosial ketenagakerjaan dengan menerbitkan berbagai regulasi daerah.
Mulai dari Peraturan Daerah, Peraturan Wali Kota, hingga Surat Edaran, seluruh kebijakan itu diarahkan untuk memperkuat fondasi perlindungan bagi pekerja nonformal.
Baca juga: Presiden Prabowo Resmi Luncurkan Smartboard di SMPN 4 Bekasi, untuk Proses Belajar di Sekolah
“Jika dibandingkan dengan kota atau kabupaten lain di Jawa Barat, Kota Depok termasuk daerah yang progresif dan memiliki dasar hukum kuat dalam memperluas jaminan sosial bagi pekerja informal,” lanjut Nova.
Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Depok, Sidik Mulyono, menambahkan, “Perlindungan pekerja rentan bukan proyek, tapi budaya.” Pemerintah dan lembaga jaminan sosial ketenagakerjaan harus berjalan bersama agar perlindungan sosial benar-benar menyentuh semua lapisan masyarakat.
Langkah Depok sejalan dengan program Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang mulai melindungi 1 juta pekerja informal melalui skema pembiayaan bersama kabupaten/kota senilai Rp25 miliar. Program ini diumumkan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, di Bandung, Jumat (07/11/2025).
Penerima manfaatnya mencakup sopir angkot, tenaga kebersihan, kuli bangunan, pemulung, asisten rumah tangga, hingga seniman. Melalui kerja sama lintas daerah ini, Jawa Barat menjadi provinsi pertama di Indonesia yang menanggung penuh iuran BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja informal.
Skema ini mencakup perlindungan kecelakaan kerja, santunan kematian, hingga manfaat jangka panjang seperti jaminan hari tua.
Menjemput Mereka
Bagi Nova, pekerjaan ini tidak selesai di belakang meja kerja.
“Pekerja informal sering merasa kantor pemerintah bukan tempat mereka,” katanya.
Karena itu, ia terjun langsung ke lapangan: ke pasar yang baru menggeliat pagi, ke pangkalan ojek setelah hujan, ke aula koperasi, bahkan ke musala kecil atau tempat UMKM berkumpul.
“Kadang kami pulang malam,” ujarnya pelan, “tapi perlindungan sosial tidak bisa lahir dari balik meja.”
Gerakan jemput bola ini juga hadir di Car Free Day (CFD) Jalan Margonda Raya, Depok yang sejak Mei 2025 menjadi ruang sosialisasi terbuka. Nova dan timnya hadir dua pekan sekali, menukar waktu libur keluarga dengan kerja kemanusiaan.
Di belakang gerakan itu ada para agen Perisai, relawan sosial yang blusukan ke kampung-kampung, melewati gang-gang sempit, mengetuk pintu satu per satu, membawa pesan sederhana:
“Daftar. Biar kamu tidak sendirian kalau sesuatu terjadi.”
Wajah di Balik Statistik
Kisah lain datang dari Putri Pratiwi (40), istri penerima manfaat program berupa Jaminan Kematian (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun dan Beasiswa. Bersama kedua orang anaknya, ia menerima manfaat program jaminan sosial sebesar Rp221 juta sebagai ahli waris karyawan Koperasi Sehati Muamalah Barokah, Depok yang meninggal dunia pada Mei 2025 lalu.
“Alhamdulillah, kedua putri saya tidak kehilangan kesempatan sekolah,” ucap Putri. “BPJS Ketenagakerjaan Depok datang bukan membawa belas kasihan, tapi harapan untuk keluarga saya.”
Baca juga: UI, DJP. dan Pertamina Wujudkan Tata Kelola Pajak yang Transparan dan Berkeadilan
Bagi Nova, wajah seperti Williyani, Lia, dan Putri bukan sekadar penerima manfaat dari program jaminan sosial. Mereka adalah alasan mengapa setiap pagi, ia kembali membuka pintu kantor dengan senyum yang sama. Di balik angka-angka kepesertaan, di balik laporan dan rapat koordinasi, Nova melihat kehidupan nyata, orang-orang yang kini bisa melanjutkan hari tanpa rasa takut dan cemas.
“Mereka bukan sekadar data di layar komputer, mereka adalah alasan kenapa kami ada,” ujarnya lembut.
Negara yang Hadir
Setiap hari, kursi ruang pelayanan selalu terisi oleh wajah-wajah yang dulu tak dianggap sebagai pekerja: sopir angkot, pedagang sayur, petugas kebersihan, hingga ibu rumah tangga. Mereka kini punya nomor kepesertaan. Mereka punya rasa aman.
Nova tahu perlindungan di Kota Depok belum sempurna. Tapi baginya, keadilan sosial tidak lahir dari kesempurnaan, melainkan keberanian melihat mereka yang tak terlihat.
“Melindungi itu tidak selalu butuh panggung. Kadang cukup memastikan seseorang bisa pulang ke rumah tanpa rasa takut,” tuturnya.
Baginya, melindungi bukan pekerjaan, melainkan cara memeluk kehidupan. Ia tahu, tak semua pekerja akan segera tercatat. Tapi selama masih ada satu saja yang belum terlindungi, langkahnya tak akan berhenti.
Sebab negara hadir bukan dengan tepuk tangan, melainkan dengan jejak kecil penuh arti untuk mereka yang dulu tak tercatat oleh negara.
Dan di balik semua itu, hadir seorang perempuan—berjalan pelan, bekerja dalam diam, tetapi memastikan perlindungan sosial benar-benar menjangkau mereka yang paling sering dilupakan. (***)
Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior