Warisan Sunyi: Perlindungan yang Terus Bekerja Setelah Orang Tua Tiada

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Kabar duka datang dua kali dalam hidup Fira. Pertama pada 2014, ketika kanker stadium akhir merenggut ibunya, saat ia baru duduk di kelas tiga sekolah dasar (SD).
Lalu sembilan tahun kemudian, kabar duka itu kembali menghampiri—kali ini takdir membawa ayahnya pergi selamanya pada 2023, tepat di tahun ketika ia berada di kelas akhir Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri di Depok, Jawa Barat.
Yang tersisa bukan warisan berupa harta, bukan sebidang tanah, bukan pula sesuatu yang biasanya ditinggalkan orang tua ketika tiada.
Hanya selembar kartu hijau bergradasi dengan aksen biru—kartu BPJS Ketenagakerjaan milik ayahnya. Dari nama yang tertera di permukaannya, Fira menemukan sisa perlindungan yang menjaga langkahnya agar tak runtuh di tengah kehilangan.
Kenangan Masa Kecil
Putri Safira Annaisa Nadimah (20), biasa disapa Fira, lahir di Depok pada Minggu, 21 September 2005. Ia anak bungsu dari lima bersaudara. Fira tumbuh dalam kondisi keluarga yang lebih stabil, dengan jarak usia cukup jauh sehingga perhatian Papa dan Mama tertumpah penuh kepadanya.
“Masa kecil saya hangat,” katanya. Kalau ada penghargaan untuk ibu terbaik di dunia, saya yakin Mama adalah pemenangnya. Mama disiplin, kuat, tetapi penuh kasih. Mama selalu menciptakan kenangan kecil—perjalanan singkat, liburan sederhana, dan pengalaman pertama ke tempat-tempat baru.
Kehangatan itu terhenti pada 2014, tahun ketika kanker serviks stadium akhir mengambil Mama dalam kondisi yang terlambat disadari. Fira masih terlalu kecil untuk memahami kedalaman arti kehilangan itu.
Pagi Bersama Ayah
Setelah Mama pergi, Papa menjadi pusat hidupnya. Rutinitas pagi Papa adalah ingatan yang selalu hidup dalam kepala Fira: secangkir kopi, koran yang belum sepenuhnya terbuka, dan pagi Depok yang masih lembap.
“Saya masih ingat semua itu,” kata Fira ketika menceritakannya kepada Ruzka Indonesia di Depok, Selasa (25/11/2025). “Setiap pagi Papa selalu duduk di teras dengan kopi dan koran. Itu momen yang sekarang terasa sangat mahal.”
“Papa selalu bilang membaca itu jendela dunia,” lanjutnya. Begitu Fira bangun, Papa memanggilnya. Mereka duduk bersama, membahas berita ringan atau sekadar obrolan kecil yang ternyata menjadi fondasi emosional seorang anak. Malam hari, ia diminta menceritakan ulang apa yang ia baca.
Ketika Hidup Terhenti
Ayahnya jatuh sakit perlahan. Komplikasi jantung membuat hari-harinya merosot pelan hingga berhenti sepenuhnya pada 2023—tahun ketika Fira bersiap menutup masa remajanya di SMK.
“Hari-hari pertama itu gelap sekali,” ujar Fira. Rasanya seperti seluruh fondasi hidup saya hancur seketika. Ia seperti dibayangi penyesalan: tidak cukup menemani Papa setelah Mama pergi, tidak cukup duduk di teras, tidak cukup mengingatkan dirinya bahwa waktu bersama orang tua selalu terbatas.
Perasaan-perasaan itu bukan hanya milik Fira. Banyak remaja mengalami guncangan serupa ketika kehilangan orang tua. Sejumlah ahli psikologi pun mencatat betapa fase ini dapat menggoyang struktur emosi seorang anak.
Mengutip situs resmi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Dekan Fakultas Psikologi UGM, Rahmat Hidayat, S.Psi., M.Sc., Ph.D., menjelaskan bahwa kehilangan figur orang tua pada usia remaja sering mengguncang fondasi emosional seorang anak.
“Interaksi dan kedekatan emosional dengan orang tua adalah pelindung psikologis terkuat. Ketika itu hilang, anak membutuhkan dukungan kecil agar tidak merasa berdiri sendirian,” ujar Rahmat.
Momen itu paling terasa ketika saya benar-benar menyadari bahwa Papa sudah tidak ada. Titik paling menyakitkannya muncul saat saya lulus SMK saat seharusnya menjadi awal dari banyak impian, justru menjadi akhir dari mimpi terbesar saya untuk berkuliah.
Melihat kondisi keluarga saat itu. Saya yakin Mbak-mbak dan Mas sebenarnya mampu membantu, tetapi saya memilih untuk tidak menjadi beban tambahan bagi mereka.
Di hari itu, rasanya waktu berhenti, jalan yang dulu saya bayangkan luas dan terang tiba-tiba menjadi buntu. Dan saya harus menguatkan diri sendiri untuk tetap melangkah, meski hati saya belum siap, lanjutnya.
“Rasanya hidup seperti berhenti,” ucap Fira.
Warisan yang Tersisa
Di tengah kebingungan itu, kabar penting datang dari kakaknya yang bekerja sebagai Agen Perisai (Penggerak Jaminan Sosial Indonesia) BPJS Ketenagakerjaan. Papa ternyata peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan dan memiliki manfaat Jaminan Kematian (JKM) serta beasiswa untuk anak. Bagi Fira, kabar itu seperti cahaya yang membelah kabut tebal.
Perlindungan dari Papa
Perlindungan sosial itu membuka kembali pintu yang ia kira telah tertutup rapat. Ia bisa kuliah, meski tidak di kampus impiannya. Kini, ia menempuh studi Administrasi Bisnis di Universitas Terbuka, sambil bekerja sebagai daily worker barista, talent, voice-over, host live, social media specialist, dan relation officer. Hidup Fira mulai bergerak lagi.
“Pertolongan Tuhan itu nggak pernah benar-benar putus,” tuturnya. Ia merasa Papa meninggalkan cinta paling sunyi: keputusan untuk memproteksi keluarganya, jauh sebelum ia sakit.
“Perlindungan sosial itu seperti bentuk cinta yang diam-diam tetapi nyata. Saya merasakannya lewat Papa. Beliau tidak selalu menunjukkan dengan kata-kata, tapi keputusan beliau mendaftarkan keluarga ke BPJS Ketenagakerjaan ternyata jadi cara Papa mencintai kami, bahkan setelah beliau sudah tidak ada,” pungkas Fira.
“Itu membuat saya sadar bahwa cinta tidak selalu hadir dalam pelukan atau kehadiran, kadang hadir dalam perlindungan yang disiapkan jauh-jauh hari agar anaknya tetap bisa berdiri dan melanjutkan hidup.”
Menjadi Duta Beasiswa BPJS Ketenagakerjaan
Suatu hari, kabar dari Ajeng, Account Representative Khusus (ARK) BPJS Ketenagakerjaan Depok, datang. Kantor cabang itu tengah mencari Duta Beasiswa. Fira memberanikan diri mendaftar—dan terpilih.
“Tantangan terbesar justru menceritakan kembali kenangan tentang Mama dan Papa,” ujarnya. Tetapi ia sadar, kisahnya bisa membantu orang lain memahami arti perlindungan.
“Sebagai penerima manfaat, saya adalah pihak yang merasakan langsung bantuan dan dampak positif dari program BPJS Ketenagakerjaan. Sementara sebagai Duta Beasiswa Ketenagakerjaan, peran saya adalah menyebarkan informasi, mengedukasi, dan membagikan pengalaman pribadi agar lebih banyak orang memahami pentingnya program perlindungan jaminan sosial ini,” kata Fira.
Saya ingin generasi saya—Generasi Z—lebih memahami bahwa BPJS Ketenagakerjaan bukan hanya sekadar administrasi, tetapi bentuk perlindungan nyata bagi pekerja dan keluarga mereka, harapnya.
Sebagai Duta, ia hadir dalam berbagai sosialisasi, menjadi narasumber, dan membuat konten edukasi untuk generasinya.
Pada Hari Pelanggan Nasional, 4 September 2025, ia berbagi cerita kepada pekerja informal tentang risiko yang tidak pernah menunggu usia.
Kepala BPJS Ketenagakerjaan Depok, Novarina Azli, menilai kehadiran Fira memberikan sudut pandang yang berbeda.
“Fira tidak hanya menyampaikan program. Ia menyampaikan pengalaman dalam hidup dikeluarganya,” tambah Nova singkat kepada Ruzka Indonesia di kantornya, Selasa (25/11/2025).
Rapuhnya Dunia Gig
Fira hidup di tengah gig economy—ruang kerja yang fleksibel, tetapi rapuh. Ia melihat sendiri bagaimana pendapatan temannya seorang freelancer naik turun, klien berganti cepat, dan risiko pekerjaan kreatif datang tanpa aba-aba.
Data resmi dalam Laporan Ekonomi Kreatif Indonesia menunjukkan bagaimana struktur kerja anak muda berubah cepat. Pada 2024, subsektor ekonomi kreatif mempekerjakan lebih dari 22 juta pekerja—mayoritas berada pada pola kerja fleksibel, proyek, dan mandiri.
Kementerian Ekonomi Kreatif juga mencatat bahwa 54 persen pelaku kreatif bekerja tanpa hubungan kerja tetap, sebuah kondisi yang membuat mereka lebih rentan terhadap risiko sosial dan ekonomi.
Ekonomi kreatif tumbuh pesat, tetapi banyak pekerja di dalamnya tidak memiliki akses ke perlindungan dasar. Model kerja yang cair membuat program jaminan sosial menjadi kebutuhan mendesak.
Menurut penelitian Aura Anisah dan Ratih Damayanti dalam Media Hukum Indonesia (November 2024), pekerja freelance adalah kelompok yang paling rentan karena bekerja tanpa hubungan kerja formal serta menghadapi hambatan besar untuk mengakses jaminan sosial.
Pernyataan lain datang dari Yassierli, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) RI, melalui siaran resmi Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA menegaskan urgensi perlindungan bagi pekerja nonformal.
“Baru sekitar 11,99 persen pekerja informal yang terlindungi BPJS Ketenagakerjaan. Padahal perlindungan sosial bukan beban, melainkan kebutuhan mendasar bagi setiap pekerja,” ujar Yassierli dalam Public Expose BPJS Ketenagakerjaan di Jakarta, 19 Agustus 2025.
Fenomena pekerja lepas atau gig worker kian menantang sistem ketenagakerjaan formal. Mereka bukan karyawan tetap, tetapi juga bukan penganggur. Pendapatannya fluktuatif, statusnya cair, dan risiko kerjanya tinggi. Dalam kondisi seperti ini, BPJS Ketenagakerjaan Depok memilih untuk tidak tinggal diam.
Angka-angka yang dirilis BPS pada Agustus 2025 seolah memantulkan kegelisahan zaman. Tingkat pengangguran berada di 4,85 persen, dan hanya 67,32 persen pekerja yang benar-benar bekerja penuh.
Sementara itu, lebih dari 47 juta orang lainnya hidup dalam ruang abu-abu—bekerja tidak penuh, setengah menganggur, atau sekadar mengejar jam yang tak pernah cukup.
Di tengah dunia kerja yang rapuh dan terus bergeser ini, generasi muda seperti Fira belajar bahwa perlindungan sosial bukan sekadar program, tetapi penyangga sunyi yang menjaga langkah ketika hidup tiba-tiba berguncang.
“Fenomena gig economy memang menjadi tantangan tersendiri dalam perluasan perlindungan jaminan sosial, karena para pekerja di sektor ini tidak memiliki pemberi kerja tetap dan penghasilannya cenderung fluktuatif,” ujar Novarina.
Data terbaru per 31 Oktober 2025 menunjukkan, jumlah peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan Depok telah mencapai 197 ribu orang.
“Sementara total peserta aktif Bukan Penerima Upah (BPU) per 3 November 2025 di BPJS Ketenagakerjaan Depok adalah 50,9 ribu orang,” kata Nova.
“Kami menggandeng platform digital dan asosiasi profesi seperti komunitas ojek daring, kurir logistik, hingga pekerja lepas kreatif agar mereka dapat mendaftar secara kolektif,” papar Nova. Langkah ini bukan hanya soal angka, tetapi juga tentang membangun kesadaran.
Pesan untuk Anak Muda
Di lapangan, Fira sering bertemu pekerja muda—content creator, ojek daring, kurir paket, editor, dan fotografer. Banyak yang merasa tidak butuh BPJS Ketenagakerjaan.
“Menurut saya, banyak anak muda merasa tidak membutuhkan BPJS Ketenagakerjaan karena mereka masih melihat risiko sebagai sesuatu yang jauh dan belum relevan. Selain itu, pemahaman mengenai manfaat dan perlindungan jaminan sosial juga belum merata, sehingga program ini sering dianggap tidak mendesak,” ujar Fira.
Padahal menurutnya, justru perlindungan dasar sangat penting didapatkan sedini mungkin, terutama bagi yang bekerja secara fleksibel seperti freelancer atau pekerja kreatif.
“Risiko nggak peduli umur. Pesannya selalu sama: punya perlindungan bukan soal takut, tapi soal siap,” katanya.
Ia juga aktif membuat konten edukasi di Instagram, menjelaskan manfaat BPJS Ketenagakerjaan dengan bahasa yang ringan, bukan bahasa brosur. Ia ingin generasinya paham bahwa perlindungan tidak harus menunggu hal buruk terjadi.
Proses Fira Bangkit
Ada satu titik ketika Fira merasa dirinya benar-benar bangkit: saat ia kuliah, bekerja, dan melihat impian kecilnya berjalan satu per satu. Untuk pertama kalinya setelah masa duka yang panjang, ia melihat masa depan bukan sebagai ruang gelap, tetapi sebagai jalan yang perlahan kembali terbuka. Ia percaya bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkannya.
Ia belajar menata hari-hari dengan lebih tenang—mengatur waktu kuliah, menerima pekerjaan lepas, hingga membangun jejaring baru yang membuatnya merasa mampu berdiri di atas kaki sendiri. Di tengah kesibukan itu, Fira menyadari sesuatu: ia tidak lagi hanya bertahan, tetapi mulai tumbuh.
“Aman itu ketika saya siap menghadapi skenario terburuk,” katanya. Sebuah kalimat yang dulu terdengar berat, kini menjadi prinsip yang membuatnya lebih kokoh.
Jika Papa masih hidup, Fira tahu apa yang ingin ia sampaikan—bukan sekadar rindu, tetapi rasa terima kasih yang tidak pernah sempat diucapkan.
“Terima kasih ya, Pa. Karena Papa, Fira masih bisa melangkah.”
Cinta yang Tetap Bekerja
Kini, Fira masih tinggal di rumah peninggalan orang tua di kawasan Sukmajaya, Depok. Kadang saat melewati teras, ia seolah melihat bayangan Papa duduk membaca koran. Meski hanya tinggal ingatan, tetapi sangat menghangatkan.
Ia bukan lagi “anak kehilangan”. Ia kini menjadi representasi—penyambung kesadaran bagi pekerja muda yang hidup tanpa perlindungan. Ia pernah diselamatkan oleh selembar kartu hijau itu. Kini, ia mengulurkan makna yang sama kepada orang lain.
Karena perlindungan tidak selalu hadir dalam bentuk besar. Kadang hadir dalam wujud paling sederhana, paling senyap, tetapi paling setia: selembar kartu yang bekerja bahkan setelah kita tiada. (***)
Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior