Pengamat Sesalkan Buruknya Komunikasi Publik Kepala BNPB Suharyanto

RUZKA–REPUBLIKA NETWORK – Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta M Jamiluddin Ritonga menyebutkan, pernyataan Kepala BNPB Suharyanto mengenai bencana di Sumatera hanya mencekam di media sosial tentu sangat disesalkan.
Menurutnya, sebagai pejabat publik, seharusnya Suharyanto menyampaikan informasi publik berdasarkan fakta. Sebab, dalam komunikasi publik setidaknya informasi yang disampaikan seyogyanya akurat, lengkap, relevan, tepat waktu, dan empati.
"Hal itu tampaknya diabaikan oleh Suharyanto. Aspek abaikan fakta akurat misalnya, dengan korban tewas sebanyak 604 jiwa tentu menggambarkan mencekamnya bencana Sumatera. Korban jiwa sebanyak itu tentu menggambarkan dahsyatnya bencana tersebut," ungkap Jamil kepada RUZKA INDONESIA, Selasa (02/12/2025).
Jamil menambahkan, pernyataan Suharyanto juga tidak lengkap, sehingga membingungkan publik. Hal ini terjadi karena Suharyanto menyampaikan informasi bencana tergesa-gesa.
"Ingin cepat menyampaikan informasi, tapi belum didukung data yang cukup. Akibatnya, informasi yang disampaikan menjadi tidak relevan bagi publik. Publik ingin mengetahui detail bencana, tapi informasi yang diterima justru soal mencekam. Informasi seperti ini tidak dibutuhkan publik yang lagi cemas," tandas mantan Dekan Fikom IISIP Jakarta ini.
Di sisi lain, Jamil juga melihat bahwa informasi tidak mencekam juga disampaikan tidak tepat waktu dan mengabaikan empati. Sebab, informasi tersebut pada saat itu tidak dibutuhkan atau tidak relevan bagi publik.
"Informaai tersebut justru melukai perasaan sebagian besar publik. Jadi, pejabat publik seharusnya tidak melakukan hal demikian di saat terjadi bencana. Karena itu, Presiden Prabowo Subianto seyogyanya mengevaluasi Suharyanto sebagai Kepala BNPB," tandas Jamil.
Lantaran hal itu diperlukan agar pejabat publik lebih berhati-hati dalam melakukan komunikasi publik. Apalagi persoalan buruknya komunikasi publik dari pejabat publik sudah berulang disampaikan Presiden Prabowo.
"Jadi, pejabat publik haruslah punya pedoman dalam komunikasi publik. Hal itu diperlukan agar hal yang sama tidak terulang lagi," sesal Jamil. (***)