Surati OCHA PBB, Prof Connie Rahakundini Bakrie Minta Aktivasi Bantuan Internasional untuk Krisis Sumatera

RUZKA INDONESIA – Surat terbuka yang ditujukan kepada Kepala Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) Perserikatan Bangsa-Bangsa, disampaikan Pengamat Pertahanan dan Kebijakan Publik, Prof Connie Rahakundini Bakrie. Connie mendesak aktivasi segera mekanisme bantuan kemanusiaan internasional terkait bencana besar yang melanda Aceh, Sibolga, dan sejumlah wilayah di Sumatera.
Surat bertanggal 2 Desember 2025 yang dikirim dari Saint Petersburg, Rusia, Connie memaparkan situasi lapangan sebagai bencana multidimensi berskala besar yang telah melampaui kapasitas penanganan nasional. Ia menyebutkan adanya pergerakan tanah masif, runtuhan pegunungan, dan instabilitas hidrometeorologis ekstrem yang menyebabkan hilangnya sejumlah desa dari permukaan bumi, serta menimbulkan ribuan korban tewas, luka-luka, hilang, atau bahkan belum ditemukan.
Connie menjelaskan, kerusakan infrastruktur terjadi secara luas. Koridor logistik terputus, beberapa distrik tidak dapat dijangkau, dan ekosistem penyangga kehidupan warga setempat turut hancur. Dengan mengutip laporan citra satelit dan pengamatan lapangan yang menunjukkan potensi terjadinya bencana susulan akibat instabilitas geofisik yang masih berlangsung.
Salah satu catatan yang ditekankan Connie, hingga kini pemerintah Indonesia belum menetapkan status bencana nasional maupun internasional. Menurutnya, ketiadaan deklarasi ini menyebabkan mobilisasi bantuan global terhambat, padahal kondisi di lapangan membutuhkan respons secepat mungkin.
Connie juga menyebut kondisi tersebut sebagai “kekosongan administratif” yang dapat berdampak fatal, terutama bagi wilayah yang sudah terisolasi dan memiliki risiko kematian sekunder tinggi.
Connie dalam suratnya meminta PBB dan OCHA mengambil empat langkah konkret berikut:
1. Mengaktifkan mekanisme koordinasi kemanusiaan internasional segera, tanpa menunggu deklarasi formal dari pemerintah Indonesia.
2. Mengirimkan tim asesmen cepat dan tim penyelamat ke wilayah terdampak yang masih terisolasi.
3. Memobilisasi logistik kemanusiaan internasional, termasuk kapasitas angkut udara, tim medis, obat-obatan, dan tenda darurat.
4. Melakukan pemantauan risiko lingkungan dan struktural untuk mencegah bencana susulan.
Lebih lanjut Connie menekankan bahwa seruan tersebut tidak dimaksudkan untuk menentang pemerintah, tetapi sebagai bentuk prioritas terhadap keselamatan manusia dalam situasi yang disebutnya sebagai ancaman kehilangan nyawa massal.
Connie meminta PBB memberi perhatian setara dengan bencana internasional lain yang tetap memperoleh respons global meski tanpa deklarasi darurat dari negara terdampak.
Mengakhiri isi suratnya, Connie menyampaikan bahwa kehidupan komunitas yang “sudah terkubur, terisolasi, atau berada di ambang kehancuran” sangat bergantung pada aksi cepat lembaga internasional. Ia berterima kasih kepada PBB atas perhatian dan kepemimpinan dalam urusan kemanusiaan global. (***)