Kolom

Catatan Cak.AT: Percikan Topan Senyar

Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Percikan Siklon Senyar. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Percikan Siklon Senyar. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA INDONESIA -- Bencana banjir bandang yang menggulung Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kali ini ibarat tamu tak diundang yang membawa rombongan lengkap: lumpur, kayu gelondongan, sampai trauma kolektif. Air bah itu datang bukan dengan sopan santun hujan rintik-rintik ala puisi romantis, melainkan dengan gaya barbar.

Air yang mengalir dan membandang lantas menghantam jembatan, meremuk-redamkan rumah, dan mencabik-cabik bentang alam seakan sedang marah karena manusia menyepelekannya bertahun-tahun.

Bila alam punya akun media sosial, mungkin ia sudah update status sejak lama: "Sudah kubilang, jangan ganggu aku terus!"

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Bencana sebesar ini tak bisa hanya kita jawab dengan doa dan slogan "tetap waspada". Ia menuntut pembacaan serius dari sisi meteorologi, lingkungan, sampai teknologi.

Apalagi, kali ini ada tamu kehormatan lain: Siklon Senyar, badai mungil dari Selat Malaka yang ukuran fisiknya memang tak sebanding dengan Topan Nargis atau badai di Pasifik, tapi cukup dahsyat.

Dari kacamata meteorologi, hujan ekstrem yang memicu banjir besar ini bukanlah hujan biasa. Bukan pula hujan ala "Desember ceria" yang didramatisasi band rock. Ini hujan yang mendapat suplai energi tambahan dari laut yang makin hangat. Dan ketika BMKG menyebut pembentukan Siklon Senyar itu "tidak lazim", kita patut merinding.

Sebab, wilayah dekat ekuator atau katulistiwa seperti negeri kita biasanya terlalu lemah gaya Coriolisnya untuk memutar sistem badai. Ibarat anak kecil disuruh memutar kipas angin manual —tidak bakal jalan. Tapi kini laut kita berubah jadi gym center bagi bibit badai yang bahkan tak punya niat jadi badai.

Senyar lahir dari bibit-bibit siklon lain, dari awalan Siklon 95B, yang tumbuh cepat di perairan Selat Malaka yang kini menghangat, lalu matang dengan tekanan minimum 998 hPa dan angin 80 km/jam. Bukan monster, tetapi cukup kuat membuat sungai-sungai di Aceh dan Sumatra meluap dalam hitungan jam.

Siklon Senyar hanyalah "adik kelas" dari badai-badai Asia yang berada di Typhoon Belt —jalur maut badai dari Pasifik Barat yang saban tahun menghantam Filipina, Jepang, Taiwan, Vietnam, hingga pesisir Tiongkok. Di sana kelasnya lain: angin 200–250 km/jam, gelombang 3 meter, dan kerusakan miliaran dolar.

Topan Nargis di Myanmar, misalnya, pernah menyapu 140 ribu jiwa hanya dalam semalam. Asia memang hidup di jalur kematian meteorologis; Indonesia hanya kebagian percikan. Tapi kini, ketika bumi dan tanah tak lagi siap menampung air dari langit yang mengucur dahsyat, percikan saja sudah cukup menghancurkan.

Siklon seperti Senyar bekerja bak mesin uap raksasa: memanaskan air laut, menguapkannya dalam jumlah gila-gilaan, lalu mengirimkannya kembali ke daratan sebagai hujan berlapis-lapis. Itulah sebabnya hujan ekstrem dari sistem siklon tidak hanya turun deras, tapi juga tekun —boleh dibilang rajin masuk kerja selama tujuh hari penuh tanpa izin cuti.

Ketika pusaran angin terus-menerus menarik uap air dari laut yang suhunya di atas normal, awan cumulonimbus tumbuh seperti jamur di musim lembap: membengkak, menebal, lalu jatuh serentak. Para ahli meteorologi menghitung curah hujan dalam milimeter—100 mm berarti setiap meter persegi daratan kedatangan tamu tak diundang setebal 10 cm air.

Bayangkan bila dalam sepekan akumulasi hujan mencapai 600–700 mm: setiap lapangan bola serasa ditumpahi ratusan ton air dari langit. Tak ada tanah yang mampu menelan semuanya seketika, apalagi tanah yang telah dipadatkan alat berat atau ditanami sawit yang akarnya lebih sibuk mengisap nutrisi ketimbang meresap air permukaan.

Banyaknya perkebunan sawit justru mempercepat limpasan karena struktur tanahnya padat, minim seresah, dan dibelah jalan-jalan sehingga air memilih jalan pintas: lari, mengalir deras, lalu mengamuk di hilir. Tanah, seperti manusia, punya batas kesabaran. Dan ketika ia disuruh menampung air sebanyak satu danau kecil dalam tempo semalam, ia pun menyerah.

Bila mau sedikit main kalkulator dengan badai, hitung-hitungannya begini. Tadi sudah disebut, para ahli cuaca mengukur hujan dalam milimeter, dan secara sederhana 1 mm hujan di atas 1 meter persegi sama dengan 1 liter air. Jadi kalau dalam sepekan kawasan itu diguyur 600 mm hujan akibat sistem siklon yang bandel.

Itu artinya, setiap meter persegi tanah kebagian 600 liter air—setara lebih dari setengah meter kubik air, atau kira-kira tiga drum besar air minum tumpah di satu ubin 1×1 meter. Sekarang, bayangkan satu hektare lahan (10.000 m²): 600 mm hujan berarti 6 juta liter air, sekitar 6.000 meter kubik.

Angka itu kurang lebih dua sampai tiga kolam renang olimpiade ditumpahkan ke satu petak kebun. Bila kita naik skala lagi ke kawasan 100 km² (ukuran kecil sebuah kabupaten), volumenya melonjak jadi ratusan juta meter kubik air, seperti menuang satu waduk ukuran sedang langsung dari langit.

Di hadapan angka segila itu, wajar jika tanah kewalahan: pori-pori tanah sudah penuh, parit tidak cukup, sungai meledak, dan sisanya mengamuk menjadi banjir bandang. Di situ kita mengerti, bencana ini bukan sekadar "air lewat", tapi operasi massal air dalam volume yang seharusnya diatur negara, bukan cuma diserahkan pada nasib.

-000-

Dari kacamata lingkungan hidup, bencana ini adalah "audit alam terbuka". Banjir bandang jarang sekali berdiri sendiri. Ada utang lama di hulu: pembabatan lereng, sungai yang disempitkan, perbukitan yang digunduli atas nama ekonomi lokal. Hujan ekstrim hanya menekan tombol "enter", maka jadilah itu banjir bandang.

Air yang seharusnya meresap malah jadi pelari maraton: langsung menuruni lereng sambil membawa kayu hasil potongan ilegal logging yang entah sejak kapan berserakan. Di banyak tempat, banjir bukan sekadar limpahan air, melainkan "kiriman dendam ekologis" dari masa lalu, mungkin di era penguasa tertentu.

Perubahan iklim memperbesar intensitas hujan; kerusakan lingkungan mempercepat alirannya; ketidakseriusan tata ruang memperluas dampaknya. Kolaborasi fatal. Kita sering mengira bencana itu musibah alam. Padahal 60 persen isinya musibah manusia, 40 persen sisanya baru alam. Air tidak pernah salah alamat; manusialah yang membangun rumah di alamat yang salah.

Tanah-tanah di Aceh dan Sumatera sesungguhnya pernah punya "daya tahan" lebih baik, terutama di era ketika hutan alam masih menjadi ibu kandung yang menyusui lereng-lereng dengan akar, seresah, dan spons alami yang menyerap air tanpa mengeluh.

Namun dalam dua dekade terakhir, lanskap itu berubah seperti tubuh yang kehilangan jaringan otot: digantikan kebun monokultur, tambang terbuka, jalan logging, dan pemadatan tanah oleh alat berat yang bekerja siang-malam.

Permukaan tanah yang dulu gembur kini keras seperti loyang kue, sehingga air hujan tidak lagi meresap secara pelan dan disiplin, tapi ditolak mentah-mentah lalu disalurkan langsung ke lembah dalam bentuk larian permukaan.

Hutan hujan tropis yang dulu berfungsi sebagai bank air—menyimpan ketika berlebih, melepas ketika musim kering—berkurang drastis, membuat sistem hidrologi lokal jompo sebelum waktunya.

Dulu hujan besar masih bisa dinikmati sebagai simfoni alam; kini hujan sama saja dengan alarm darurat. Ketika fondasi ekologis hilang, tanah pun kehilangan kemampuan paling dasarnya: menelan air.

-000-

Dari sisi teknologi, kita seperti hidup di negara yang punya satelit, balon cuaca, radar hujan, sensor tanah longsor, tetapi penggunaannya masih seperti menonton film bajakan: kualitas ada, manfaatnya setengah.

Prediksi cuaca BMKG sudah semakin akurat, tetapi banyak daerah belum punya sistem peringatan dini berbasis sirene desa, pengeras masjid, atau aplikasi lokal yang bisa membunyikan alarm 5 menit sebelum banjir menerjang. Teknologi deteksi dini kita kadang seperti payung lipat murahan: baru dipakai sebentar, sudah patah sendirinya.

Padahal, negara lain sudah pakai sensor IoT di sungai kecil, sistem SMS/WA massal otomatis, drone pengintai kondisi hulu, dan model prediksi berbasis _machine learning_. Kita masih mengandalkan "lihat langit, nanti tahu sendiri".

Senyar adalah alarm, bukan ancaman tunggal. Bila badai bisa lahir di Selat Malaka, maka Sumatra, Kalimantan, bahkan Jawa punya peluang kena "bonus" meteorologi serupa. Siapa tahu sepuluh tahun lagi kita punya badai lokal kelas menengah. Atau malah kelas kakap. Sains tidak menutup kemungkinan itu.

Walhasil, alam memang bukan hakim yang pemarah, tetapi guru yang sabar. Ia mengulang pelajaran sampai kita paham: jangan ganggu aku, jangan abaikan sinyal-sinyalku, jangan remehkan perubahan iklim yang kalian anggap teori konspirasi.

Jika banjir dianggap tragedi, ia bisa jadi hikmah bila kita mulai menata ulang hulu, menegakkan hukum lingkungan, dan memperbaiki teknologi mitigasi. Sebab air adalah cermin: ia memantulkan tabiat manusia. Kalau sungai keruh, biasanya bukan sungainya yang punya masalah, tapi manusianya. (***)

Penulis: Cak AT – Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 4/12/2025

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

rusdynurdiansyah69@gmail.com