Galeri

Kesetaraan Gender di Kehidupan Seni Budaya dan Sastra

Penulis Fanny J Poyk.

Kesetaraan Gender di Kehidupan Seni Budaya dan Sastra

Oleh Fanny J. Poyk*

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Berada di lingkungan patriahat di mana paham keunggulan lelaki melebihi perempuan, terkadang menjadi semacam kepatuhan yang sudah terjadi sejak berabad-abad lamanya. Hal ini telah menjadi kesepakatan sepihak, dalam hal ini pihak lelaki bahwa sehebat apapun profesi para perempuan, mereka tetap dianggap tidak bisa melebihi laki-laki.

Pakem ini berkembang terus di benak para penganut sistim kehidupan konvensional, khususnya pada sebuah lembaga, yaitu keluarga.

Meski era milenial dengan kemajuan teknologi yang kian melesat ke depan, dan kemajuan perempuan semakin meningkat sejak RA Kartini mendengungkan emansipasi, keberhasilan itu masih saja ada yang menganggapnya sebelah mata hanya karena dia seorang mahluk yang diberi nama perempuan.

Hingga sekarang, secara transparan paham kesetaraan gender terus digaungkan oleh kaum feminis yang menuntut hak-hak mereka harus sama dan setara, khususnya untuk perempuan yang berkecimpung di bidang seni, budaya dan sastra.

Baca Juga: Gerombolan Monyet Liar Serang Pemukiman Warga di Kota Depok, Gigit 2 Bocah, Seekor Monyet Berhasil Ditangkap

Dalam pemahaman yang sederhana, kesetaraan gender adalah ketika orang-orang dari semua jenis kelamin memiliki hak, tanggungjawab dan kesempatan yang sama.

Dengan adanya kesetaraan gender, kemungkinan kekerasan terhadap perempuan khususnya KDRT bisa diminimalisir, paling tidak ada saling pengertian dan tanggungjawab dari masing-masing pribadi untuk saling menghargai dan tidak menganggap sebelah mata pada keberadaan kehidupan seseorang sebagai manusia yang merdeka, sehingga ada ‘human being’ dan empati terhadap kehidupan itu sendiri.

Kesetaraan gender penting juga untuk kehidupan kemakmuran perekonomian, dalam hal ini pria dan wanita memiliki hak yang sama untuk memperoleh pekerjaan di dalam melanjutkan kehidupan mereka masing-masing.

Baca Juga: Teladani Nabi, Masjid Ukhuwah UI Berbagi Kebahagiaan dengan 1.100 Anak Yatim

Apabila masyarakat menghargai perempuan dan laki-laki dengan setara, maka diprediksi keadaan akan lebih aman dan sehat, sebab kesetaraan gender adalah hak asasi manusia.

Berpikir tentang kesetaraan gender, ada banyak penyebab yang menimbulkan sikap apriori yang muncul dari rasa ketidakadilan, khususnya untuk kaum perempuan.

Nada minor dengan tuntutan agar ada penghargaan kepada seorang wanita, terkadang disambut dengan lemparan pendapat yang bernuansa sinis. Misalnya untuk hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan fisik dan otot.

Apabila para perempuan mengumandangkan hak-hak mereka, maka pembalasan secara verbal dilakukan, contohnya memberi tempat duduk kepada para perempuan di sebuah transportasi umum.

Para lelaki berpura-pura memejamkan mata dan tertidur, padahal di depan mereka ada perempuan hamil tengah berdiri. Hal ini umum terjadi. Ketika ketidakadilan ini dikumandangkan, gaung kesetaraan gender dijadikan alasan untuk berdalih.

Tidak hanya itu, dalam hal karya seni pun demikian. Contohnya seperti karya lukis dan sastra. Ada pendapat yang secara tersamar mengatakan bahwa kelas perempuan pelukis dengan karya mereka, berbeda dengan karya pelukis pria.

Baca Juga: Ini 8 Lokasi Kedai Bakso, yang Kelezatannya Tak Terbantahkan di Kota Depok

Karya sastra perempuan juga masih berada di level menengah ke bawah dibanding karya sastra para pria. Hasil karya sastra perempuan bisa dihitung dengan jari yang memenangkan Nobel.

Tahun 2023 ini saja, pemenang Nobel sastra kembali laki-laki yaitu Jon Olav Fosse asal Norwegia. Secara general, nama pelukis laki-laki selalu mendominasi dan dikenal dunia, contohnya seperti Pablo Picasso, Leonardo Da Vinci, Michelangelo, Rembrant Hingga Affandi dan Basoeki Abdullah.

Keberadaan ini mencerminkan bahwa tidak hanya pada dunia sastra, di dunia seni lukis pun dominasi karya masih dipegang oleh kaum Adam. Padahal jika ditelisik, para pelukis wanita Indonesia seperti Kartika Affandi, Maria Tjui, dan banyak lagi, memiliki garis-garis yang kuat dari setiap goresan lukisan mereka di atas kanvas.

Baca Juga: Dinas PUPR Kota Depok Luncurkan Website Resmi Spatial Data WebGIS

Nama para penulis sastra pun sejak dulu banyak yang mumpuni, contohnya seperti NH Dini, Titie Said, Maria A Sardjono, Hanna Rambe, dll.

Padahal, jika ditelusuri, kaum perempuan juga memikul beban yang berat kala mereka harus menanggung sembilan bulan sepuluh hari ketika hamil putra-putri mereka dan tugas selanjutnya adalah menyusui serta membesarkan mereka hingga mereka dewasa lalu menikah dan punya anak.

Ucapan nyinyir memang kerap terjadi, jika kaum lelaki tak ada, maka para perempuan tidak bisa hamil dan punya anak. Nah, seandainya narasi itu dibalik dengan mengatakan bahwa kaum lelaki apakah bisa menghamili diri mereka sendiri?

Baca Juga: Novel Sejarah, Silsilah Keluarga dan Depok Masa Kini

Di sinilah perlu ada pemikiran jernih bahwa peran laki-laki dan perempuan itu sama. Banyak para ibu tunggal, para janda yang bertahan hidup sendiri demi membesarkan anak-anaknya. Para lelaki, hanya segelintir yang sanggup hidup sendiri kala membesarkan anak ketika istri mereka meninggal dunia.

Itulah sekelumit contoh dari ketidaksamaan peran yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, juga di beragam profesi yang ada. Kekuatan fisik memang menjadi salah satu alasan bahwa perempuan selalu berada di bawah kendali laki-laki.

Hal ini memang terlihat wajar, sebab secara kodrati Tuhan telah menciptakan perempuan dengan fisik yang kekuatannya di bawah para lelaki. Perempuan diambil dari tulang rusuk lelaki, itu kisah yang diyakini terjadi.

Baca Juga: Pemkot Depok Berikan Bansos RTLH ke 360 Warga Penerima Manfaat Sebesar Rp 23 Juta

Namun demikian, hal ini tidak bisa dianggap pukul rata kalau perempuan lemah juga di dalam pemikiran secara intelektual. Banyak perempuan yang menyandang gelar hebat yang menjadi menteri, dosen, pengusaha, dan jabatan mumpuni lainnya.

Hidup di dunia hanya sementara. Apabila kebersamaan, toleransi dan kesetaraan di dalam berpikir dan berpendapat telah menimbulkan frasa aku yang lebih kuat dari kamu atau aku lebih bermartabat dari kamu, maka hubungan yang terjadi akan menjadi tidak harmonis lagi.

Jika sudah demikian carut-marut rasa akan menghantui. Ketenangan di dalam mengarungi kehidupan itu sendiri tak pernah dirasakan. Hidup itu penuh dengan tembok absurd, kata filsuf Albert Camus. Sekarang, bagaimana kita menghadapi tembok itu agar kesetaraan di dalam beragam hal tidak lagi menjadi timpang atau berat sebelah. (***)

*Penulis wartawan senior, cerpenis, novelis dan penulis puisi. Tinggal di Kota Depok