Rini Intama, Dalam Buku Antologi Puisinya, Berkisah Tentang Upacara Cio Tao
ruzka.republika.co.id--Di ranah sastra Indonesia, salah satu yang menjadi perbincangan hangat di kalangan pecinta literasi adalah puisi.
Puisi yang tersalurkan lewat kata-kata, diksi, metafora dan majas, telah memiliki kekuatan tersendiri bagi para penyair dan pecinta puisi di seluruh Indonesia bahkan dunia.
Puisi juga telah menggiring seorang penyair perempuan yang bernama Louise Gluck asal Amerika memenangkan hadiah Nobel untuk bidang sastra dalam hal ini puisi pada 27 Maret 2023.
Baca Juga: SIS For Palestine, Sukses Digelar SD Silaturahim Islamic School Cibubur
Di Indonesia penyair perempuan bisa dihitung dengan jari. Salah satu penyair tersebut bernama Rini Intama.
Peraih penghargaan bergengsi di bidang puisi dari Yayasan Hari Puisi Indonesia melalui antologi puisinya yang berjudul Kidung Cisadane, kembali menerbitkan buku puisi yang bertema budaya dengan kiblat penelitian di Kota Tangerang, yang berjudul Upacara Cio Tao.
Puisi-puisi yang ada di dalam buku antologi ini oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).
Baca Juga: Dinas PUPR Depok Sedang Bangun Jembatan Baru di Jalan Mujair, Warga Dihimbau Bersabar
Penulisan puisi tampaknya bisa dilakukan dengan riset dari berbagai budaya yang ada di Indonesia, Rini Intama telah melakukannya.
Penyair, ibu tiga anak sekaligus guru Bahasa Inggris ini, meneliti tentang para imigran Tiongkok di abad 14 yang menetap di Teluk Naga, mereka kemudian menikahi perempuan pribumi peranakan Tionghoa dan selanjutnya tinggal di sekitar Benteng VOC, dekat Pasar Lama Tangerang.
Melalui buku kumpulan puisinya yang berjudul Cio Tao itu, penyair berdarah Manado dan Sunda ini mengisahkan tentang masuknya tradisi Cio Tao di Nusantara.
Baca Juga: Telkomsel dan WeTV Sajikan Pengalaman Digital dengan Konten Hiburan Kelas Dunia
Penyair yang juga menulis buku kumpulan puisi berjudul Ayin, mengisahkan kalau Cio Tao merupakan ritual pernikahan yang dilalukan oleh peranakan Tionghoa di Tangerang.
Di dalam pernikahan itu terdapat peralatan yang meliputi gunting, timbangan makanan sejumlah 12 mangkuk, meja samkai, juga ada acara yang disebut sangjit.
Di bahasa Hokkien, Cio Tao artinya menyisir rambut. Upacara ini didominasi oleh warna merah yang menggambarkan kegembiraan dan cinta.
Menurut sastrawan Eka Budianta, dari rangkaian puisi-puisi yang ditulis Rini Intama, terdapat benang merah yang panjang tentang Tangerang dan Ciben (Cina Benteng).
Menulis puisi dengan latar belakang kebudayaan Ciben, bukan semata-mata karena Rini sebagai pendatang di Tangerang, namun semua dia lakukan karena rasa cinta dan keinginan yang kuat untuk menuangkan kegelisahannya ke dalam bentuk puisi.
Melalui penelusuran, penelitian dan mempelajari selama bertahun-tahun obyek yang ditulisnya, hal ini memberi pemahaman baru bahwa puisi pun bisa memberikan gambaran tentang sejarah dan kebudayaan sebuah bangsa.
Baca Juga: Cegah Penyakit Gagal Ginjal Kronis, Masyarakat Depok Diajak Hidup Sehat
Melalui buku kumpulan puisi Cio Tao, pembaca diharapkan paham dan tahu bagaimana catatan sejarah Tangerang dan Ciben yang pernah terjadi di sana.
Setidaknya melalui buku ini, Rini Intama telah menyampaikan pikiran, perasaan dan imajinasinya melalui kata dan diksi-diksi yang baik.
Reporter : Fanny J Poyk