Sejarah Depok dalam Buku Novel Fanny Jonathans Poyk, Ibu, Menjanda dan Dodol Depok
ruzka.republika.co.id--Wartawan senior yang juga novelis, Fanny Jonathan Poyk meluncurkan buku Sebuah Novel Depok, Tentang Ibuku, Kota Depok, Feminisme, Filsafat Kehidupan dan Cinta yang diterbitkan Kosa Kata Kita (KKK) pada September 2023. Berikut kisah Ibu, Menjanda dan Dodol Depok.
Maka sekali lagi ku tuturkan, ketika ada yang mengatakan suami Ibu tewas dan dimakamkan di daerah Cisalak, Cimanggis, Ibu terdiam. Hal ini ternyata berkaitan dengan keberadaan Tentara Jepang yang kerap datang ke rumah Ibu. Ingatannya pun mulai pulih. Mendengar sang suami dibawa pergi, tak lama air matanya menetes, hatinya benar-benar pilu, dia seolah tak percaya itu terjadi padanya.
Pernikahannya yang bahagia, suami yang baik dan bertanggungjawab, harus pergi tanpa memberikan pesan terakhir padanya.
Kisah sang suami hilang pun seperti untaian kalimat fiksi dari sebuah cerita yang faktanya antara ada dan tiada.
Baca Juga: Kota Depok Gelar Vaksinasi Rabies Massal Gratis, Catat Tanggalnya
“Padahal, kala itu, kami sedang membangun rumah, tiba-tiba ada dua orang tentara Jepang menjemput suami Ibu. Sejak dijemput itulah dia tidak pernah kembali ke rumah. Ibu rasa, suami Ibu dituduh sebagai mata-mata tentara KNIL atau Belanda karena dia pandai berbahasa Belanda.” Duga Ibu kembali.
“Ibu takut untuk berbicara tentang suami Ibu yang dijemput Tentara Jepang. Tapi Ibu yakin, dia dibunuh karena kedekatannya dengan orang-orang Belanda yang ada di Kampung Depok Lama. Buat Ibu, masa itu nyawa seseorang sungguh tak ada artinya.” Ucapnya lagi.
Kemudian kisah itu beralih ke kegiatan yang Ibu lakukan setelah sang suami tiada. Dulu, Ibu sering naik kereta api sambil menjajakan penganan kepada tentara Nipon alias Jepang.Masa itu berjualan di dalam kereta diperbolehkan.
Ibu menuturkan kalau dia pernah mengalami peristiwa yang membuatnya hampir tak bisa menemui anak-anaknya lagi akibat dari berdagang.
Dia pernah dituduh sebagai mata-mata Tentara Republik tatkala berada di dalam kereta dan diinterogasi di bawah popor bedil atau senjata tentara Jepang.
Baca Juga: Pelaku UMKM di Kota Depok Dilatih Teknik Dasar Shibori Sekka
“Saya bukan mata-mata Tuan...saya bukan mata-mata Tuan...," ujar Ibu kala diinterogasi di bawah todongan senjata.
Tubuh Ibu gemetar dan wajahnya dipenuhi aura ketakutan. Hingga kini Ibu selalu terkenang dengan kisah itu. Kadang ia tersenyum meringis, kadang air mata mengambang di pipi, “Ibu kan tidak mengerti politik dan diplomasi, kok dituduh jadi mata-mata, aneh sekali.” Katanya lagi.
Aku kembali menyimpan kata-kata yang diucapkan Ibu di dalam hati, apa yang Ibu rasakan dan alami, menjadi catatan sejarah yang kemudian ia lebur dengan kerja keras untuk menghidupi keempat anaknya.
Gurat di wajahnya yang penuh dengan perjuangan nampak jelas, bagiku Ibu adalah perempuan sejati yang sangat tegar menghadapi segala permasalahan yang dihadapinya. Ia bisa dikatakan saksi hidup yang menjadi saksi nyata untuk menghadapi tantangan zaman.
Hidup sebagai janda dengan empat anak yang dua kemudian meninggal kala itu, menurut Ibu sangat berat. Seperti kisah sebelumnya, saat itu dia belum bertemu dengan Ayahku.
Selain karena harus mampu mencari biaya hidup, cibiran Orang tentang status janda pun membuat Ibu tertekan. Ya, kala itu dia masih muda dan cantik. Banyak pria tertarik padanya, namun rata-rata telah menikah dan memiliki anak.
Ibuku Maria Jonathans (Jonathans marga ayahku) tidak mau menikah dengan pria beristri, sebab akan menyusahkan semua pihak. Maka ketika Ayahku yang bujangan datang meminangnya, Ibu langsung setuju.
Lelaki bernama Johan Jonathans ini kemudian menjadi suaminya. Dari suami barunya ini, ibu kembali melahirkan empat anak, dua laki-laki dan dua perempuan, dan seperti yang kut tuturkan sebelumnya bahwa anak perempuan yang bungsu itulah aku.
Ibu bahagia dengan pernikahannya. Ayahku menyayanginya, mereka hidup bahagia hingga Ayah meninggal karena penyakit jantung Ibu kembali sendiri di hari tuanya.
Baca Juga: Final AGT 2023, Putri Ariani Juara untuk Penyanyi, Ini Faktanya
“Begitulah kehidupan Jean, ada yang pergi dan ada yang bertahan. Kita tidak tahu kapan akan pergi meninggalkan dunia yang fana ini,” kata Ibu selalu jika kulihat dia duduk diam dan merenung di depan tungku yang masih tersisa bara api usai membuat penganan bernama Dodol Depok.
Ibu adalah chef atau juru masak yang piawai. Masakan apapun bisa diolahnya menjadi makanan yang lezat. Kala susah, bahan bulgur diolah Ibu menjadi makanan yang enak.
Begitu pula dengan nasi jagung, rasa jagungnya tersamarkan, kami seolah memakan nasi dari beras yang asli.
Keahliannya ini kemudian menggiring Ibu
menjadi juru masak yang profesional pada masanya, dia kerap diundang di tiap pesta pernikahan yang berlangsung di Kampung Depok Lama,
Biasanya Ibu mengajak beberapa temannya untuk membantu, mereka adalah Mak Rini, Mak Dora dan Mak Pat.Aku juga kerap diajaknya Ikut serta.
Sebelum kami pindah dari Kampung Liok ke Kampung Depok Lama, kami kerap mengunjungi Kampung Depok Lama dengan kegembiraan yang tiada tara, sebab biasanya usai acara perhelatan pernikahan, ulang tahun pernikahan atau perayaan hari kelahiran, Natal dan Tahun Baru, Ibu dan dan teman-temannya memperoleh bayaran yang lumayan.
Mereka juga membawa beragam makanan hasil masakan yang mereka buat dalam kondisi masih utuh bukan bekas makan para tetamu. Makanan itu berupa ayam kampung goreng, sate kambing, semur daging sapi, makaroni schootel, acar gurame, hingga salad sayuran bercampur buah. Memasak makanan perpaduan antara masakan Eropa dan Depok, sudah biasa buat Ibu.
Ibu pembuat kue Dodol yang handal. Dodol merupakan penganan yang terdiri dari campuran beras ketan, santan dan gula merah. Semuanya diolah dan dimasak dengan kayu bakar dalam waktu yang cukup lama hingga kekentalannya pas dan dapat dibungkus dengan berbagai wadah.
Dodol ada yang dibungkus dengan daun kering dari pohon pinang, daun itu kerap disebut kraras. ada juga yang dibungkus dengan plastik yang sudah diukur sesuai dengan harga yang dipatok Ibu.
Dodol Depok Maria Magdalena Jonathans begitulah nama yang diberikan oleh Ibu pada stiker yang menempel di pembungkus Dodol. Dodol pula yang akhirnya membawa nama Ibu terkenal hingga ke negeri Belanda dan Amerika.
Baca Juga: Kemasan Konflik Keluarga Dalam Film Drama Komedi Mohon Doa Restu
Orang-orang Kampung Depok Lama yang menetap di Belanda dan Amerika, memesan Dodol Depok buatan Ibu untuk dibawa ke negaranya.
Anehnya, menurut penuturan ibu, resep Dodol itu dia dapatkan dari seorang nyonya bernama Adeline Krueger, seorang perempuan Belanda yang bersuamikan pria campuran negeri keju dan Jerman.
Iklan melalui 'tutur tinular' dari mulut ke mulut ini membuat Dodol Depok bikinan Ibu kian terkenal dan puluhan tahun menjadikan Ibu sebagai pelaku bisnis Dodol rumahan yang cukup berhasil di masa itu.
Setelah Ibu tiada, kami anak-anaknya, tidak ada lagi yang meneruskan bisnisnya sebagai pembuat Dodol. Terlalu melelahkan menurutku.
Bisnis rumahan itu meski untungnya tidak begitu besar namun uang setia masuk ke dompet Ibu. Dodol bisa melanggengkan perputaran perekonomiannya sehari-hari.
Baca Juga: Pemkot Depok Klaim Stunting Menurun, Tercatat Hanya 3,46 Persen
Bisnisnya itu, membuat nama Ibu menjulang. Bisnis Dodol Depok dengan merek Maria Magdalena Jonathans, menggiring Ibu menjadi perempuan mandiri yang bisa kubilang sangat perkasa.
Dodolnya itu kemudian banyak yang pesan, tidak hanya orang Amerika dan Belanda saja, tapi orang Depok yang tinggal di Jakarta banyak yang membeli Dodol Depok buatan Ibu.
Mereka memberi alasan, selain enak dan gurih, Dodol ibu awet, tahan lama dan tidak berjamur atau cepat basi. Ya, tentu saja. Selain terbuat dari beras ketan asli, Dodol Depok buatan Ibu dimasak dengan api yang pas dengan waktu cukup lama hingga si Dodol menjadi awet.
Seperti yang sudah ku jelaskan di atas, setelah Ibu tiada, bisnis Dodol Depok terhenti dengan sendirinya. Selain melelahkan, yang mengaduk dodol juga sudah tiada alias telah pergi dari bumi ini.
Orang-orang di era milenial yang kekinian sudah jarang yang mau mengambil pekerjaan sebagai pengaduk Dodol. Di samping itu, bisnis ini butuh ketelitian dan kesabaran dan menyita wakt yang cukup banyak, terutama pada cara membungkusnya.
Aku tidak sabar seperti Ibu, yang dengan telaten membungkus Dodol itu dengan plastik atau daun 'kraras', daun kering yang dipetik dari pohon pinang selama seharian penuh.
Baca Juga: Buruan Lamar CPNS dan PPPK 2023, Telah Dibuka Pendaftaran di 9 Kementerian
Itulah Ibu, kilas balik tentang masa kecilnya yang dia tuturkan kala dia masih perkasa, sebelum meninggalkan dunia yang fana ini masih membayang jelas di benakku.
Kampung Depok Lama, kala itu, sebelum Ibu ikut ayah pindah ke Kampung Depok Lama, kami tinggal di Kampung Liok, sekitar lima kilometer dari Kampung Depok Lama.
Kampung Liok kini menjadi bagian dari Kabupaten Bogor. Jika hendak ke Kampung Depok Lama yang ku anggap lebih modern dari kampungku itu, aku dan Ibu harus melewati areal persawahan dan rel kereta api yang mungkin sudah ada sejak zaman Belanda.
Rel kereta itu masih satu arah, belum dua arah seperti sekarang. Letaknya tak jauh dari rumah kami. Kini sawah yang ada di sana telah berubah menjadi mal, perkantoran, jalan layang dan kantor Walikota. Sisa-sisa areal pertanian di masa lalu telah dilibas habis oleh modernisasi.
Istilah Belanda Depok sendiri diberikan kepada penduduk Depok Lama karena hampir semua penduduk yang kala itu tinggal di sana memakai Bahasa Belanda di kehidupan keseharian mereka.
Padahal sesungguhnya mereka adalah penduduk asli Indonesia dengan warna kuit dan penampilan yang sama seperti penduduk Indonesia pada umumnya.
Kawasan yang terletak tak jauh dart Stastun Depok Lama Ini, sekarang masuk dalam Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran mas, Kota Depok, Jawa Barat.
Dahulu kawasan Ini dihuni oleh Kaoem Depok, sebutan untuk penduduk asli Kampung Depok Lama.
Sekarang banyak rumah milik penduduk Kampung Depok Lama yang sudah dijual ke penduduk pendatang dari luar kota.
Meski demikian, beberapa peninggalan Belanda masih bisa ditemui di kawasan Depok Lama, antara lain rumah-rumah bergaya arsitektur tempo dulu di Jalan Pemuda Depok, Jembatan Panus di Jalan Siliwangi, hingga Tugu Peringatan Cornelis Chastelein yang juga berada di Jalan Pemuda Depok, Gereja Immanuel Depok di Jalan Pemuda.
Semuanya masih dalam kondisi baik namun ada beberapa yang mengalami renovasi, seperti Gereja Immanuel.
Pada tahun delapan puluhan, puluhan rumah berarsitektur Belanda banyak yang di jual dan di ubah menjadi lebih modern.
Para pembeli rumah-rumah kuno di zaman Belanda itu telah memugar nya menjadi rumah-rumah minimalis yang kekinian. (***)
Reporter: Maulana Said