Tumpangan dari Fotografer Juventus
ruzka.republika.co.id - Sejak menapakkan kaki di Bandara Internasional Wina, saya terus mengukur jalan. Mencoba meraba-raba suasana di Ibukota Austria itu. Tanya sana-sini untuk mendapatkan berbagai informasi. Rasa lelah setelah 21 jam pernerbangan pun akhirnya terlawan.
Mata yang kantuk jadi melek ketika saya dan rekan wartawan Tempo, Hari Prasetyo, menyisir Stadion Ernst Happel untuk mengurus akreditasi. Mas Hari--senior saya ketika di Tabloid GO- pula yang menjemput di bandara Wina (Vienna).
Dirk Hoosenberg—petugas akreditasi pers yang menguasai empat bahasa— Prancis, Jerman, Inggris, dan Belanda cukup kaget ketika tahu saya dari Indonesia.
“Yang saya tahu, belakangan ini lagi ramai-ramainya demo di negeri Anda,” tutur Dirk yang mengaku tahu Indonesia dari televisi dan surat kabar nasional Austria.
Hmmm... saya hanya menganggukan kepala. Ya, itulah demokrasi! singkat saya menjawab.
Setelah menyodorkan data yang saya terima dari UEFA -- Asosiasi Sepak Bola Eropa- Dirk langsung mengecek di komputer. Hanya sekitar lima menit akreditasi liputan Piala Eropa- diberikan kepada saya. Luar biasa progresnya. Begitu cepat. Tidak 'bertele-tele'.
Sejurus kemudian saya ke ruang Press Center. Tempat kerja wartawan. Baru juga membuka laptop, seseorang melempar senyum lalu menyapa saya.
“Did you remember me?” Saya hanya terperangah. “Maaf kalau saya lupa,” sahut saya.
“Kita pernah bertemu di Portugal pada Euro 2004,” tambah bule itu memberi gambaran.
Tapi, memori saya masih lemot. Belum juga bisa menangkap sinyal. Maklum, pertemuan itu telah lama berlalu.
Pada Piala Dunia 2006 di Jerman, saya tak bertemu dengan pria yang mengaku bernama Stefano Guatelli, fotografer Il Giorno dari Italia itu.
“Anda masih ingat pada momen apa kita bertemu?” saya balik bertanya kepada pria berkacamata yang didampingi rekannya, Jonathan Moscrop, fotografer klub Juventus.
Ketika ia menjelaskan kem latihan Italia, memori saya langsung terbuka. Ya, Stefano yang membantu saya wawancara dengan Alessandro Del Piero, Andrea Pirlo, dan Christian Panucci pada Euro 2004 lalu.
Ia juga yang menolong ketika saya dilarang masuk ke lapangan saat sesi latihan. Maklum, area tersebut hanya untuk fotografer. Sedangkan ID Card saya tertulis journalist.
Kontan, saya langsung minta maaf. Ia hanya bilang tidak masalah. “Kapan Anda datang?” Stefano dan Jonathan kaget waktu saya bilang dua jam yang lalu, dan saya akan melanjutkan perjalanan ke Geneva, Swiss.
"Wow... kamu tidak lelah," gumam Stefano.
Lelah itu pasti. Tapi, setumpuk tugas menanti. Suka atau tidak, saya harus lakoni.
Stefano menawarkan saya mengintip kemp latihan Timnas Italia. Saya tak bisa menolak. Ini sebuah kehormatan. Dia pun memberi saya tumpangan. Saya duduk di kursi belakang.
"Ayo kita berangkat melihat latihan Italia,” imbuh Jonathan.
Saya pun cepat-cepat mematikan laptop. Kami meluncur dengan mobil sewaan. Stefano yang menyetir mobil dan dinavigatori Jonathan. Stefano langsung tancap gas ke kemp Italia di Niederosterreich-Das Weitelan, di pinggiran Kota Wina.
Dalam 20 menit perjalanan, kami berbagi cerita soal sepakbola. Tentunya, menyangkut peluang Italia. Stefano maupun Jonathan menyadari perjuangan Gli Azzurri bakal berat.
"Saya berharap Inggris yang lolos, tapi sayang tim kesayangan saya sudah ditendang Kroasia di babak kualifikasi,”canda Jonathan sambil tertawa.
Pembicaraan makin seru ketika saya melempar nama Kurniawan D. Julianto dan Bima Sakti yang sempat menimba ilmu di Primavera Sampdoria pada 1994.
Mereka mencoba menguak ingatannya. Sayangnya mereka lupa soal Kurniawan maupun Bima. Yang mereka ingat kala itu Sampdoria dilatih oleh Sven-Goran Eriksson.
Tapi, menurut Stefano andai proyek Primavera terus berlanjut, mungkin sepakbola Indonesia akan lebih baik. Ia pun siap menjembatani jika ada pemain Indonesia yang mau berlatih di Milan.
Sesuai mengintip latihan Timnas Italia hingga pukul 20.30 waktu lokal, saya pun cepat-cepat meluncur ke Wien Westbahnhof untuk pergi ke Genewa, Swiss yang berjarak 1032 km.
Cao, sobat! (Yayan)