Depok Ada UI, Bukan Tempat 'Jin Buang Anak'
ruzka.republika.co.id--Hembusan angin sepoi yang diselimuti embun nan dingin menerpa tubuh mungilku. Selamat pagi ku berkata ke bapak guru saat hendak memasuki pintu gerbang sekolah di salah satu sudut kota yang saat ini bernama Kota Depok.
Dulu, pada 1976 saat berdiri proyek Perumahan Nasional (Perumnas), nggak ada yang mau tinggal di kawasan selatan Jakarta ini, yang dipenuhi jejeran Pohon Karet. Dianggap tempat 'jin buang anak'.
Seiring perjalanan waktu, pada 5 September 1987 Kampus Universitas Indonesia (UI) 'bergeser' ke Kota Depok dengan menempati lahan 320 hektare. Kepindahan UI dari kampus di kawasan Rawamangun Jakarta ini menjadi kebanggaan tersendiri warga Kota Depok. Betapa tidak, nama Depok yang menjadi Kotamadya pada 1999 dalam sekejap dikenal seantero jagad raya.
Dilansir dari laman ui.ac.id, "Membangun UI adalah Membangun Peradaban Bangsa." Sejatinya melihat sejarah UI adalah melihat sejarah bangsa. Tidak hanya karena banyak tokoh-tokoh besar bangsa yang lahir dari UI, namun juga UI berkontribusi secara nyata bagi dunia intelektualitas dan pembangunan bangsa Indonesia.
Sejarah intelektualitas negeri ini telah dimulai sejak akhir abad 19, dimulai dari munculnya Sekolah Dokter Jawa (1849) pada zaman kolonial, STOVIA (1898), hingga pada masa kemerdekaan Republik Indonesia (RI) lahirnya UI (1950).
Sebagai perguruan tinggi tertua di Indonesia, sejarah membuktikan, banyak universitas di negeri ini seperti ITB, IPB, Unair, Universitas Hasanuddin, IKIP (sekarang UNJ), pada mulanya adalah bagian dari UI sebelumnya, meskipun akhirnya berdiri sendiri-sendiri.
Tentu dengan keberadaan UI, menjadikan kota penyangga Ibu Kota Negara tumbuh pesat, membuat beragam percepatan pembangunan terjadi. Warga Kota Depok pun berjalan 'membusungkan dada' karena dirasakan 'denyut' UI yang memiliki visi dan misi world class research university.
Melalui Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) UI menjalankan jenis pengabdian masyarakat dengan pengaplikasian riset dalam kehidupan masyarakat di Kota Depok.
Beragam program Riset dan Pengabdian Masyarakat UI telah dirasakan manfaatnya oleh warga Kota Depok. Salah satunya yakni program yang dijalankan Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (SIL UI).
Dengan mengandeng Pemerintah Kota (Pemkot) Depok, SIL UI menginisiasi gerakan peduli sampah rumah tangga di Kelurahan Cinangka melalui Program Pengabdian Masyarakat dengan tajuk “Workshop Diseminasi Teknologi Kompos MoL (Mikroorganisme Lokal)” pada November 2022 lalu.
Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh beberapa permasalahan di Kota Depok berkaitan dengan pengelolaan sampah guna mendukung konsep Smart City, yaitu kota yang mengelola seluruh potensi sumber daya alam dan manusia secara efektif dan efisien guna memenuhi berbagai kebutuhan dan menyelesaikan berbagai tantangan keberlanjutan melalui integrasi manajemen inovasi secara berkelanjutan.
SIL UI memberikan pelatihan kepada 21 ibu-ibu Kelompok Wanita Tani (KWT) Srikaya di RW 04, Kelurahan Cinangka, yang merupakan Lokasi P2WKSS (Program Peningkatan Peranan Wanita Menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera) Kota Depok.
Kota Depok ada UI, bukan tempat 'jin buang anak' lagi.
Sejarah Depok
Nama Depok diketahui merupakan suatu singkatan dari “De Eereste Protestantse Organisatie van Kristenen,” artinya jemaat Kristen yang yang pertama. Akronim ini muncul pada tahun 1950-an di kalangan masyarakat Depok yang tinggal di Belanda.
Sejarah Depok sudah bermula sejak jaman Kerajaan Padjajaran tahun 1020-1579 M, berasal dari sebutan istilah pribumi asli (deprok) artinya duduk santai ala melayu.
Penamaan ini tidak terlepas dari perjalanan Prabu Siliwangi yang singgah di kawasan Beji. Keindahan dan keasrian daerah tersebut membuat Prabu Siliwangi ngedeprok di kawasan yang tidak jauh dari Sungai Ciliwung.
Selain itu, Sultan Ageng Tirtayasa dan Pangeran Purba dari Kesultanan Banten saat melakukan perjalanan ke Cirebon menggunakan jalur yang melintasi kawasan Depok dan sempat menetap di Beji.
Pengikut Pangeran Purba, Embah Raden Wujud tidak melanjutkan perjalanan ke Cirebon, melainkan menetap dan mendirikan padepokan untuk menyebarkan agama Islam.
Padepokan ini yang kemudian berkembang menjadi sebuah perkampungan oleh Kesultanan Banten disebut Depok atau padepokan.
Lalu, pejabat VOC Cornelis Chastelein membeli lahan di wilayah Mampang dan Depok Lama yang dipergunakan untuk perkebunan pada tahun 1696 silam. Cornelis juga menyebarluaskan agama Kristen kepada para pekerjanya, lewat sebuah Padepokan Kristiani.
Saat penyebaran agama Kristen, Cornelis menyebutkan daerah penyebarannya pakai bahasa Belanda yakni De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen (disingkat DEPOK) yang artinya organisasi kristen yang pertama.
Depok diklaim sudah terlebih dahulu merdeka dan sudah menjadi negara pada tahun 1913. Dengan nama pemerintahan Het Gemeente Bestuur van Het Particuliere Land Depok.
Pusat pemerintahannya berada di titik Kilometer 0 yang ditandai oleh Tugu Depok. Tak jauh dari situ, berdiri gedung pemerintahan.
Presidennya dipilih secara demokratis oleh rakyat dan hanya menjabat selama tiga tahun saja. Presiden pertama Depok adalah Gerrit Jonathans yang menjabat pada tahun 1913.
Setelah itu terdapat tiga presiden yang memimpin, antara lain Martinus Laurens yang menjabat pada 1921, Leonardus Leander yang menjabat pada 1930, dan Johannes Matjis Jonathans yang menjabat pada 1952.
Sangat disayangkan, sama sekali tidak ditemukan catatan terperinci dari masing-masing presiden di masa pemerintahannya. (Rusdy Nurdiansyah)