Catatan Cak AT: Negeri Terjerat Judi
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- "Kembali judi online menelan korban," itulah sekilas info dilengkapi video yang viral memperlihatkan seorang pria paruh baya yang putus asa memutuskan hidupnya di tiang jemuran. Tampak ibunya menangis pilu memeluk kakinya, menyisakan luka yang tak terperi bagi keluarga. Di Adipala, Cilacap, peristiwa ini terjadi pada Kamis (07/11/2024), dan menurut tetangga, sang korban terjerat utang akibat judi online.
Kasus-kasus bunuh diri serupa terus berulang. Jadi, inilah kita, negeri mayoritas muslim, yang kaya akan lembaga dan ormas Islam, pesantren, madrasah, dan tak lupa sederetan ulama, dai, hingga doktor Islam.
Kita bahkan punya ratusan lembaga Baznas, juga ribuan Laznas, untuk membantu mereka yang membutuhkan, dan Ketua MUI kita pun pernah menjabat sebagai Wakil Presiden.
Apa arti itu semua, bagi negeri yang kesenjangan ekonominya parah, kemiskinannya merebak, serta kecurangan, pungli, korupsi, penyimpangan anggaran, penipuan, pemerasan merajalela? Negeri pun terjerat judi.
Apa arti berbagai khutbah, tausiyah, ceramah, mudzakarah, muktamar, ijtimak, muntada, bahtsul masail, riyadhah? Di mana salahnya?
Semua data mengenai judi online sudah di tangan pihak-pihak berwenang. Tapi, tidak ada tindakan nyata.
Yang nyata, malah pemanfaatan kondisi oleh para oknum keamanan dengan meminta bayaran puluhan juta kepada mereka yang terlibat judi online kalau mau tidak dijerat hukum.
Mantan Menteri Kominfo Budi Arie mengaku sudah mengetahui lima nama bandar judi utama tersebut. Kok tidak ditangkap? Bahkan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sudah mengetahui semuanya, mulai dari rekening pemain berikut nama-namanya, dan informasi ini telah dikomunikasikan ke pihak terkait.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, saat hadir dalam rapat DPR baru-baru ini, membeberkan data transaksi judi online (judol) di Indonesia yang mencengangkan. Pada 2021, perputaran transaksi judol mencapai Rp 57,91 triliun. Tahun berikutnya, jumlahnya naik menjadi Rp 104,42 triliun. Pada 2023, transaksi ini meroket hingga Rp 327,05 triliun.
Hingga pertengahan 2024 saja, nilainya sudah mencapai Rp 174,56 triliun. Bisa dibayangkan berapa jumlahnya hingga akhir tahun nanti. Perkembangan transaksi judi online jelas meningkat signifikan, bak roket yang melesat ke orbit transaksi finansial —yang kini bahkan bisa dilakukan dengan modal kecil, hanya Rp 10 ribu.
Ivan, dengan data PPATK yang cukup lengkap, mengungkap beberapa fakta menarik lainnya: mulai dari identitas pemilik rekening, sumber dana yang tak jelas, aliran dana ke platform judi online, hingga pola transaksi di e-wallet dan fintech. Artinya, mereka sudah tahu siapa saja yang bermain judol, berapa banyak transaksi yang terlibat, dan bahkan usia para pemainnya.
Sungguh mengagumkan, bukan? Di era di mana mencari nafkah begitu sulit, industri judol tetap berkembang pesat. Aliran dananya lancar, modalnya makin mudah dijangkau. Jika dulu judol hanya “dikhususkan” bagi mereka yang berduit, kini dengan Rp 10 ribu saja, masyarakat luas, mulai dari pekerja kelas bawah hingga bocah SD, dapat "berkontribusi" dalam perputaran dana triliunan ini. Anak-anak di bawah usia 10 tahun pun kini bisa ikut partisipasi. Bukankah ini sebuah "inovasi finansial" yang luar biasa?
Namun, muncul pertanyaan kritis dari publik: kalau sudah tahu semua ini, mengapa tidak langsung ditindak saja? Di media sosial, suara skeptis pun menguat. Ismail Fahmi di platform X menyebut, "Kalau data sudah lengkap, tinggal blokir saja rekening penampungnya, biar masyarakat gak bisa top up. Kalau gak bisa top up, ya gak bisa main judi dong." Ide yang sederhana, tapi mengapa tampaknya sulit sekali direalisasikan?
Di balik pertanyaan ini, ada keheranan yang wajar. PPATK memiliki data dan tahu mana saja rekening yang terlibat dalam perputaran uang judol, bahkan hingga identitas pemiliknya. Namun, tindakan konkret seperti pemblokiran massal, penghapusan rekening, atau pemanggilan bandar-bandar besar tampaknya masih menjadi "PR besar."
Sebaliknya, yang sering terdengar adalah kasus pemanggilan orang yang diduga terlibat judol di daerah-daerah, di mana para oknum aparat keamanan diduga meminta sejumlah uang agar kasus tidak berlanjut ke ranah hukum. Seorang netizen bahkan menyebut, ini sudah menjadi pola di berbagai daerah, seolah ada koordinator di tingkat pusat.
Sungguh ironi, ketika masyarakat kecil justru diperas dan disandera oleh "sistem restorative justice" yang dijalankan sejumlah oknum aparat, sementara pemain besar dan bandar utama tetap melenggang tanpa gangguan. Kerusakan ini sudah bersifat masif dan terstruktur.
Seperti yang disampaikan oleh Rulie Maulana di X, ada kekhawatiran bahwa data PPATK "bocor" ke pihak tertentu, yang pada akhirnya dimanfaatkan untuk keuntungan oknum penegak hukum di lapangan. Hasilnya, mereka yang berjuang untuk bertahan hidup malah yang terseret-seret, sementara bandar besar tetap nyaman dengan rekening yang aman dan terlindungi.
Ironisnya lagi, judi online yang dulu dianggap sebagai kegiatan ilegal dan mengancam moral masyarakat kini berkembang menjadi “sumber pendapatan” yang menarik, bukan hanya bagi bandar, tapi juga bagi aparat tertentu melalui "bisnis perdamaian."
Angka Rp 25 juta disebut-sebut sebagai "tarif" bagi mereka yang ingin terbebas dari jerat hukum. Jadi, alih-alih menumpas akar masalahnya, solusi justru menjadi "jalan keluar" untuk memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Dengan data PPATK yang begitu detail serta fakta-fakta yang seharusnya memudahkan penindakan, publik mempertanyakan, apakah benar tindakan tegas itu sulit direalisasikan? Ataukah ada elemen lain yang sengaja membiarkan masalah ini terus berlarut-larut demi keuntungan segelintir orang?
Seperti kata pepatah, di negeri yang “gemah ripah loh jinawi,” masalah sebesar apa pun akan hilang begitu saja—asal ada "perdamaian." Hukum dipermainkan. Keadilan dibuang ke tong sampah. Hanya "revolusi," mungkin, yang bisa mengatasi semua ini. (***)
Catatan Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 09/11/2025