Prof Jimly Asshiddiqie Terima Habibie Prize 2025, Reformasi Hukum dan Wacanakan Bentuk Mahkamah Etika

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Lima tokoh mendapat penghargaan Habibie Prize 2025 dalam acara yang berlangsung di Auditorium Sumitro Djojohadikusumo, Gedung B.J. Habibie, BRIN, Jalan M.H. Thamrin No. 8, Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025).
Kelima tokoh tersebut yakni Muhammad Quraish Shihab (Bidang Ilmu Filsafat, Agama, dan Kebudayaan), Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H (Bidang Ilmu Hukum, Sosial dan Politik).
Kemudian, Prof Anuraga Jayanegara (Ilmu Rekayasa), Dr Rino Rakhmata Mukti (Ilmu Dasar) dan Dr Tedjo Sasmono (Ilmu Kedokteran dan Bioteknologi).
Plakat penghargaan diberikan langsung Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko kepada para peraih penghargaan Habibie Prize 2025.
Baca juga: World University President's Forum, UI Pimpin Panggung Dunia
Habibie Prize diberikan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kepada sosok yang dinilai bertalenta unggul, inpiratif, penggerak kenajuan riset, inovasi, dan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Dalam sesi tanya-jawab sebelum penyerahan plakat penghargaan, Prof Jimly menjawab pertanyaan soal pembenahan bidang hukum yang paling penting mendapat perhatian pihak-pihak terkait, yakni reformasi hukum.
'Reformasi hukum, tentu. Dan, itu dimulai dari pembenahan Polri," ujar Prof Jimly yang baru dilantik Presiden Prabowo Subianto sabagai Ketua Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian.
Jawaban pakar hukum tata negara itu, langsung disambut tepuk tangan hadirin.
Baca juga: Presiden Prabowo Lantik Jimly Asshiddiqie jadi Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri
Lanjut Prof Jimly, Reformasi hukum, tidak hanya di institusi kepolisian. Semua lembaga yang terkait langsung dengan penegakan hukum perlu direformasi pula. Belum lagi aspek perundang-undangan dan peraturan hukum lainnya.
"Kita masih ingat peristiwa akhir Agustus lalu di berbagai daerah di Indonesia, yang menjadi inspirasi puluhan negara lain. Polri, bersama DPR, menjadi sasaran kemarahan rakyat. Polri menjadi institusi pertama yang perlu di-reset atau ditata ulang karena ia memang berdiri paling depan dalam penegakan hukum," ungkapnya.
Ia menambahkan, tak kalah penting persoalan sistem dan strukturalnya adalah sistem etika pun ditata ulang. Misalnya, menyangkut pendidikan dan indoktrinasi.
Ini berarti, menurut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ke-1 itu, pendekatan kultural dan struktural dalam menjalankan reformasi Polri harus dijalankan secara bersamaan.
Baca juga: 10 Nama Tokoh Diberi Gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (FHUI) itu menggarisbawahi pentingnya etika diterapkan di semua lini dan lembaga.
"Kita perlu membangun etika bernegara, dan semua lembaga atau institusi. Jadi bukan hukum saja. Etika itu diibaratkan samudera, sedangkan hukum dengan segala infrastrukturnya adalah kapal. Perlu juga dibentuk Mahkamah Etika," paparnya.
Di akhir penjelasannya, Prof Jimly menjelaskan dunia hukum di Indonesia sesungguhnya mengalami perkembangan yang perlu disyukuri.
Namun, pihak-pihak terkait perlu terus melakukan pembenahan guna menghadapi tantangan ke depan.
'Kita perlu secara terus menerus berbenah untuk membangun public trust agar bangsa ini semakin diperhitungkan di kancah global," pungkas Prof. Jimly. (***)
Editor: Rusdy Nurdiansyah