Pemahaman Publik Tentang Peer-to-Peer Lending Perlu Ditingkatkan
RUZKA REPUBLIKA -- Kasus gugatan wanprestasi yang melibatkan platform peer-to-peer (P2P) lending, TaniFund, menyoroti pentingnya edukasi publik mengenai mekanisme kerja industri fintech ini.
Hendrikus Passagi, mantan Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Financial Technology OJK, yang menjadi saksi ahli dalam kasus tersebut, menekankan bahwa pemahaman yang keliru tentang P2P lending sering menjadi akar permasalahan.
P2P lending adalah inovasi pendanaan yang menghubungkan langsung antara pemberi pinjaman (lender) dan penerima pinjaman (borrower).
Baca Juga: Didirikan Sekolah Kesetaraan Gratis, Berikan Akses Pendidikan Setara untuk Anak Indonesia
Platform P2P berperan sebagai perantara yang memfasilitasi pertemuan kedua pihak secara online.
"Penyelenggara P2P lending tidak diperkenankan memungut biaya dari lender atau borrower," ujar Hendrikus dalam keterangan yang diterima, Rabu (14/08/2024).
"Konsepnya mirip seperti kita meminjamkan uang kepada teman. Jika teman kita tidak mampu mengembalikan pinjaman, kita tidak bisa menuntut platform tempat kita dipertemukan," lanjut Hendrikus.
Baca Juga: Manzone Hadirkan Koleksi Spesial Kemerdekaan HUT ke 79 RI
Salah satu kesalahpahaman umum adalah menganggap P2P lending sama dengan lembaga keuangan konvensional seperti bank. Padahal, keduanya memiliki model bisnis yang sangat berbeda.
"Dalam P2P lending, risiko kredit sepenuhnya ditanggung oleh lender. Platform hanya bertindak sebagai fasilitator," terang Hendrikus.
Kasus pencabutan izin usaha TaniFund, menurut Hendrikus, merupakan hal yang wajar dalam industri yang dinamis seperti fintech.
Baca Juga: Polisi Periksa Oknum PN Depok yang Acungkan Pistol ke Warga, Terancam Hukuman 4 Tahun Penjara
"Pencabutan izin tidak selalu berarti adanya fraud atau kejahatan. Bisa jadi karena alasan operasional atau risiko bisnis," ungkapnya.
Ia menyayangkan adanya gugatan wanprestasi terhadap TaniFund. Ia menilai hal ini menunjukkan kurangnya pemahaman masyarakat tentang mekanisme P2P lending. "Gugatan semacam ini justru merugikan industri fintech yang sedang berkembang di Indonesia," katanya.
"Penting bagi kita untuk memahami bahwa P2P lending adalah bagian dari inklusi keuangan yang bertujuan memperluas akses pembiayaan bagi masyarakat," tegas Hendrikus.
Baca Juga: Perusahaan Air Minum PT Tirta Asasta Depok Raih Penghargaan Penyumbang Bulan Dana Kemanusiaan PMI
Ia juga mengingatkan bahwa perlindungan hukum tidak hanya berlaku bagi konsumen, tetapi juga bagi pelaku usaha. "Jika ada lender yang bertindak tidak sesuai dengan perjanjian, platform P2P berhak untuk melakukan gugatan balik," tegasnya.
"Untuk itu, edukasi publik menjadi kunci dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri fintech," harap Hendrikus.
Dalam kasus TaniFund, Hendrikus menyarankan agar kedua belah pihak dapat mencari solusi terbaik melalui mediasi atau negosiasi.
Ia berharap kasus ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, baik regulator, pelaku industri, maupun masyarakat. (***)