Galeri

Rindu Penyair di Zaman Edan

Foto ilustrasi Zaman Edan karya Ronggowarsito.

Rindu Penyair di Zaman Edan
Oleh: Yons Achmad*

ruzka.republika.co.id--Penyair adalah saksi suara zaman. Ia, mengamati, mengagumi, memikirkan apa yang terjadi di lingkungan dan alam sekitarnya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Ia mengekspresikannya dalam syair-syair (puisi) sebagai manifestasi suasana hati atau rasa penciptanya. Lewat syair-syair yang dibuatnya, kita (seharusnya) bisa membaca suasana kebatinan masyarakat pada periode tertentu lewat karya-karya para penyair itu.

Itulah tugas mulia penyair yang tak semua orang bisa mengerjakannya.

Lantas, bagaimana ketika kita berada di zaman edan? Ketika berita, informasi dan sejarah dimanipulasi penguasa?.

Baca Juga: Pentas Tutup Tahun Bakul Budaya FIB UI Depok, Persembahkan untuk Perempuan

Di situlah eksistensi penyair menemukan ruang urgensinya. Lewat karya penyair, kita melihat sisi lain kehidupan. Sisi yang lebih autentik, penuh kedalaman dan kejujuran.

Istilah zaman edan, mengingatkan pada sebuah ramalan pujangga Jawa. Raden Ngabehi Rangga Warsita atau dikenal dengan sebutan Ronggowarsito itu, merupakan pujangga kenamaan dari Keraton Solo.

Salah satu karya Ronggowarsito dianggap sebagai ramalan yang terkenal sampai sekarang, saya nukilkan di bawah ini:

“Saiki jamane jaman edan. Yen ora edan ora keduman. Sak bejo bejone wong kang edan. Isih bejo wong kang eling lan waspada (Sekarang zamannya zaman gila. Kalau enggak gila enggak dapat bagian. Seberuntung-beruntungnya orang yang gila itu, masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada).”

Bait di atas adalah bagian dari syair kuno bertajuk “Zaman Edan”.

Baca Juga: Kenduri Teater Mahasiswa ASEAN di FIB UI, Ajang Menimba Ilmu Peran Mahasiswa

Tentu, bait-bait di atas bebas dimaknai siapapun. Untuk membaca fenomena dunia. Saya kira, masih relevan juga untuk membaca fenomena zaman kiwari (kekinian).

Apalagi, kini, kita bisa lihat bagaimana kekosongan dan kehampaan sering kita dapati, bahkan oleh kita sendiri. Kita sering merasa waktu berlalu begitu saja, lewat tak terasa. Hampa, kosong, padahal setiap manusia harusnya punya cerita sejarahnya sendiri-sendiri. Yang membuatnya bergairah menapaki setiap sisi kehidupan

Kenapa hal itu sering terjadi? Mungkin kita terlalu melulu pada urusan beragam kepentingan baik politik maupun ekonomi. Seperti kata seorang ilmuwan asing, Rushworth Kidler yang pernah berujar bahwa politik itu (who’s the wining, siapa yang menang), atau ekonomi (where’s the bottom line, di mana untungnya).

Baca Juga: SDNP Tunas Global Depok Gelar MyDarling@School, Ciptakan Kesadaran Cinta Lingkungan Hidup

Lantas, bagaimana kita menyikapi kecenderungan demikian. Kita perlu menggantinya dengan satu bahasa dominan baru, bahasa kebudayaan, tentang what’s right (di mana/apa kebenarannya).

Ada yang bilang lewat agama. Saya setuju, walau tak selamanya agama selalu benar ditafsirkan oleh para pemeluknya. Agama tentu suci, hanya para pemeluknya sering menariknya sesuai dengan kepentingannya sendiri, kepentingan politik dan juga ekonomi seperti di atas.

Itu sebabnya, melongok perspektif kebudayaan, saya kira diperlukan, melihatnya lewat puisi karya para penyair, yang menjadikan keheningan sebagai kawan, dia akan melahirkan kedalaman penafsiran.

Baca Juga: Keren, SDN Anyelir 1 Depok Gelar Ajang Proactive Season 15

Menjawab makna fenomena dunia sekitarnya. Lewat puisi, harapannya, kita bisa membaca kondisi kebatinan zaman.

Hanya, yang menjadi pertanyaan, ke mana para penyair itu? Apa karya yang dilahirkannya untuk membaca zaman secara jujur? Entahlah.

Misalnya, sejauh 10 tahun terakhir, ketika kebohongan, manipulasi dan ketidakpedulian kepada etika terus dimainkan penguasa. Bisa apa para penyair itu? Saya tak tahu. Ketika realitas secara kasat mata bisa kita saksikan, media dibungkam, suara kritik diburu. Harusnya, seperti kata penulis Seno Gumira Ajidarma “Sastra Harus Bicara”.

Baca Juga: Gala Kreasi Inklusif Berdaya serta Berkelanjutan, Pentingnya Pemenuhan Hak Disabilitas

Puisi adalah salah satu medianya. Sebagaimana filsuf Martin Hedeigger pernah bilang “Language is the house of being”. Bahwa bahasa adalah rumah kehidupan.

Maka, pemikir kenegaraan, Yudi Latif memperjelasnya, sebagai rumah kehidupan, upaya perjuangan apapun harus dimulai dengan berbenah kata, bahasa dan susastra: dengan jalan merebut dan menghidupkan kembali darah kata.

Para penyair, perlu membaca zaman ini dengan kata-kata yang lebih jujur, manusiawi, selaras kata hati. Menampilkan suasana kebatinan seseorang. Yang bisa menggambarkan suasana zaman.

Baca Juga: Permainan Edukasi, Pahami Karakteristik Batuan secara Makroskopis di Laboratorium Parangtopo UI, Dimainkan Siswa SMAN 1 Depok

Sementara itu, puisi yang revolusioner, menurut Octavio Pas, ialah puisi yang apokaliptik (yaitu Ketika agama bergabung dengan rasionalisme).

Puisi semacam itu, disebabkan penyairnya memiliki penglihatan batin yang terang, dapat menyingkap rahasia-rahasia dan gejala-gejala kehidupan yang masih tersembunyi dan karenanya dapat memberi petunjuk tentang tanda-tanda zaman.

Di dalam tradisi kesusastraan Islam, mengutip Prof. Abdul Hadi dalam buku “Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber”.

Penyair yang dapat memberikan petunjuk tentang masa depan dan tanda-tanda zaman ialah yang memiliki visi kenabian (profetik).

Saya, kira, hanya penyair demikian yang bisa diandalkan membaca periode zaman edan seperti sekarang. Nah, apakabar para penyair profetik? Dunia menunggu karya-karyamu. Agar kita bisa membaca zaman dengan kacamata kebenaran.

Pondok Boedaya Depok, 22 Desember 2023

*Penulis: Pegiat Kebudayaan, tinggal di Depok