Galeri

Antologi 1001 Pantun Nusantara dan Negeri Serumpun, Wujud Melestarikan Budaya Adiluhung Bangsa

Pengiat literasi Naning Pranoto dan Yeni Fatmawati.

RUZKA REPUBLIKA– Pantun tak pernah mati. Klaim ini tak berlebihan untuk menggambarkan eksistensi karya puisi klasik warisan abad ke-15 di Tanah Melayu (Indonesia dan Malaysia) itu.

Pantun disebut sebagai warisan budaya nirbenda yang memperkuat identitas budaya dan jati diri bangsa, telah diakui oleh Unesco pada 17 Desember 2020 di Paris, Perancis.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sampai hari ini ada saja penyair dan penulis perorangan atau komunitas yang berminat menerbitkan buku pantun dengan beragam tema.

Baca Juga: Ini Upaya Pemkot Depok Kendalikan Inflasi

Salah satu diantaranya adalah buku Antologi 1001 Pantun Nusantara dan Negeri Serumpun, yang diprakarsai atas kerja sama pegiat literasi Naning Pranoto dan Yeni Fatmawati.

Menurut Naning Pranoto, yang sehari-harinya pengelola komunitas literasi Rayakultura, buku ini memuat 1001 pantun yang ditulis oleh peserta dari beragam latar belakang.

"Ada penulis, penyair, dosen, guru, mahasiswa, pelajar dari berbagai lembaga pendidikan, dan masyarakat pecinta pantun dari berbagai profesi lainnya," kata mantan wartawan ini ke RUZKA REPUBLIKA.

Baca Juga: Selamat Ginting: Netanyahu Cenderung Dukung Trump daripada Kamala Harris

Pantun karya mereka beragam selaras dengan jenis-jenis pantun yang terdiri antara lain, pantun budaya, pantun nasihat, pantun kebangsaan, pantun kuliner, pantun adat, pantun jenaka, pantun muda-mudi, pantun hijau (pelestarian lingkungan).

Wanita yang juga akif memberikan pelatihan penulisan kreatif ini merasa takjub pada kemampuan para peserta.

Walaupun pelatihan hanya diberikan melalui zoom, namun peserta yang berasal dari berbagai daerah di Tanah Air mampu menyajikan karya pantun yang unik sesuai tema yang diberikan.

Baca Juga: Peringati HAN 2024, Srikandi PLN Icon Plus Ajak Anak Indonesia Bermain dan Belajar

Dia mencontohkan, penulis pantun dari wilayah Yogyakarta dan sekitarnya mampu menyajikan budaya, kuliner, lokasi wisata, adat-istiadat, kesenian hingga seni-kriyanya ke dalam pantun yang mereka tulis.

Demikian pula penulis pantun dari Tana Toraja, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Tanah Pasundan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Betawi hingga Malaysia, Singapura, Belgia dan Finlandia serta wilayah lainnya juga bercerita tentang ’negeri’ mereka.

Ada pula Pantun Hijau karya pelajar, guru dan orang tua siswa serta alumni dari Sekolah Alam Indonesia (SAI) maupun Sekolah Alam Cikeas yang menyajikan tentang perlunya merawat, menjaga lingkungan serta pelestarian alam dalam bingkai bumi secara mikro maupun makro.

Baca Juga: Wah Keren! Depok Berkebaya dan Wanita Bersanggul, Tampilkan Keindahan Nusantara

Menurut Naning, pesan yang mereka tulis jika disosialisasikan gaungnya akan menjadi program nasional yang merupakan salah satu pilar untuk mewujudkan Indonesia Emas secara ekologi.

"Besar harapan saya antologi ini bisa menjadi pembawa pesan berantai untuk menjaga bumi tetap hijau, rumah kita stau-satunya," tegasnya.

Di dalam kata pengantar buku ini Naning mengaku sudah sejak kuliah mengenal pantun, yakni ketika kuliah di Universitas Nasional (Unas) Jakarta.

Baca Juga: FKUI Temukan Terobosan Baru Diagnostik Kanker Paru

"Secara pribadi, saya mengenal dekat pantun ketika studi di Jurusan Sastra Unas Jakarta. Bukan di ruang kuliah, tapi di ruang kerja Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Sastrawan yang waktu itu sebagai rektor dan guru besar Filsafat Kebudayaan," ungkapnya.

"STA bagi saya merupakan ’mega-magnit’ yang membuat saya menekuni sastra Indonesia. Sungguh berbobot ilmu yang saya timba dari STA secara ‘privat’. STA menuntun saya memahami pantun tidak hanya dari pandangan budaya tapi juga filsafat, gaya hidup seperti kesehata dan menuntut ilmu," tulis Naning.

Struktur pantun, menurut Naning, apik. Pantun per bait terdiri dari empat larik (baris), yaitu bagian pertama dua larik disebut sampiran dan bagian kedua terdiri dari dua larik merupakan isinya (menyampaikan suatu pesan).

Baca Juga: Vivere & Idemu Inovasi Produk Terbaru, Kota Collection dan Ekspansi Toko di Seluruh Indonesia

Bagian pertama maupun bagian kedua diciptakan rima, sehingga enak ketika dilisankan (dibaca atau dilagukan).

Dia lalu mengutip dua pantun karya STA. Pantun pertama ini menyampaikan pesan hidup sehat dengan cara menghindari konsumsi makanan manis secara berlebihan agar tidak terkena diabetes:

Manis jangan lekas ditelan
Pahit jangan lekas dimuntahkan
Mati semut karena kemanisan
Manis itu bahaya makanan

Baca Juga: HAN 2024, Timezone Indonesia Sebarkan Kebahagiaan ke Anak-Anak Penderita Kanker

Lalu pantun kedua menyampaikan pesan perlunya menuntut ilmu dengan cara mencari guru yang tepat, agar kelak tidak ada penyesalan:

Ke hulu membuat pagar
Jangan terpotong batang durian
Cari guru tepat tempat belajar
Supaya jangan sesal kemudian

Sementara itu, penyair dan perupa Yeni Fatmawati yang terlibat dalam penerbitan buku ini mengatakan, terbitnya antologi pantun Ini merupakan wujud dari kerja kreatif dan kolektif berfondasikan ’ruh cinta negeri’ untuk melestarikan budaya adiluhung para leluhur.

Baca Juga: Disdukcapil Depok Kembali Jemput Bola Perekaman KTP-el ke Sekolah

"Ratusan pena mencipta pantun dilakukan oleh berbagai pihak: pelajar, mahasiswa-mahasiswi, budayawan, sastrawan, penyair, guru, dosen serta masyarakat pecinta pantun, melalui proses kreatif yang berbeda-beda," kata pendiri Yayasan Papatong yang bergerak dalam pengembangan seni, budaya dan lingkungan ini.

Menurut Yeni, yang karya lukisanya menghiasi cover buku itu, dia dan Naning Pranoto menyelenggarakan workshop penulisan pantun secara marathon melalui daring.

"Sungguh terharu menyaksikannya, di era digital ternyata Gen-Z sebagai zoomer antusias diajak nguri-uri pantun yang telah berusia hampir 6 abad ini," ucapnya.

Baca Juga: Cegah Hipertensi, Dinkes Depok Edukasi Kader Posbindu

Berikut adalah pantun yang ditulis Yeni:

Bertamasya ke Bumi Priangan Jelita
Jangan lupa singgah di Bandung Kota Bunga
Mari bersama kami berpantun dengan suka-ria

Persembahkan Budaya Nusantara ke Panggung Dunia/Antologi 1001 Pantun Nusantara dan Negeri Serumpun ini akan dibedah pada 28 Juli 2024 di PDS HB Jassin, Jakarta.

Sebagai pembicara tampil Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra dengan moderator Naning Pranoto. (***)

Penulis: Herman Syahara