Galeri

Kota Depok, Memori Kolektif dan Heritage

Salah satu bangunan arsitek Belanda yang masih berdiri mewarisi perjalanan sejarah Kota Depok

RUZKA REPUBLIKA -- Membaca judul tulisan di atas, bisa jadi yang terbersit di pikiran adalah, Kota Depok memiliki kenangan masa lalu dengan beragam budaya dari beragam suku yang pernah mendiaminya dan menjadi sebuah peninggalan yang tidak akan hilang ditelan zaman.

Pemikiran seperti itu sah-sah saja, segala hal yang berbau subyektivitas tentang beragam hal yang terjadi di dunia ini.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kejadian baik itu sebuah perjalanan dari kisah sejarah di masa lalu, memiliki opini yang pro maupun kontra.

Demikian juga halnya dengan kisah berdirinya kota Depok. Pembahasan tentang kota yang semakin padat dihuni manusia urban dari beragam suku yang ada di Indonesia, serta menjadi daerah pinggiran kota Jakarta dengan beragam kehidupan sosial yang dimulai dari berdirinya salah satu universitas terbesar di Indonesia, seperti Universitas Indonesia yang kemudian disusul dengan Lembaga Pendidikan lainnya.

Baca Juga: OSH Asia's Summit dan Indonesia Safety Excellence Award 2024, Dukungan Terciptanya Budaya K3 di Indonesia

Tak bisa dipungkiri telah membuat Depok berkembang pesat menjadi kota metropolitan dengan beragam usungan serta polemik baik itu tentang huniannya yang kian padat, penuhnya kota dengan mall serta bangunan beton lainnya, juga mobilisasi politik yang erat kaitannya dengan Pilkada, termasuk sebagai daerah sarana transit moda transportasi yang berupa kereta listrik (KRL), bis-bis antar kota, busway, transportasi online serta hiruk-pikuknya manusia yang memenuhi KRL Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi).

Kesemua itu telah menjadi daya pikat manusia untuk menjadikan kota Depok dan seluruh daerah pinggirannya seperti Citayam, Bojong Gede, Cimanggis, Cisalak, Bojongsari, hingga Cibinong, menjadi tempat untuk bernaung dan melepas Lelah dari rutinitas kerja di kota megapolitan seperti Jakarta.

Lalu seperti apa Depok dan sekitarnya di masa lalu, hal itu dibahas di dalam temu wicara dengan topik Kota Depok, Memori Kolektif dan Heritage.

Baca Juga: SD Silaturahim Islamic School Gelar Seminar Pubertas Pada Anak Spesial

Temu wicara ini di bahas oleh para nara sumber yang terdiri dari Dr Bondan Kanumoyoso Dekan Fakultas Ilmu Bahasa Universitas Indonesia, JJ Rizal (Sejarawan), Boy Loen (Kabid Sejarah Yayasan Lembaga Conerlis Chastelein), dan Profesor Zeffry Alkatiri (Moderator).

Temu wicara yang dihadiri juga dengan para seniman, penulis, mahasiswa serta pemerhati budaya, diisi dengan dialog interaktif dalam kapasitas yang berkaitan erat dengan berdiri dan ditemukannya kota Depok oleh Cornelis Chastelein, seorang akuntan VOC yang lahir di Belanda.

Kegiatan berlangsung pada 31 Juli 2024 yang dimulai sejak pukul 09 00-12 WIB di Gedung Auditorium 1103 FIB UI Depok.

Baca Juga: Depok Sosialisasikan Penerapan Standar Metrologi Legal ke Pelaku UMKM dan IKM

Menurut Boy Loen yang juga salah satu keturunan dari 12 marga warga Depok Lama (Depok asli), jika Cornelis Chastelein tidak membeli tanah-tanah di Depok, belum tentu keberadaan Depok akan terkenal seperti sekarang ini.

Keberadaan Cornelis Chastelein yang sebagai akuntan dari Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yaitu sebuah Persatuan Perushaan Hindia Timur yang merupakan kongsi dagang asal Belanda didirikan pada tahun 1602, awalnya dibentuk dengan tujuan untuk menguasai dan memonopoli perdagangan rempah-rempah di Asia, terutama di Indonesia, dan VOC dianggap sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia sekaligus perusahaan pertama yang mengeluarkan saham.

Menurut Boy, Cornelis merasa ada ketidaksamaan visi di dalam struktur organisasi VOC yang kemudian menjadi sangat berkuasa melebih negeri Belanda sendiri. Maka ia ke luar dari VOC, Cornelis juga membubarkan sistem perbudakan terhadap pribumi yang dianggapnya tidak manusiawi.

Baca Juga: AIESEC UI Gelar Global Village Summer 2024, Perayaan Interaktif Percampuran Budaya

Ia menghapus kerja paksa, tidak menetapkan harga di bidang pertanian, semua dikembalikan kepada otoritas si petani sendiri yang tanah-tanahnya diberikan oleh sang tuan tanah Cornelis Chastelein.

Seiring berjalannya waktu, Boy Loen menjelaskan kalau Cornelis juga membeli tanah di Cinere, Mampang Depok, Karanganyar dan ketiga gabungan tanah tersebut diberi nama Depok. Setelah itu ia kembali membeli tanah di Pondokcina, Citayam, Cimanggis serta Serengsengsawah.

Boy Loen menggambarkan dari keseluruhan kisah tentang kiprah Cornelis Chastelein yang erat kaitannya dengan berdirinya kota Depok, menggambarkan bahwa berdirinya kota yang sekarang super sibuk dengan segala carut-marut kehidupannya, memiliki sejarah panjang yang patut juga diketahui oleh generasi selanjutnya.

Baca Juga: Festival Depok Keren 2024, Lestarikan Budaya di Cinere

Tentu jika ingin tahu seperti apa wajah Cornelis Chastelein tak bisa ditemukan di perpustakaan yang ada di Indonesia, data tentangnya barangkali bisa ditemukan di perpustakaan yang ada di Belanda.

Masing-masing nara sumber menjelaskan tentang perkembangan Kota Depok yang ditinjau dari masa lalu dan kini juga dari analisis sejarah. Era kolonialisme memang memberikan kesan yang kurang begitu baik bagi masyarakat Indonesia.

Situasi di masa penjajahan cenderung memposisikan situasi yang ada berkaitan dengan pengambilalihan daerah kekuasaan termasuk hasil bumi dari negara yang dijajah. Namun seiring perkembangan zaman, sejarah dan ilmu pengetahuan semakin maju dan berjalan ke depan.

Baca Juga: Ketika Dian Sastro Dibawa Sang Ibu ke Wisuda UI dan Vice Versa

Karena tidak semua hal-hal yang berbau kolonial selalu jelek. Contohnya seperti Cornelis Chastelein yang tidak sepaham dengan kebijakan VOC. Cornelis yang mengkritisi praktek kolonial secara detail, juga tentang kota Batavia yang penuh dengan intrik dan korupsi.

Begitu pula menurut guru besar Universitas Indonesia Prof Leirisa bahwa di dalam kaidah ilmu sejarah kisah Cornelis Chastelein merupakan kisah sejarah tentang berdirinya Depok, sejarah ya sesuai dengan kisah sejarah jangan dicampuradukan dengan politik. Dan sejarah jangan dipolitisasi demi kepentingan politik tertentu.

Selain itu, Depok juga menjadi kota seni, sastra dan budaya, di mana dahulu pernah tinggal sastrawan yang juga maestro seni dan budaya Indonesia seperti Gerson Poyk, Rendra, Taufik Ismail, dan banyak seniman serta sastrawan lainnya.

Baca Juga: Dinkes Depok, YKI dan IBI Lakukan Deteksi Dini Kanker Leher Rahim ke Ratusan Warga

Mengenai keberadaan para penggerak kebudayaan dan seni serta satra ini, pihak pemerintah daerah terkait sebaiknya juga memperhatikan keberadaan mereka.

Sebab selama ini mereka lebih banyak berada di kelompok-kelompok mereka sendiri seperti di Kolong Jembatan Fly Over Depok Baru, gabungan pelukis Depok, penulis dan penyair yang karena sesuatu dan lain hal lebih sering berada di tempat berkumpulnya para seniman di Taman Ismail Marzuki (TIM).

Karena secara keseluruhan nafas dari sisi empati kemanusiaan juga tercermin melalui intelektualitas manusianya yang paham tentang budaya, seni juga sastra. (***)

Penulis: Fanny J Poyk

Berita Terkait

Image

Pemkot Depok Bentuk CSIRT, Dapat Mendukung SPBE yang Lebih Aman

Image

Depok Ikuti Launching CSIRT 2024, Perkuat Keamanan Siber

Image

17 Agustus 1945, Indonesia Merdeka, Tapi Depok Lebih Dulu Merdeka, Begini Ceritanya