Sejarah Depok dalam Buku Novel Fanny Jonathans Poyk, Suami yang Hilang
ruzka.republika.co.id--Wartawan senior yang juga novelis, Fanny Jonathan Poyk meluncurkan buku Sebuah Novel Depok, Tentang Ibuku, Kota Depok, Feminisme, Filsafat Kehidupan dan Cinta pada diterbitkan Kosa Kata Kita (KKK) pada September 2023. Berikut kisah Bagian Kedua Suami yang Hilang.
Ibu menikah dua kali. Hal ini bukan berarti semua yang telah dia alami merupakan kehendaknya atau dia perempuan yang doyan kawin cerai. Menurutnya, perjalanan hidup Ibu sudah ditakdirkan seperti yang sudah seharusnya begitu.
Namun ada kisah menyedihkan yang tak bisa dia hindari dan harus dia alami, kisah tersebut berkaitan dengan suami pertamanya.
Baca Juga: Untuk Ibu Hamil Risiko Tinggi, Ini Aplikasi Cegah Stunting Sejak Masa Kehamilan
Dari suami pertama yang akrab disapa George Soedira, Ibu memperoleh empat anak, kini dua orang sudah tiada, mereka dua laki-laki dan dua perempuan.
Nama anak-anak dari suami pertama Ibu, Kristin yang akrab ku panggi Tante Tin, Imelda atau Tante Imel, Jimmy akrab disapa Om Jim dan Robert atau Om Bert.
Tante Tin pindah ke Amerika, ikut suaminya Om Didi dan menjadi warganegara USA, mereka punya satu anak yang sekarang telah menjadi akuntan publik di negeri Paman Sam itu.
Kehidupan dua anak Ibu yang lain dari suami pertamanya aku tidak tahu sebab mereka sudah meninggal kala aku masih kecil.
Baca Juga: BKD Kota Depok Sebut Target PBB Sudah Tercapai Sebesar 83,6%
Di Kampung Depok Lama kini tinggal seorang anak lelakinya yang sudah manula, ia salah satu dari bagian kaum intelektual Depok Lama karena berhasil lulus menjadi sarjana Teknik dari universitas ternama di Bandung, yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pamanku Bert yang paling bungsu ini memiliki tiga sanak perempuan, dua putrinya ikut bersamanya dan bekerja di Jakarta, satunya tinggal di San Fransisco, Amerika, dia ikut suaminya yang berwarga negara Amerika. Putri bungsu anak Paman Bert yang tinggal di San Francisco namanya Heidi. Dua putri lainnya, bernama Rayni si sulung, Andra anak yang nomor dua. Itulah kisah suami pertama Ibu.
Di perjalanan waktu, Ibu dan anak anaknya dari suami pertama, bisa berdamai dengan keadaan. Ibu secara alami berubah menjadi perempuan perkasa yang harus berjuang sendirian untuk kehidupan dirinya dan anak-anaknya sebelum bertemu dengan Ayahku.
Penggalian kreativitas dari sebuah bakat terpendam sejak dia masih remaja, mulai terkuak. Dan hasil masakan yang tercipta dari ragam bumbu olahannya yang dipetik dari pembelajaran tak kenal lelah pada Nenek, telah mengejawantah lalu menjadikannya sebagai seorang perempuan yang pandai memasak seperti layaknya chef-chef profesional yang telah mengenyam pendidikan memasak secara akademisi. Ibu belajar dengan otodidak dan seni rasa masakan yang dia olah melalui insting perasa yaitu lidahnya.
Kata Ibu kala itu, “Nak, jika semua bumbu telah berantem dan pada akhirnya berakhir di lidah dengan kompilasi rasa yang membuat si penikmat kuliner terkenang selalu akan rasa itu, lalu mencarinya lagi dan lagi, maka di situlah keberhasilan dan daya pikat dari sebuah masakan. Masakan itu akan berubah wujud menjadi makanan terenak yang pernah dirasakannya. Di situ letak kebanggaan dari seorang juru masak. Namun kau jangan jumawa jika masakanmu dipuji orang, sebab bisa saja terjadi ada orang yang lebih enak masakannya darimu, maka rendah hatilah!” Nasehat Ibuku.
Rendah hati! Dua kata itu menjadi kata kunci ketika aku melihat Ibuku sukses di dunia kuliner. Dia tak merasa tinggi hati ketika diminta menjadi juru masak dari pesta demi pesta di Kampung Depok Lama. Segala jenis masakan bisa diolahnya, mulai dari masakan Eropa, Indonesia, China dan beberapa jenis makanan lainnya.
Dari keahlian inilah dia membesarkan keempat anaknya yang ditinggal pergi untuk selamanya oleh sang suami. Hingga ibu tiada, dia tak pernah tahu apakah sang suami masih hidup atau sudah tiada. Ibu kemudian meniti kariernya bukan saja sebagai juru masak, dia juga mampu membuat dodol yang terkenal dengan sebutan Dodol Depok.
Sedang dari Ayahku, Ibu juga melahirkan empat orang anak, aku anak bungsu yang merupakan anak perempuan kedua. Total anak Ibu berjumlah delapan orang. Kami dan anak-anak Ibu dari suami pertamanya selalu akur, aku tetap menganggap mereka kakak kandungku. Tak ada rasa cemburu bahwa kami memiliki Ayah yang berbeda.
Kedekatan persaudaraan sekandung tampak nyata dan pembicaraan sensitif yang berkaitan dengan pribadi dari ayah kami masing-masing, tidak pernah kami lakukan, amu menjaga pembicaraan yang menjurus ke ranah pribadi.
Hal ini berkat didikan Ibu bahwa di manapun kami berada, kebersamaan dan rasa kasih sayang persaudaraan harus selalu dijaga dan dipelihara dengan kuat. Ibu tak ingin kami membicarakan atau menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan ikatan persaudaraan dari dua bapak yang berbeda.
Dia selalu bilang, “Kalian berasal dari satu kandungan yang ada di perut Ibu, jadi harus akur di dalam kebersamaan di kehidupan ani”
Dan para saudara lain ayahku pun demikian Hubungan kami sebagai kakak beradik sangat erat, kami saling memperhatikan satu sama lain.
Suatu hari Ibu kembali terkenang akan suaminya Yang telah tiada itu, menurut dugaannya, dia yakin suaminya dibunuh oleh orang-orang yang tidak suka padanya, Sang suami memiliki afiliasi politik yang Ibu sendiri tidak mengerti dia berpihak ke mana, apakah Tentara Republik atau Tentara Belanda yaitu NICA atau Nederiandsch Indie Civiele Administratie.
Ibu yang tidak pernah bersekolah itu tidak paham tentang keberadaan NICA. Mengapa keberadaan mereka bisa berada di Indonesia, Ibu tidak tahu. Setahunya tentara dari Belanda itu masuk ke Indonesia dengan membonceng tentara Sekutu Inggris setelah kelahan Jepang. Jepang menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.
Ibu tetap menganggap suaminya masih ada. Menurutnya, sang suami yang sangat baik dan bertanggungjawab pada keluarga itu, dibawa pergi seseorang. Barangkali ada yang tidak suka padanya khususnya pada pilihan politiknya.
Sang suami hampir tidak pernah menuturkan apa aktivitasnya pada sang istri. Ibuku selalu menganggap suaminya sosok yang jujur, polos dan tidak pandai berpolitik, ia seorang pekerja keras yang sangat memperhatikan keluarga.
“Tugas Ibu merawat anak-anak, memasak das membuat seisi rumah nyaman dan bahagia. Suami Ibu mencari uang untuk kehidupan kami dan biaya sekolah anak-anak."
“Perihal pilihan politik yang diikutinya, Ibu tidak paham Ibu hanya melihat, setiap hari Sabtu dan Minggu beberapa orang berwajah Indo kerap datang ke rumah. Apa yang mereka obrolkan, Ibu tidak pernah tahu, sebab Ibu terlalu sibuk mengurus anak-anak dan pesanan kue-kue yang menguras tenaga.” Cerita Ibu.
Karena tak pernah kembali ke rumah selama bertahun-tahun, secara tidak resmi Ibu mulai menyandang gelar janda. Gelar itu membuat Ibu limbung dan sempat putus asa. Usianya masih muda, belu mencapai tiga puluh tahun. Ibu benar-benar merasa terpukul. Rasa cemas akan kelanjutan hidupnya dan anak-anak, membuatnya hampir patah semangat.
Ibu hampir saja memberikan dua anaknya pada kakak iparnya yang menetap di Belanda. Jika Ibu menyetujui permintaan sang kakak ipar, barangkali aku tidak pernah bertemu lagi dengan Bibi Atin dan Paman Tommy. Mereka pasti sudah menetap di negeri Kincir Angin dan tak pernah kembali lagi ke Indonesia. Memang, kala itu sebagai janda dengan
tanggungan empat anak, khususnya di masa penjajahan baik Jepang atau Belanda dan peristiwa meninggalnya sang suami, merupakan pukulan yang berat bagi Ibu.
Ibu yang tidak mengerti politik, akhirnya menerima dengan pasrah takdirnya. Seperti kisah yang tak bisa diulang kembali, setelah sang suami tiada, dia harus mencari uang untuk menghidupi anak-anaknya, dia menjadi tulang punggung tunggal dan menggantikan peran sang suami yang telah pergi tanpa meninggalkan jejak. Tak jarang sembari menuturkan kisah hidupnya, air mata Ibu menitik ke pipi. Aku tahu, betapa beratnya beban yang harus dipikulnya kala itu.
Namun perempuan tegar yang sang menyayangi anak anaknya ini tetap bertahan dengan keberadaannya. Meski para iparnya yang berada di Belanda meminta anak-anaknya untuk mereka asuh, ibu menolaknya. Dia bilang kepada mereka bahwa dirinya masih sanggup memberi makan anak-anaknya.
Baca Juga: Sejarah Depok dalam Buku Novel Fanny Jonathans Poyk, Ibu Pada Bait Kenangan
Padahal sesungguhnya Ibu tidak mau kehilangan mereka. Bagi Ibu, anak-anaknya adalah matahari dan sumber kekuatannya, Perihal lelaki yang menyukainya ada beberapa. Ibu tak mau gegabah dengan menikah dan menjadi istri dan orang yang menyukainya tanpa seleksi terlebih dahulu Ibu memiliki kriteria tersendiri. Dia tak mau dituduh sebagai pelakor atau pengganggu suami orang.
“Dulu, banyak yang tertarik pada Ibu. Hanya saja, mereka ingin Ibu menjadi istri kedua atau ketiga karena rata-rata dari para lelaki itu sudah berkeluarga. Salah satu bagian kehidupan yang berat bagi seorang janda dengan empat anak yang harus hidup tanpa ayah dan suami adalah, suara-suara nyinyir dan rasa curiga dari para istri yang takut suaminya terpikat pada Ibu.” Tutur Ibu suatu hari.
Kuakui, Ibuku memang perempuan cantik yang disukai banyak pria. Dia memakai baju kebaya dengan kain batik China Peranakan. Kebaya Encim dan batik dengan warna dan guratan China Pekalongan, membuat penampilan Ibu terlihat unik, menarik dan berkelas.
Baca Juga: Catat, Berikut Ini Nomor Pengaduan Lalu Lintas Polrestro Depok
Hingga akhir hayatnya Ibu tetap berkebaya dan aku tahu kebaya serta kain batik yang dikenakannya ada yang berharga jutaan rupiah. Kain batik berharga jutaan didapatkan Ibu sebagai hadiah dari nyonya Belanda yang dulu masih banyak tinggal di Depok Lama.
Mereka sayang pada Ibu karena pandai memasak dan membuat kue. Ketika Ibu tiada, aku tidak tahu kemana kebaya-kebaya dan batik-batik Ibu berada. Aku tak mau usil untuk menanyakannya pada orang-orang yang berada di dekatnya dan merawat Ibu.
Biarlah kenangan tentang Ibuku yang pekerja keras itu, kusimpan dalam kenanganku. Kisah Ibu tentang sang suami yang tewas dibunuh juga kusimpan di ruang terdalam hatiku, aku tak mau mengusiknya, takut rasa duka yang dipendamnya muncul kembali. (Bagian Kedua)