Ormas-Baba Oleh Anif Punto Utomo
Ormas-Baba
Oleh: Anif Punto Utomo*
Berita yang cukup menyita perhatian: Pemerintah melalui Menteri Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia berencana membagikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Pertambangan Mineral dan Batubara kepada sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan.
IUP yang rencananya akan diberikan pada ormas tersebut merupakan IUP yang sudah diperintahkan untuk dicabut oleh Presiden Jokowi.
Setidaknya, ada sebanyak 2.078 IUP yang diusulkan untuk dicabut. UMKM, BUMD, Koperasi dapat memperoleh IUP tersebut lewat lelang. Dan terpikir kemudian diberikan ke ormas keagamaan tanpa lelang.
Pertimbangannya heroik sekali. ‘’Di saat Indonesia ini belum merdeka emang siapa yang memerdekakan bangsa ini, di saat agresi militer di tahun 1948 yang membuat fatwa jihad emang siapa? Emang konglomerat? Perusahaan? Yang buat tokoh agama,’’ kata Bahlil, awal April silam.
Bukan itu saja.
Di saat Indonesia mengalami masa sulit karena musibah, kata Bahlil, para tokoh keagamaan juga selalu sigap dalam membantu pemerintah menyelesaikan persoalan tersebut.
Pertanyaan besarnya adalah: Mampukah ormas mengelola tambang?
Pada prinsipnya, pemberian izin pengelolaan tambang dalam UU Minerba Pasal 51 harus mempertimbangkan kompetensi terkait kemampuan teknis, kemampuan pengelolaan lingkungan, dan finansial.
Baca Juga: Mahasiswa UPER Indonesia Belajar Logistik Kebencanaan ke Pakar di Jepang
Adakah kompetensi itu dimiliki ormas? Jujur tidak. Kemampuan teknis bukan kompetensi ormas keagamaan.
Pengelolaan lingkungan mungkin secara teori bisa, tetapi praktik di lapangan tak seindah teori. Finansial tentu berat, dibutuhkan modal besar di awal dan baru akan dipanen beberapa tahun kemudian.
Nah untuk itulah Bahlil akan mencarikan partner buat ormas tersebut.
Partner? Ya partner. Tidak dijelaskan secara rinci, tetapi kira-kira nantinya partner tersebut yang akan bekerja sekaligus membiayai eksplorasi.
Mungkin nantinya dikompensasi dengan kepemilikan saham; atau nanti mereka dibayar jika tambang sudah opersional dan menghasilkan; atau ormas tinggal ongkang-ongkang menerima setoran dari partner.
Apa yang disampaikan Bahlil itu tiba-tiba mengingatkan kita pada Program Ali-Baba di masa Orde Lama saat pemerintahan berada di bawah Kabinet Ali Sastroamidjojo (31 Juli 1953 - 12 Agustus 1955). Situasi ekonomi masih carut marut. Mr. Iskaq Cokrohadisuryo yang menjabat sebagai Menteri Perekonomian mencoba menerapkan konsep Ali-Baba.
Program Ali-Baba ini mirip Program Benteng yang berlaku pada masa Kabinet Natsir (September 1950 - April 1951). Kebijakan Benteng diinisiasi oleh Menteri Perdagangan Soemitro Djojohadikusumo. Program Benteng yang bertujuan melindungi pengusaha pribumi ini akhirnya dihentikan karena dianggap gagal.
Baca Juga: DRRC UI-Pertamina Hulu Rokan Kaji Tata Kelola Tanggap Darurat Kebakaran
Secara umum Program Ali-Baba juga bertujuan melindungi dan sekaligus memajukan pengusaha pribumi.
Selain agar mereka dapat bersaing dengan pengusaha Eropa, Tionghoa, Arab --yang sudah eksis sejak masa penjajahan-- juga agar nantinya pengusaha pribumi mempunyai andil lebih besar dalam perekonomian nasional.
Strategi yang dilakukan adalah dengan memberikan pemberian kredit dan lisensi kepada pengusaha pribumi.
Baca Juga: Demi Masa Depan Anak, Pakar Hukum Dukung Blokir Gim Daring Kekerasan
Dari situ nanti pengusaha pribumi tersebut bekerjasama sama dengan pengusaha Tionghoa untuk bersama-sama menjalankan usaha. Karena itulah lantas kebijakan ini dinamakan Ali Baba. Ali representasi pribumi, dan Baba adalah pengusaha Tionghoa.
Apa yang kemudian terjadi? Kebijakan ini ternyata hanya menciptakan makelar. Banyak pengusaha pribumi yang menyerahkan lisensi dan fasilitas kredit kepada pengusaha Tionghoa.
Pengusaha pribumi tidak melakukan apa-apa selain mendapat setoran dari menjual lisensi tersebut. Seluruh usaha dijalankan oleh pengusaha Tionghoa. Program ini juga gagal.
Baca Juga: Pemkot Depok akan Lanjutkan Program Beasiswa SD Hingga Perguruan Tinggi
Ide pemerintah yang disampaikan Bahlil ini mirip Program Ali-Baba. Ormas diberi lisensi, tetapi karena tak punya kompetensi nantinya yang bekerja partner perusahaan tambang --yang sebagian besar dimiliki pengusaha Tionghoa. Maka jika dulu ada program Ali-Baba, sekarang bolehlah disebut Ormas-Baba.
Tetapi yang lebih menyedihkan, program ini akan menciptakan utang budi ormas kepada pemerintah, sehingga ormas menjadi sungkan memberikan koreksi jika pemerintah melakukan kesalahan. (***)
*Penulis Wartawan Senior