Mengenang Presiden Pelukis yang Fenomenal, Penyampai Gerakan Demokrasi
ruzka.republika.co.id--Pada 28 Desember 2023, pelukis Hardi yang ekspresif dan fenomenal meninggalkan dunia yang fana ini. Ia wafat pukul 09.00 WIB di rumahnya, di kawasan Joglo, Jakarta Barat.
KP Hardi Danuwijoyo (1951-2023). Lahir di Blitar, 6 Mei 1951. Ia kuliah di STSRI ASRI Yogyakarta dan mendapat beasiswa untuk kuliah di Jan Van Eyc Academie, Maastricht, Belanda.
Ia adalah salah seorang perancang “Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia”.
Namanya menjadi populer saat ditangkap oleh Laksuda Jaya pada Desember 1978, karena lukisan foto dirinya, dengan pakaian jendral berbintang berjudul “Presiden tahun 2001, Soehardi".
Baca Juga: Berantas Judi Online, Kominfo Putus Akses Lebih dari 800 Ribu Konten Judi Online
Lukisan tersebut sebagai bentuk protes yang sangat lantang di tengah pemerintah Orde Baru yang sangat represif dan militeristik, juga sebuah perlawanan, sekaligus tantangan yang cukup menantang kepada penguasa.
Ia juga begitu peduli dengan kondisi sosial, politik dan hukum serta hak asasi manusia. Acara diskusi kebudayaan ini adalah sebuah upaya untuk mengenang kiprah beliau dalam pergerakan sosial melalui kiprahnya dalam dunia Senirupa .
Menurut sang putri Oriana Titisari, ayahnya meninggal dalam keadaan tidur. Penyakit radang meningitis menyerang Hardi. Penyakit radang selaput otak ini merupakan peradangan pada meningen, yaitu lapisan pelindung otak dan saraf tulang belakang, gejala awalnya mirip dengan flu, demam dan sakit kepala.
Baca Juga: Tol Cijago akan Lakukan Penyesuaian Tarif pada Jumat 5 Januari 2024, Segini Tarifnya
Penyebabnya bisa infeksi bakteri, virus, jamur atau parasit sehingga membuat daya tahan tubuh melemah. Hardi dimakamkan di TPU Tanah Kusir ba’da azar.
Pelukis yang mahir ilmu silat Bangau Putih itu, wafat dengan kondisi yang berbeda dari tubuh sebelumnya di mana Hardi terlihat gempal, berotot, sehat berkat ilmu silat yang ditekuninya.
Akibat penyakit meningitis itu, ingatan Hardi mulai menurun. Ia sempat dirawat di RS Pusat Otak Nasional (PON) dan dirawat di sana selama sepuluh hari akibat terjatuh dari tangga. Sepeninggal sang istri, Susan yang wafat Oktober tahun lalu, kesehatannya mulai menurun.
Baca Juga: Depok Bagikan Ribuan Bibit Ikan Hias Gratis, Kembangkan Budidaya Ikan Hias
Hardi merupakan tokoh seni rupa penting Indonesia. Ia merupakan Pelopor Gerakan Seni Rupa Indonesia yang mewarnai dinamika kesenian khususnya seni lukis di Tanah Air.
Anggota Gerakan Seni Rupa, terdiri dari FX Harsono, Bonyong Munni Ardhi, Siti Adiyati, Jim Supangkat, dan Nanik Mirna.
Karyanya dikoleksi Keluarga Cendana, menteri-menteri kabinet Orde Baru dan Orde Reformasi, tokoh-tokoh nasional, kalangan pengusaha dan rekan-rekan seniman.
Selain lembaga-lembaga bergengsi seperti Museum Purna Bhakti Pertiwi, Balai Senirupa DKI, Dinas Kebudayaan DKI, TIM, LBH, Wisma Seni Nasional, Bentara Budaya, PT. Coca Cola, Museum Neka Ubud-Bali, Yayasan Pengembangan Bisnis Indonesia.
Ia salah satu pelukis aliran ekspresionis yang terkenal dengan berbagai aktivitas lintas seni dan kebudayaan di Indonesia.
Hardi mengawali kariernya pada 1970 di Ubud, Bali. Ia melukis bersama W. Hardja, Anton Huang, kemudian kuliah di Akademi Seni Rupa Surabaya. Tahun 1971-1974, Hardi kuliah di STSRI ASRI Yogyakarta, berlanjut tahun 1975-1977 kuliah di De Jan Van EYC Academie di Maastricht, Belanda.
Dalam bidang senirupa Hardi berguru kepada Daryono, Fadjar Sidik, Widayat, Prof. Hans Seur, Prof. Pieter De Fesche, Nyoman Gunarsa, dan Drs Sudarmadji.
Untuk mengenang pelukis Hardi, akan diadakan diskusi kebudayaan yang bertempat di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, pada Rabu 3 Januari 2024, pukul 15.00-18.00 WIB.
Adapun pembicara yg akan menjadi pemantik diskusi adalah, Aidil Usman (Ketua Komite Senirupa DKJ), Bambang Asrini Wijanarko (Kurator Senirupa), Fanny J Poyk (Novelis) & Yusuf Susilo Hartono (Kritikus Seni) dengan moderator, Amien Kamil.
Semoga aktivitas ini dapat menginspirasi seniman dan budayawan untuk selalu bangkit menyuarakan akal sehat dan kesadaran ditengah realitas kehidupan di negeri ini yang semakin absurd.
Reporter: Fanny J Poyk/Ruzka Republika