Galeri

Monolog Hujan, Buku Kumpulan Puisi Frans Ekodhanto Purba, Berbicara tentang Alam, Cinta juga Kedukaan

Monolog Hujan, buku kumpulan puisi Frans Ekodhanto Purba.

RUZKA REPUBLIKA -- Sebagai mantan jurnalis dari berbagai media seperti Koran Jakarta, beritajakarta tv, Majalah Swantara Lemhanas, dll. Frans Ekodhanto Purba telah lama menggeluti dunia kepenyairan Indonesia.

Penyair kelahiran 8 Juli 1986 ini juga telah menerbitkan dua buku antologi puisi yang berjudul Kelana Anak Rantau dan Marhajabuan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sedangkan buku antologi puisinya yang terakhir berisi beragam kisah kemanusiaan, absurditas kehidupan dan kebudayaan, kesemua puisi itu dikemas ke dalam diksi, metafor dan majas yang menjadi cerminan dari larik demi larik atau bait demi bait yang memberikan makna subyektivitas dari sebuah pemahaman puisi berdasarkan licentia poetika para pembacanya.

Baca Juga: Cegah Kesalahan Pengukuran BB Anak, Puluhan Timbangan Posyandu di Depok Ditera Ulang

Sebab puisi itu berada di ranah kata yang merdeka, semua yang tertulis di dalamnya memberikan keindahan kata yang dirasakan oleh mereka yang menikmati puisi itu sendiri.

Sastra dan jurnalistik menjadi perpaduan yang erat di dalam memahami apa yang terjadi di sekeliling dan itu digambarkan Frans (demikian ia disapa) di dalam buku antologi puisinya yang berjul Monolog Hujan.

Berkaitan dengan peluncuran buku antologi puisi ini, Diaz Hendropriyono sosok penikmat puisi sekaligus staf khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi), menjadi tamu undangan dan sekaligus ‘key speaker’ yang hadir di aula lantai 4 Pusat Dokumentasi Sastra HB. Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 13 Juli 2024 pukul 15.00 WIB sampai selesai.

Baca Juga: Ceria Belajar di Hari Pertama Masuk Sekolah, PWI Depok Bagi-bagi Hadiah di MPLS di 34 SMPN

Ia memberikan sambutan dengan mengatakan bahwa sastra dalam hal ini puisi merupakan bagian dari ketahanan negara karena sastra mampu ‘mengikat emosi’ di dalam berbangsa sekaligus membangun negara.

Sastra tidak punya kepentingan untuk dirinya sendiri, namun bahasa yang tercermin di dalam sastra menggambarkan kalau bahasa yang dikemas secara puitis bisa menggugah rasa dan menggerakkan pemikiran seseorang yang bertindak secara intelektual melalui kata-kata.

Diaz juga menyampaikan kegundahannya terhadap dunia yang semakin dipenuhi luka akibat dari menumpuknya sampah plastik.

Baca Juga: Welcoming Day Cakra Buana Playducation School 2024, Ajak Siswa Belajar Mengajar yang Menyenangkan

Ia berharap generasi muda dan berikutnya lebih peka terhadap situasi dan keresahan akan keberadaan sampah plastik di muka bumi.

Pada acara yang sama hadir pula nara sumber dari buku antologi Monolog Hujan yaitu Willy Aditya, ia juga penikmat puisi sekaligus anggota dan Wakil Ketua Badan Legislatif DPR-RI.

Selaku pembicara, Willy menuturkan bahwa membaca dan menulis puisi penting. Menurut sarjana filsafat ini puisi merupakan salah satu ‘alat’ untuk menyuling emosi/rasa baik itu cinta, kritik, benci, juga amarah yang hendak meledak memalui diksi-diksi yang terkendalikan dan membakar semangat untuk berjuang juga melakukan perlawanan yang lebih membangun.

Baca Juga: Bogor Go Green, Bogor Hijau Tanpa Sampah, Komitmen Tingkatkan Kebersihan Lingkungan

"Semua itu tercermin di dalam buku antologi puisi Monolog Hujan karya Frans Ekodhanto Purba," terangnya.

Sedangkan Vukar Lodak salah seorang nara sumber yang lahir di Palembang ini menambahkan, menilik intelektualitas puisi dan unsur intrinsik dari kumpulan puisi Monolog Hujan.

"Kita melihat betapa mirisnya budaya membaca di kalangan generasi muda saat ini. Budaya membaca tersebut mengalami masa-masa gelap di dalam kita berliterasi. Kepungan media sosial, Artificial Intelegen (AI), dan era teknologi yang kian meluncur ke depan, semakin memiriskan situasi sastra dalam hal ini puisi," jelasnya.

Baca Juga: Operasi Kepolisian Patuh Jaya 2024 Kota Depok Digelar Selama 2 Pekan, Cegah Laka Lantas

Buku antologi puisi yang ditulis Frans bisa menjadi ‘triger’ bagi generasi muda atau siapa pun untuk semakin mencintai dunia puisi, dunia sastra.

Menurut Vukar keberadaan dunia baca yang mencakup juga dunia literasi Indonesia jangan sampai meminimalisir keberadaan sastra itu sendiri, dunia ini harus lebih dicintai oleh generasi muda dan generasi berikutnya.

Keceriaan peluncuran buku antologi puisi, diisi juga dengan pembacaan puisi oleh Ical Frigar (budayawan, penyair/pemain teater, M. Chozin Amirulah (Pemerhati Seni Budaya dan Pembina Gerakan Turun Tangan), Syahnagra Ismail (Perupa), serta Teater Moksa.

Baca Juga: Disdik Depok Akan Lakukan Monitoring di Hari Pertama Masuk Sekolah

Acara dipandu oleh MC yang juga penyair Nuyang Jaimee. Sedangkan moderator acara dipimpin oleh Fanny J. Poyk. Di dalam kalimat penutupnya, menurut Fanny yang juga seorang cerpenis, novelis, dan jurnalis, menyatakan bahwa hidup berdasarkan pendapat dari filsuf Albert Camus adalah abdsurd.

Puisi yang berasal dari intuisi kreatif seseorang, mampu menggiring seseorang untuk lembih berempati kepada kehidupan itu sendiri.

Menghindarkan seseorang dari absurditas membunuh atau bunuh diri. Ketika kata dibelenggu oleh beragam kepentingan yang berdasarkan pada keinginan seseorang atau sekelompok orang semata, maka satu kata yang patut diucapkan adalah, “lawan!”. (***)

Penulis : Fanny J Poyk