Cornelis Chastelein, Jembatan Panus, Gereja Immanuel dan Gedoran Depok
ruzka.republika.co.id--Wartawan senior yang juga novelis, Fanny Jonathan Poyk meluncurkan buku Sebuah Novel Depok, Tentang Ibuku, Kota Depok, Feminisme, Filsafat Kehidupan dan Cinta yang diterbitkan Kosa Kata Kita (KKK) pada September 2023. Berikut kisah Cornelis Chastelein, Jembatan Panus, Gereja Immanuel dan Gedoran Depok.
Untuk mengkilasbalik peristiwa di masa lalu, perlu diketahui bagian dari perjalanan sebuah sejarah yang pernah ada. Kisah ini tentang gedung Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat yang diberi nama Immanuel yang berdiri sejak tahun 1713. Gedung tersebut merupakan peninggalan Tuan Tanah Cornelis Chastelein.
Ia memerdekakan budak-budak pribuminya yang disebut kaum mardijkers atau dikenal dengan nama Belanda Depok. Bagi mereka yang memeluk agama Kristen Protestan, Cornelis Chastelein memberikan gedung gereja dan asetnya untuk digunakan sebagai tempat beribadah.
Ia juga memberikan marga pada penduduk yang masuk Kristen Protestan itu. Marga-marga mereka adalah Loen, Leander, Bacas, Isakh, Jonathans, Jacob, Joseph, Laurens, Tholense, Soedira, Samuel dan Zadokh.
Baca Juga: Dinas PUPR Kota Depok Tata Trotoar dan Saluran di Jalan Komjen Pol M Jasin
Sebelumnya kedua belas marga itu kerap beribadah ke Batavia pada setiap hari Minggunya. Akhirnya karena terlalu jauh, mantan pegawai bagian keuangan VOC itu membangun gereja yang sekarang terletak di Jalan Pemuda Pancoran Mas, Depok.
Kala itu gereja tersebut diberi nama De Protestanse Kerk. Pendeta pertamanya adalah Baprima Lukas yang berasal dari Bali.
Gereja dengan luas 360 meter persegi ini, awalnya dibangun dari bahan kayu dan bambu. Karena mengalami pelapukan, kemudian direnovasi pada tahun 1392. Pada abad ke 19, tepatnya di tahun 1833, gereja terkena gempa berkekuatan besar.
Gempa berasal dari Gunung Krakatau yang berpusat di Selat Sunda. Gereja ikut rusak dan ibadah jemaat gereja hingga 1854 berlangsung di bangunan darurat. Baru pada 1854 dibangun kembali menjadi gereja yang permanen.
Baca Juga: Ini yang Disampaikan Guru Besar FEB UI, Ada 5 Hal Penting dalam Kebijakan Moneter dan Keuangan
Pada 7 Desember 1952, gereja yang dulu dikenal dengan nama Gereja Protestan Depok itu, diserahkan kepada Sinode Gereja Protestan Indonesia di Jakarta.
Namanya pun menjadi Gereja Immanuel Depok. Dan, di tahun 1989, bangunan asli gereja direnovasi juga diperluas. Bangunan asli hanya tersisa 40 persen. Sebagai peringatan terhadap jasa Cornelis Chastelein dibuatlah prasasti dari batu marmer yang bisa dilihat tepat di pintu masuk utama gereja.
Gedung tua lainnya adalah Gedung Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC). Gedung ini dahulu adalah rumah tinggal Presiden Depok.
Baca Juga: Sinopsis Film Horor Di Ambang Kematian, Usaha Gadis Muda Memutus Rantai Pesugihan Keluarganya
Bangunan yang telah berusia lebih dari 300 tahun itu didirikan oleh Cornelis Chastelein. Kemudian ada tiang telepon pertama yang dibangun Belanda dan berdiri sejak tahun 1900, terletak di Jalan Kartini Depok.
Lalu ada Jembatan Panus yang di bawahnya dialiri aliran Sungai Ciliwung yang berasal dari Bogor, Depok, hingga Jakarta. Jembatan Panus dibangun pada tahun 1917 oleh seorang insinyur Belanda bernama Andre Laurens. Nama Panus sendiri berasal dari nama Stevanus Leander.
Ceritanya, ada seorang warga yang dahulu tinggal di dekat jembatan itu kesulitan jika harus memanggil namanya dengan sebutan Stevanus. Ia lebih suka menyingkatnya dengan nama panggilan Panus dan akhirnya jembatan itu kemudian juga diberi nama jembatan Panus.
Jembatan tersebut kini telah menjadi peninggalan kuno yang terkadang dicari oleh para wisatawan sejarah untuk dijadikan bahan tulisan atau penelitian oleh mereka.
Baca Juga: Gelaran Istana Berbatik, Tunjukan Budaya Indonesia Makin Mendunia
Ada kisah lain yang menyebutkan mengapa Kampung Depok Lama dinamakan demikian. Terciptanya kampung Depok Lama yang sekarang mengukuhkan diri menjadi Kaoem Depok dengan Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein sebagai payung yang mempersatukan Kaoem Depok dengan dua belas marganya itu, tidak bisa lepas dari peran Cornelis Chastelein juga.
Ia seorang tuan tanah asal Belanda yang juga mantan petinggi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), sebuah kongsi dagang Hindia Timur Belanda pada era 1602-1799.
Kawasan Kampung Depok Lama yang kala itu masih menyisakan bangunan dengan gaya arsitektur Belanda, di mana bangunannya berarsitektur tropis dengan ciri berjendela besar dan beratap agak curam, bangunan tersebut berkaitan erat dengan keberadaan Cornelis di sana.
Baca Juga: Meja Panjang Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin dan Nasib Para Sastrawan
Kisah tentang Kampung Depok Lama juga berhubungan erat dengan cerita yang ditulis pada buku Gedoran Depok yaitu tentang Revolusi Sosial di tepi Jakarta pada 1945-1955 yang ditulis Oleh Wenri Wanhar.
Pada buku tersebut dikisahkan juga tentang siapa Cornelis Chastelein dan asal-usulnya. Penulis bernama Wenri Wanhar menguraikan peristiwa ini dalam bukunya berjudul Gedoran Depok tersebut.
Kisah itu berlangsung setelah 17 Agustus 1945, ketika Soekarno Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Rakyat menyambut peristiwa itu dengan gembira dan penuh kemenangan.
Baca Juga: Ikutan Yuk! Lomba Foto dan Tulisan Anugerah Pewarta Astra 2023, Hadiahnya 4 Motor Honda CBR250RR
Hampir setiap orang di Jakarta mengepalkan tinju, dan saling berucap, "Merdeka!" Bendera Merah-Putih pun berkibar di sudut-sudut kota. Namun demikian, riuhnya kemerdekaan RI di Jakarta tidak terdengar sampai ke Depok.
Menurut Wenri, warga kota ini belum mengakui kemerdekaan Indonesia, sehingga tak ada yang mengibarkan bendera Merah-Putih. Akibatnya, para pemuda dan berbagai kelompok laskar rakyat dari seluruh penjuru mata angin menyerbu Depok.
Orang Depok ditawan. Di bawah todongan senjata, mereka dipaksa membawa bendera Merah-Putih. Bagi yang membangkang, dibunuh. Tak sedikit korban tewas di peristiwa itu.
Peristiwa tersebut kemudian dikenal sesuai dengan nama yang ada di judul bukunya, yaitu Gedoran Depok.
Melalui peristiwa inilah lahir tokoh-tokoh Pahlawan Depok, seperti Margonda, Letnan Dua Tole Iskandar, dan Mochtar Sawangan. Nama pejuang itu kini diabadikan sebagai nama jalan utama di Kota Depok.
Baca Juga: Kembangkan Riset di Bidang Industri, UI Siap Berkolaborasi dengan KIT Korsel
Cornelis Chastelein dan Depok
Saat Depok di bawah pendudukan VOC pada tahun 1602-1811, Ibu bertutur tentang sang tokoh sentral yaitu Cornelis Chastelein yang berlayar ke Batavia/Jakarta, Indonesia pada 24 Januari 1674.
Pria yang lahir pada 10 Agustus 1657 ini mengarungi samudra luas bersama kapal yang ditumpanginya selama 223 hari dari Belanda ke Oost Indie (Indonesia).
Setelah tiba di Batavia, Cornelis bekerja sebagai Book Houder VOC, ia termasuk orang VOC generasi awal.
Baca Juga: Kota Depok Gelar Vaksinasi Rabies Massal Gratis, Catat Tanggalnya
Tahun 1693 Cornelis mengundurkan diri dari VOC kemudian membeli beberapa bidang tanah. Tanah-tanah yang dibelinya ada di daerah Senen, Bungur, Kwitang, Kwini dan sekitarnya yang masih termasuk dalam kota Batavia. Bahkan Cornelis juga membangun kebun binatang pertama di Oost Indie, tepatnya di daerah Cikini.
Pada 15 Oktober 1695 Cornelis makin memperluas tanahnya, dia membeli tanah-tanah di daerah Srengseng (Lenteng Agung sekarang) dan terus diperluas sampai wilayah Depok.
Untuk menggarap tanah di wilayah Depok maka Cornelis membeli budak-budak dari Sulawesi, Kalimantan, Bali dan Timor (NTT). Pada masa itu sistem perbudakan masih legal.
Baca Juga: Kemasan Konflik Keluarga Dalam Film Drama Komedi Mohon Doa Restu
Tahun 1696 Cornelis memberikan tanah kepada seluruh budaknya dan membebaskan mereka dari perbudakan apabila bersedia memeluk agama yang dianutnya, yaitu Kristen Protestan Hugenot.
Dari 150 orang budak, 120 orang bersedia.
Kemudian Cornelis membagi budak-budak itu dalam 12 Marga, Marga tersebut sudah ditulis di buku ini. Pada tanggal 28 Juni 1714 Cornelis wafat dan meninggalkan surat wasiat berisi pembagian harta warisan kepada 12 marga yang pernah menjadi pekerjanya.
Depok di era Hindia Belanda tepatnya pada 1816-1942 berada di bawah pimpinan Cornelis Chastelein. Para mantan pekerja Cornelis yang beranak-pinak inilah yang kerap disebut Belanda Depok, sebutan ini bernada satir dan membuat orang-orang Depok yang nenek moyangnya pernah bekerja pada Cornelis merasa tak nyaman.
Sebutan tersebut diperkirakan karena pemukiman mereka yang menyerupai kota kecil di Eropa, gaya hidupnya juga hampir serupa dengan orang Eropa, baik soal makanan, pendidikan, bahasa dan pergaulannya.
Meski demikian, kendati berjulukan Belanda Depok namun paras mereka bukan berparas bule, mereka lebih ke bentuk fisik orang-orang Indonesia asli.
Ya, berdasarkan penelusuran, nenek moyang mereka memang berasal dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Para mantan pekerja ini juga membentuk tatanan dan pemerintahan sendiri di Depok pada kala itu.
Baca Juga: Ini Cara Urus Izin Praktek Medik Veteriner Mandiri di Kota Depok
Tatanan pemerintahan Depok pada masa itu disusun oleh Advokat Belanda dengan pengaturan bercorak republik dengan presiden pertamanya G. Jonathans dan MF Jonathans sebagai sekretarisnya. Presiden dipilih berdasarkan pemungutan suara terbanyak setiap 3 tahun sekali.
Istana Presiden Depok masih berdiri kokoh sampai sekarang. Bentuknya telah menjadi rumah tua di Jl Pemuda No. 11, Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas.
Kala itu, Presiden Depok dibantu sekretaris, komisaris dan tukang kontrol yang bertugas memberikan laporan kepadanya bila ada masalah di wilayah Depok.
Baca Juga: Dinkes Depok Ajak Seluruh Sanitarian Fasyankes untuk Kelola Limbah Medis
Sistem Pembagian hasil tani dan pajak juga diatur oleh Presiden Depok. Pada tanggal 5 Maret 1942 Batavia diumumkan menjadi kota terbuka oleh pihak Belanda, artinya kota ini tidak akan dipertahankan lagi oleh Belanda.
Berkaitan dengan pengumuman tersebut maka tentara Jepang langsung menduduki Buitenzorg (Bogor). Peraturan ini mengakibatkan kekuasaan Presiden Depok juga sudah tidak ada lagi, seluruh pajak hasil bumi diambil alih oleh Jepang.
Meski demikian, Depok relatif aman pada masa kekuasaan Jepang namun kemudian bergejolak setelah 17 Agustus 1945. Di mana-mana muncul pemberontakan dan pembelotan anggota PETA yang juga berimbas juga hingga ke Depok, mereka membentuk AMRI ( Angkatan Muda Republik Indonesia) di bawah kepemimpinan Margonda dan Laskar 21 di bawah pimpinan Tole Iskandar. Sedangkan Pertahanan Daerah berada pada pimpinan Nisin Manyir dan Sengkud.
Baca Juga: Pemkot Depok Luncurkan Program Ngabaso, Miliki Banyak Manfaat Bagi Anak
Kemudian pada 7 Oktober 1945, terjadi kericuhan di Depok, Penduduk setempat memboikot orang Eropa termasuk orang yang dinilai menjadi kaki tangan Belanda. Mereka menghalangi orang Eropa membeli kebutuhan sehari-hari.
Besoknya, segerombolan orang yang bersenjata bambu runcing menjarah lima keluarga kaki tangan Belanda dan merampok semua barang kekayaannya. Gudang koperasi tempat penyimpanan bahan pangan dijarah sekelompok gelandangan.
Polisi pemerintah Republik Indonesia yang mengetahui peristiwa itu tak dapat melakukan tindakan apa-apa selain hanya melihat peristiwa tersebut. Meski demikian, para polisi tersebut tidak membiarkan hal itu terjadi berlarut-larut.
Pada tgl 11 Oktober 1945, sekitar 4.000 orang datang ke Depok. Gerombolan itu bebas merampok dan mengobrak-abrik, rumah-rumah dan mengusir penghuninya terutama penduduk Kristen Eropa.
Para korban sulit mencari perlindungan, mereka banyak yang lari ke hutan dan keselamatan mereka pun tidak terjamin Sebab selama mereka di hutan, banyak perampok yang mengambil harta benda mereka. Peristiwa Ini mirip dengan peristiwa kerusuhan 1998, di mana banyak toko toko bertuliskan milik pribumi.
Ketika peristiwa Gedoran Depok meletus, beberapa orang Depok ada yang mengamankan diri di rumah pembantunya atau berlindung di rumah orang orang kampung di luar Depok.
Baca Juga: Pemkot Depok Punya 10 Program Prioritas Pendidikan
Salah satu kelompok yang menyerang pemukiman Belanda pada peristiwa Gedoran Depok itu adalah Laskar 21 pimpinan Tole Iskandar. Pada 16 November 1945, para pemuda termasuk Margonda, melakukan serangan kilat untuk merebut kembali Depok dari tangan NICA.
Serangan ini membuat banyak korban dari pihak NICA, mereka tewas karena tidak paham medan. Depok yang tenteram dan tenang, kala itu berubah menjadi kota yang mencengkam.
Cornelis Chastelein sang akuntan sekaligus saudagar VOC yang kemudian beralih menjadi tuan tanah, memiliki beberapa alasan dengan keputusannya itu, hal ini disebabkan karena ia tidak cocok dengan kepemimpinan Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn yang memerintah Indonesia pada tahun 1691-1704.
Baca Juga: Dinkes Kota Depok akan Gelar Pemberian Vitamin A pada Oktober 2023
Setelah berhenti dari pekerjaannya di VOC, Chastelein serius menekuni bidang pertanian. Penyematan 12 marga Kaoem Depok yang menjadi pekerjanya di mana kala itu status mereka masih sebagai budak, hanya diturunkan dari garis laki-laki atau patrilineal sehingga perempuan yang menikah dengan marga luar dianggap putus secara garis keturunan dari pihak ayah.
Kawasan Kampung Depok Lama yang dianggap sebagian masyarakat sekitarnya erat kaitannya dengan Negeri Belanda membuat wilayah tersebut menyimpan banyak sejarah peninggalan Belanda.
Hal ini membuat pejabat Kedutaan Besar (Kedubes) Kerajaan Belanda untuk Indonesia datang mengunjungi kawasan tersebut.
Baca Juga: Pemkot Depok Punya 10 Program Prioritas Pendidikan
Kedatangan Dubes Belanda ini dimaksudkan untuk melihat peninggalan sejarah Belanda yang ada di kawasan Jalan Pemuda, di Kampung Depok Lama, Kecamatan pancoran Mas dan juga ingin menjadikannya sebagai kawasan wisata sejarah.
Duta Besar Belanda untuk Indonesia Lambert Grijns kemudian mengunjungi kawasan Depok Lama yang dikenal sebagai tempat tinggal Kaoem Depok untuk melakukan penjajakan pengembangan kawasan ini sebagai daerah cagar budaya dan wisata tempo doloe.
Dalam kunjungannya, ia bertemu dengan Wali Kota Depok M. Idris dan dari perwakilan Universitas Indonesia (UI) serta generasi ke-10 Cornelis Chastelein yang berada di kampung Depok Lama atau Pancoran Mas.
Di kawasan ini Grijns bisa melihat secara langsung keadaan kawasan Depok Lama sehingga ia merasa ada ikatan untuk memperkuat hubungan dengan masyarakat dan pemerintah kota Depok, terutama yang berkaitan dengan peninggalan sejarah atau (heritage).
Di Kota Den Haag, Belanda sendiri sering mengadakan pameran tentang Depok dan buku-buku tulisan orang Belanda Depok. Tujuannya untuk membawa turis Belanda berwisata ke Depok. Namun, kunjungan tersebut belum membahas secara mendetail mengenai kemungkinan adanya kerjasama merestorasi kawasan Depok Lama.
Baca Juga: Obrolan Pagi dengan Gerson Poyk, Tentang Penulisan Cerpen
Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan Pariwisata Kota Depok, Dadan Rustandi mengatakan bahwa pengembangan kawasan bersejarah di Depok Lama masih dalam penjajakan dengan Belanda.
Itu sebabnya Pemerintah Kota Depok terus melakukan komunikasi dengan Universitas Indonesia dan Kedutaan Belanda di Indonesia. Berbagai kajian penelitian sedang dilakukan untuk menjadikan kawasan bersejarah Depok Lama sebagai cagar budaya dan bisa menjadi daerah wisata sejarah. (***)
Reporter: Maulana Said