Info Kampus

FISIP UI dengan Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa Gelar Konferensi Ilmiah Tahunan Kesehatan Jiwa Indonesia

FISIP UI dengan Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa gelar Konferensi Ilmiah Tahunan Kesehatan Jiwa Indonesia bertema Saatnya Bicara Kesehatan Jiwa.

RUZKA REPUBLIKA -- Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (FISIP UI) bekerjasama dengan Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa, menyelenggarakan konferensi Ilmiah tahunan pertama di Kampus UI pada Selasa (09/10/2024).

Konferensi bertema Saatnya Bicara Kesehatan Jiwa dibuka dengan pembicara kunci Prof. Dr. Nila Anfasa Moeloek, Menteri Kesehatan RI periode 2014-2019 yang memaparkan perlunya upaya penanggulangan masalah kesehatan jiwa yang lintas disiplin.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Para pembicara yang hadir berasal dari latar belakang kesehatan, dokter, psikiater, psikolog dan para ahli ilmu sosial. Hadir dalam kesempatan tersebut Dekan Fakultas Psikologi UI Prof Bagus Takwin, Ketua Prodi Kedokteran Kerja FK UI Prof. Dewi Soemarko, Pakar Sosiologi Kesehatan UI Dr. Lidya Triana, Pengajar Psikiatri FK USU Dr. Nazli Mahindasari dan Dr. Annisa Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI.

Baca Juga: DLHK Depok Catat 7 RW Siap Naik Tingkat Predikat Proklim

Saat memberikan sambutan, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto, Dekan FISIP UI, menyatakan bahwa masalah kesehatan jiwa harus didekati secara holistik.

Masalah ini bukan semata persoalan kesehatan dari sisi medis belaka tapi amat terkait dengan interaksi sosial sehari-hari dalam masyarakat.

Inilah sebab mengapa kemudian FISIP UI menjadi tuan rumah konferensi tersebut.

Menurutnya, dinamika sosial budaya yang terjadi saat ini, berupa kemajuan teknologi dan ekonomi telah mengakibatkan cara hidup yang berubah. Sistem nilai, norma dan ekspektasi sosial berubah dengan cepat seringkali menyebabkan individu tidak sempat beradaptasi.

Baca Juga: Ahli Waris Gugat Lahan Hibah SMP Segar Cimanggis, Ditolak PN Depok

Saat ini, masih banyak gejala gangguan kejiwaan mulai dari waham, kesurupan, dan berbagai gejala schizoprenia ditanggapi berbeda secara kultural. Alih-alih mengagapnya sebagai gangguan, sebagian dari masyarakat justru mengasosiasikannya dengan kemampuan lain.

Mereka minta nomer untuk lotre dan judi, atau mengeksploitasi informasi yang muncul dari racauan penderita waham tertentu. Sebagian menormalkannya, sementara yang lain memberikan cap negatif atau stigma pada pelakunya.

Dalam paparannya Dr. Annisa menunjukkan tren gangguan kesehatan mental di fakultasnya. Hasil screening kesehatan pada mahasiswa baru FISIP UI Angkatan 2023 menunjukkan bahwa mahasiswa yang mengalami depresi, kecemasan, dan stres dengan tingkatan berat dan sangat berat perlu dijadikan perhatian.

Baca Juga: Ini Jadwal Gebyar Layanan Disdukcapil Depok, Catat Tanggalnya!

Tercatat ada 10,9% di antaranya memiliki keinginan bunuh diri. Survei yang meliput mahasiswa dari jenjang S1, S2, hingga S3, menunjukkan bahwa mahasiswa baru dengan tingkat stres sangat berat mencapai 10,5%, kecemasan sebanyak 42,3%, dan depresi sebanyak 14,3%. Sebanyak 38,8% mahasiswa pernah memiliki keinginan bunuh diri, dan 5,9% (17 orang) diantaranya dengan intensitas sering sekali.

Menurutnya, salah satu permasalahan yang dihadapi oleh mahasiswa dengan masalah kesehatan jiwa yaitu stigma.

Terdapat tiga masalah utama munculnya stigma ini. Pertama, masalah pengetahuan terkait dengan ketidaktahuan orang mengenai penyakit Kesehatan Jiwa; layanan yang tersedia; dan bagaimana menghadapi kondisi tersebut.

Baca Juga: UI akan Jaring Calon Rektor Periode 2024-2029, Ini Syaratnya dan Tahapannya

Kedua, sikap berupa prasangka. Prasangka muncul dari adanya pikiran negatif yang melibatkan aspek emosi negatif seperti marah, benci, jijik dan lainnya.

Ketiga yaitu diskriminasi, merupakan tindakan aktual yang melanggar hak asasi manusia. Stigma dapat berasal dari publik maupun individu tersebut.

Pada mahasiswa, stigma yang paling banyak berasal dari diri sendiri dan keluarga. Banyak diantara mahasiswa yang sudah terdiagnosis menciptakan “bubble” dunianya sendiri, yang merasa tidak berdaya dan tidak sehat.

Di saat yang bersamaan, keluarga juga menyalahkan mereka dan menganggap 'lebay' (berlebihan).

Baca Juga: Akselerasi Perekonomian, OJK SulutGoMalut Gelar Rapat Koordinasi TPAKD

Kondisi ini dapat menghambat pemenuhan hak pendidikan dan pengembangan potensi mereka dengan maksimal.

Pembicara lainnya, Dr. Lidya Triana dari Departemen Sosiologi FISIP UI menyampaikan pentingnya dukungan komunitas pada para individu yang mengalami masalah kesehatan jiwa.

Di tengah kurangnya tenaga kesehatan jiwa dan psikolog klinis di Indonesia serta disparitas antar daerah terkait rasio jumlah tenaga kesehatan jiwa dan psikolog klinis dengan jumlah penduduk yang harus dilayani, maka layanan kesehatan komunitas sudah saatnya dipilih sebagai kebijakan yang dapat mengatasi masalah tersebut.

Baca Juga: Lintasarta Dukung Pertumbuhan Bisnis Pelanggan dengan Standar Tertinggi untuk Keamanan Data

Upaya kesehatan yang paling utama adalah upaya promotif dan preventif yang harus melibatkan banyak pihak baik pemerintah (pusat dan daerah), pihak swasta dan masyarakat, termasuk di dalamnya program pencegahan sejak dini di lingkungan institusi pendidikan dan juga keluarga.

Meski demikian, hal ini masih mengalami tantangan dan hambatan baik kelembagaan maupun non kelembagaan, antara lain stigma masyarakat yang masih cukup kuat, komitmen pemimpin, dukungan anggaran, SDM yang memadai dan terlatih.

Caregiver sebagai ujung tombak dalam pengasuhan anggota keluarga yang menderita sakit jiwa juga perlu mendapat perhatian bersama, dengan mengedepankan manajemen resiko, manajemen stress, pemberian bantuan sosial/asuransi sosial, menyediakan layanan alternatif dan juga manajemen pengobatan bagi anggota keluarga agar beban pengasuhan berkurang dan caregiver tetap dapat produktif.

Baca Juga: Disdagin Depok Ingatkan Ratusan Pegawainya Jaga Integritas dan Netralitas di Pilkada 2024

Konferensi juga menghadirkan budayawan Garin Nugroho yang mengawali pertemuan ilmiah itu dengan konteks perubahan media dewasa ini.

Budaya digital yang tersebar luas dalam kehidupan sehari-hari dengan fasilitasi internet memainkan peran penting dalam munculnya masalah kesehatan jiwa.

Nampaknya harus ada kesadaran mengenai dampak dari berbagai tontonan, pemberitaan, dan hiburan yang dinikmati melalui berbagai platform media sosial di internet yang telah menjadi gaya hidup baru pada masyarakat Indonesia.

Baca Juga: Warga Depok Bisa Urus Dokumen Kependudukan Sehari Jadi

Kecemasan muncul dari ekspose berita di media internet, perilaku takut tidak eksis atau FOMO, dan berbagai bahasa khas interaksi digital yang sering tidak dipahami oleh berbagai kalangan. (***)

Berita Terkait

Image

Sembilan Mahasiswa UI Raih Juara International Ferry Safety Design Competition Level Internasional