Galeri

Esai Masa Depan Kesusastraan Indonesia

Esai Masa Depan Kesusastraan Indonesia, Oleh Fanny J. Poyk

Esai Masa Depan Kesusastraan Indonesia

Oleh: Fanny J. Poyk*

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

ruzka.republika.co.id--Berbicara tentang Sastra Indonesia Masa Kini dan Masa Depan Kesusastraan Indonesia, tentunya berkaitan erat dengan para pelaku sastra itu sendiri.

Untuk lebih sederhananya, kita sebaiknya kembali pada arti yang sesungguhnya apa sebenarnya sastra serta adakah manfaatnya bagi kehidupan kemanusiaan di jagat raya ini, khususnya manusia yang sekarang menghadapi era globalisasi dan peliknya masalah hidup dan kehidupan.

Di dalam tulisan dari Gramedia Blog, Kata “Sastra” dalam Bahasa Indonesia, sebenarnya mengambil istilah dari bahasa Sansekerta yaitu “shastra”.

Baca Juga: Beragam Manfaat dari Buah Semangka Bagi Tubuh

Kata “sas” memiliki makna instruksi atau pedoman, dan “tra” berarti alat atau sarana. Dalam pemakaiannya, kata “sastra” sering ditambah awalan su sehingga menjadi susastra.

Awalan su tersebut memiliki makna baik atau indah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kata “susastra” berarti hasil karya yang baik dan indah.

Sebelumnya, telah banyak ahli sastra yang menyampaikan pendapatnya mengenai pengertian dari sastra, contohnya dalam buku Teori Sastra karya Michael Ryan.

Baca Juga: Pernyataan Pers PWI, Prihatin Memburuknya Situasi Penyerangan Israel ke Palestina, Tercatat 36 Wartawan Tewas

Menurutnya bahasa yang dipakai dalam karya sastra dibelokkan dan dibentuk dari bahasa yang umum digunakan. Pembelokan dan pembentukan inilah yang disebut teoritis sebagai bentuk.

Pembelokan dalam cara memandang dan memahami karya sastra akan membuat sastra akan menggugah kembali indra kita.

Sedangkan untuk memahami apa yang dimaksud dengan struktur di dalam kesusastraan, ada yang dinamakan kerangka tubuh.

Baca Juga: SP4N LAPOR! Diskominfo Depok Gelar Workshop yang Diikuti Pejabat Penghubung dan Operator

Di dalam suatu penulisan karya sastra kerangka tubuh sangatlah penting. Suatu karya sastra memiliki struktur yang tidak pernah tampak, tapi membuat karya sastra tersebut masuk akal dan bisa berfungsi sebagai karya sastra.

Pengertian tentang sastra ini diperkuat oleh Sumardjo dan Saini (1997, hlm 3) yang berpendapat bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, dan semangat serta keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.

Mengapa bentuknya dapat berupa imajinasi atau justru data real secara bersamaan? Karena di sana terdapat jenis sastra non-imajinatif atau non-fiksi.

Baca Juga: Depok Waspada Cacar Monyet, Dilaporkan Sudah Ada 5 Kasus

Kategori ini mengambil data real berupa berita atau sejarah, lalu mengemasnya dalam tulisan estetis agar lebih menggugah pembacanya.

Setelah booming dan melesatnya era media sosial dengan menjamurnya media online, seperti Youtube, Tik Tok, Instagram, Twitter dan lain sebagainya, perkembangan sastra di era kertas koran, mulai mengalami penyusutan.

Meski demikian, geliat sastra masih terlihat cerah dengan diadakannya beragam lomba sastra seperti penulisan cerita pendek, penulisan puisi, lomba baca puisi, lomba penulisan esai, pentas teater dengan memakai naskah-naskah sastra dari para penulis terkenal, peluncuran buku dan dimuat serta dicetaknya beragam karya literasi di berbagai media online dan beberapa media cetak.

Baca Juga: Depok Waspada Cacar Monyet, Dilaporkan Sudah Ada 5 Kasus

Keseriusan dan semangat para penggiat sastra dalam hal ini literasi untuk turut berlomba dalam memperkenalkan karya-karya para peserta baik di tingkat sekolah mulai dari SD, SMP, SMA dan universitas, menggambarkan betapa seriusnya mereka untuk maju hingga ke tingkat nasional maupun internasional.

Namun sayangnya, di tengah pesatnya kemajuan untuk memperluas dan mencintai apa yang ada dan terjadi di dunia sastra, perhatian pemerintah terhadap pelaku sastra dan karya mereka itu sendiri masih belum terlihat serius, seperti yang dilakukan negara luar khususnya ASEAN.

Perhatian itu mencakup beberapa hal. Yaitu, tentang kehidupan para sastrawan, dan penghargaan terhadap karya-karya yang mereka buat, di mana kebanyakan dari karya-karya itu mereka cetak dan jual sendiri di dalam sebuah aktivitas disebut indie atau independen.

Baca Juga: Hoaks! Jembatan Parung Serab Roboh Diterjang Arus Deras Kali Ciliwung, Ini Kata Dinas PUPR Depok

Tak jarang bahkan ada pelaku sastra yang sudah puluhan tahun menggeluti dunia ini serta memiliki nama besar yang dikenal hampir di seluruh jagat sastra Indonesia juga negara tetangga.

Di usianya yang ke delapan puluh tahun, masih terseok-seok mencari penghidupan dari sastra dengan cara menjadi juri pembacaan puisi, menjadi pembicara, dan mengirimkan karya-karyanya ke berbagai media, di mana notabene media yang lebih banyak online tersebut, banyak yang tidak mampu memberikan honor.

Semua itu dilakoni sang sastrawan yang terus berkarya demi untuk menjalani kehidupan kesehariannya.

Baca Juga: Baznas Depok Lakukan Penggalangan Dana Kemanusiaan Palestina

Bagi penggiat literasi dengan pekerjaan tetap sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), dosen atau pegawai swasta dengan gaji rutin perbulannya, atau para pensiunan yang masih menerima pensiun bulanan, itu tidak masalah.

Mereka bisa melenggang tanpa beban untuk lebih merdeka dan serius menekuni dunia sastra yang mereka cintai. Kemerdekaan tanpa dibebani oleh masalah teknis kehidupan keseharian, bukan lagi menjadi hal yang utama.

Karena apabila masalah finansial sudah tercukupi, maka dengan demikian mereka bisa berkarya dengan serius.

Baca Juga: Gratisan, Anugerah Piala Citra FFI 2023 akan Disiarkan langsung di kanal YouTube dan Instagram

Sedangkan mereka yang berjuang di dunia sastra dengan julukan ‘grass road’ yaitu menjalani kehidupan bersastra dengan kegigihan dan militansi yang berbaur dengan harapan akan adanya perhatian dari penguasa.

Ia akan bertanya pada diri sendiri, “bila karya sastraku belum dimuat di media massa, dengan apa anak serta istriku bisa makan?”

Tanya itu hampir memenuhi benak setiap pelaku sastra yang berada di jalur fanatisme idealis yang semakin kokoh memberikan rasa cinta pada dunia yang mereka tekuni.

Baca Juga: Kaya Manfaat, Semangka Dapat Digunakan Untuk Kecantikan Kulit Wajah

Ibarat menunggu Godot, mereka terus bereksperimen dengan karya-karya sastra bersama harapan dengan wacana yang terkadang semu yang ada di hadapan.

Cinta dan empati mereka terhadap dunia sastra di Indonesia tak pernah pupus. Kegiatan sastra yang diadakan baik oleh dana pribadi perorangan atau patungan dari sebuah grup sastra kerap terjadi.

Memang ada perhatian dari Pemda setempat, namun perhatian itu tidak seperti yang diharapkan oleh para penggiat sastra.

Baca Juga: Tips-tips dalam Membeli Pakaian Thrift

Para penggiat sastra pun tak bisa memaksa Pemda untuk selalu membantu dan memperhatikan mereka.

Minimnya perhatian baik itu berupa dana untuk menerbitkan buku, transportasi mengikuti berbagai kegiatan sastra di tingkat nasional juga internasional, dan keberlangsungan kehidupan para sastrawan itu sendiri, sangat berpengaruh di dalam membangun spirit mereka untuk berkarya serta memperkenalkan sastra kepada generasi muda, khususnya para pecinta sastra.

Tentang kualitas penciptaan dari sebuah karya sastra, hal itu juga tergantung dari perjalanan waktu, keseriusan dan pengalaman di dalam membuat sebuah karya sastra.

Baca Juga: Depok Waspada Cacar Monyet, Ini Gerak Cepat yang Dilakukan Dinkes

Kualitas dari sebuah karya sastra berpengaruh pada masa depan kesusasteraan di Indonesia. Hal ini juga akan memberikan privilege pada penilaian dari sebuah karya sastra yang ada di Indonesia.

Kualitas karya memberikan imbas yang luas bagi perkembangan sastra di Indonesia juga dunia. Penghargaan seperti Nobel yang menjadi impian dari semua negara di dunia, menjadi sebuah pencapaian yang diinginkan seluruh penggiat sastra di seluruh manca negara.

Dahulu di Indonesia digadang-gadang Pramudya Ananta Toer yang akan memperoleh hadiah tersebut. Namun hal itu belum terjadi.

Baca Juga: Viral! Diet Semangka untuk Menurunkan Berat Badan yang Harus Kamu Ketahui

Berkaitan dengan sebuah karya sastra, pada bukunya yang berjudul Sastra, Perempuan, Seks, Katrin Bandel seorang penulis perempuan asal Wuppertal, Jerman berkata bahwa di antara karya sastra yang terbit beberapa tahun belakangan ini di Indonesia, cukup banyak karya yang menarik yang kurang atau tidak mendapat sambutan dan penghargaan, sedang karya lain yang menurutnya biasa-biasa saja malah diangkat-angkat karena sesuai dengan tren.

Yang sangat ia sesalkan adalah, betapa banyak di antara mereka yang memiliki pengaruh dan kekuasaan dalam dunia sastra Indonesia, organisasi serta institusi sastra, dan para pengamat serta kritikus mencari sensasi yang malah justru memilih berpartisipasi dalam penciptaan mitos dan penilaian yang tidak adil.

Apa yang dituliskan Katrin Bandel, sangat erat kaitannya dengan perempuan. Namun hal itu berkaitan erat pula dengan sastra. Sebab apabila ada pengkotak-kotakan di dunia sastra itu sendiri, maka sastra Indonesia akan sulit untuk bersaing dengan sastra dunia yang mana pemerintahnya sangat memperhatikan keberadaan dunia sastra dalam hal ini literasi di negeri mereka.

Baca Juga: Sambut Kepala Kejari Depok yang Baru, Mohammad Idris Ucapkan Selamat Datang

Kantong-kantong sastra di berbagai provinsi di Indonesia, seyogyanya kian menjadi pusat perhatian dari pemerintah. Fokus sasaran yang dituju adalah generasi muda yang berada di era milenial ini.

Mereka yang akan membawa perkembangan di dunia sastra Indonesia ke depannya. Sebab sastra dan generasi milenial mulai menghadapi degradasi budaya yang erat kaitannya dengan kemajuan teknologi.

Generasi milenial yang lebih menyukai Handphone mereka, banyak yang tidak mengerti apa itu sastra, khususnya yang berkaitan dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

Baca Juga: Azizah Salsha Bikin Sensi Warganet, Kenapa Emangnya?

Sastra Indonesia mulai berjalan tidak perkasa. Rasa euphoria yang menggebu dari pecinta sastra lebih kerap dihadiri oleh penggemar sastra yaitu dari dia dan untuk dia saja.

Padahal sesungguhnya, di dalam ruh sastra ada empati, keluhuran budi, rasa kasih sayang pada sesama, orang tua dan saudara bersaudara serta negara.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Ekonomi Kreatif seyogyanya lebih peduli lagi akan sastra dan dunia literasi itu sendiri, khususnya di tengah arus globalisasi di mana sekali ‘klik’ mata telah tertuju pada ragam sajian visualisasi di layar gadget yang dikehendaki oleh si pemilik.

Baca Juga: 'Sedang Naik Daun', Ini Deretan Drama Korea Populer yang Diperankan Choi Hyun-Wook

Sastra Indonesia Masa Kini dan Masa Depan Kesusastraan Indonesia tergantung kepada keinginan, aktivitas dari rasa cinta pelaku sastra itu sendiri.

Keseriusan pemerintah di dalam memantau dan memberikan perhatian pada seluruh pelaku sastra baik itu di dalam grup-grup sastra yang ada di seluruh Indonesia, harus semakin ditingkatkan.

Sudah semestinya ada hubungan yang sinergis antara sastrawan dengan pemerintah. Dan hubungan itu tidak hanya dilihat melalui sebuah nama besar perorangan, lembaga sastra yang telah memiliki nama dan modal yang kuat, namun pemerintah serta pihak swasta yang memiliki empati pada seluruh kegiatan sastra, juga pelaku sastra itu sendiri bisa menampung sekaligus memberikan bantuan yang layak untuk mereka.

Baca Juga: Jangan Sampai Salah! Yuk Cari Tahu Perbedaan Sepatu Vans Ori dan KW

Sebab, ketika karya-karya mereka berbicara di tingkat dunia, maka mereka adalah para pelaku sastra yang turut memberikan sumbangan besar pada negara kita tercinta Indonesia melalui karya-karya mereka yang telah diperhitungkan kualitasnya.

Kata adalah cerminan dari sisi intelektualitas manusia. Dengan menulis dia menjadi ada dan mencerdaskan banyak orang.

*Penulis merupakan wartawan senior dan juga novelis, tinggal di Kota Depok.

.