Galeri

Buku "Jejak Penyair 1970-an", Memuliakan yang Tiada dan Memantik yang Muda

Empat Penyair yang berjaya di tahun 1970-an dan masih suka kongkow. Searah jarum jam: Handrawan Nadesul, Prijono Tjipto Herijanto, Adri Darmadji Woko, dan Kurniawan Junaedhie.

RUZKA REPUBLIKA – Masa muda adalah masa penuh gaya dan gairah. Semua orang pernah melalui masa muda. Juga penyair.

Lalu, bagaimanakah gaya dan gairah berkarya penyair di era 1970-an? Siapa sajakah mereka? Dalam latar peristiwa sosial, politik, dan budaya macam apakah mereka tumbuh dan berkarya?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Seorang penyair dan jurnalis, Kurniawan Junaedhie (KK) menjawab pertanyaan itu dalam sebuah buku bertajuk cukup panjang, "Sebuah Nostalgia Budaya, Jejak Langkah Penyair Muda 1970-an dan Pusaran Zaman".

Baca Juga: RSUI Bersama Dosen Vokasi UI Lakukan Kolaborasi Edukasi, Inovasi Kursi Duduk Khusus untuk Anak Cerebral Palsy

Dari berbagai sumber kepustakaan, ia mengumpulkan dan mencatat berbagai artikel peristiwa sastra berikut kiprah tokoh penyair/sastrawan yang eksis di era 1970-an itu.

Menurut KJ, demikian sapaan akrab lelaki kelahiran Purwokerto ini, buku ini menggambarkan kiprah penyair pada situasi dan kondisi era 70-an pasca tumbangnya Orde Lama.

Buku ini, menurut KJ, menggambarkan eforia di zaman orde (lama), ketika politik sudah tidak jadi panglima dan kaum urban menyerbu Jakarta.

Tak terkecuali para sastrawan hijrah ke Jakarta untuk mengadu nasib.

Baca Juga: BAZNAS Serahkan NPWZ ke RSUD KiSA Depok, Dekatkan Pelayanan Zakat dengan Masyarakat

"Karena di Jakarta ada majalah Horison, Taman Ismail l Marzuki, dan lain-lain," kata KJ menyebut beberapa daya tarik Jakarta di mata penyair kala itu, dalam percakapan dengan RUZKA REPUBLIKA, pekan ini.

Menurut pengelola penerbit buku-buku sastra KosaKataKita itu, terdapat ratusan nama penyair yang dicatat berdasarkan karyanya yang dimuat di koran/majalah era itu.

"Itulah yang disebut era sastra koran/majalah sesungguhnya," ungkapnya.

Di dalam buku ini pembaca juga dapat menemukan artikel polemik-polemik sastra yang muncul saat itu.

Baca Juga: Wujudkan Masyarakat Indonesia Merdeka Finansial, STAR Asset Management dan DANA Hadirkan Investasi Reksa Dana

Misalnya pertikaian penyair Jakarta dan daerah, peranan majalah Horison yang mengklaim sebagai "pembaptis" penyair, kritik sastra Rawamangun versus ganzhet, munculnya gerakan puisi mbeling Remy Stylado, juga profil-profil singkat penyair-penyair yang dilupakan.

Bagi KJ, semangat yang melatari penerbitan buku ibarat peribahasa menegakkan benang basah. Karena banyaknya jejak kiprah para penyair lama yang harus diabadikan dan diketahui pemulia sastra dewasa ini.

Banyak di antara penyair yang sudah berpulang, ada juga yang masih hidup tapi sudah ganti profesi dan tidak berkarya.

Baca Juga: BPIP Harus Dievaluasi Walau Paskibraka Putri Telah Dibolehkan Pakai Jilbab di HUT RI di IKN

"Bagi yang masih berkarya, buku ini diharapkan suntuk memotivasi agar terus menulis," tegasnya.

Dari sisi pasar, KJ terus terang bahwa pada awalnya dia pesimis karena segmen yang disasar sangat kecil. Namun belakangan pemintaannya lumayan bagus.

"Mereka yang berminat tak hanya penyair-penyair lama yang namanya tercantum untuk bernostalgia, tetapi juga teman-teman (penyair) baru yang ingin tahu dinamika sastra tempo dulu," ungkap KJ.

Baca Juga: IGC Menguak Gastronomi Istana Negara Republik Indonesia dari Masa ke Masa

Bagi para pemangku pebijakan, lanjutnya, buku ini bisa jadi panduan tentang peta kesusatraan Indonesia di masa kejayaannya, ketika hegemoni Taman Ismail Marzuki, kota Jakarta, dan majalah sastra Horison masih perkasa.

Menyinggung kriteria penyair yang masuk ke dalam buku ini, jelas KJ, sederhana saja. Yakni, semua nama-nama yang pada era itu karyanya malang melintang dan menghiasi suratkabar, koran, atau majalah.

"Itu saja kriterianya. Saya bagi per provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur/Madura, Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan NTB.

Baca Juga: IGC Menguak Gastronomi Istana Negara Republik Indonesia dari Masa ke Masa

Suara yang tak diucapkan

Bagi kritikus sastra Maman S Mahayana, terbitnya buku ini menjadi catatan penting di saat menjelang pergantian zaman.

"Buku ini menjadi catatan yang selama ini menjadi suara yang tak terucapkan! Pergolakan sastra Indonesia tahun 1970-an yang remang-remang, bahkan agak gelap, kini seperti memperoleh lampu senter," tulisnya dalam testimoni di buku itu.

Sedangkan Handrawan Nadesul, penyair senior dan dokter, menyebut buku ini tidak muluk-muluk. Tapi semua orang, setiap pemerhati, peminat, dan pekerja sastra perlu tahu, bahwa ada sesuatu pada masa era 70-an itu," ungkapnya.

Baca Juga: Depok Gandeng UI Kenalkan Robotik ke Anak Inklusi, Tanamkan Budaya Media Art

Mungkin, katanya, sesuatu itu adalah sebuah kebangkitan bersastra, dan belum ada yang menghimpun babak kesusastraan nasional untuk era itu.

Yang ditulis buku ini, harus dicatat, harus dibuat abadi, setidaknya untuk khazanah sastra kita, sastra nasional, yang belum tentu semua pelaku sastra pada masa itu ngeh, ternyata kegiatan sastra segelimang itu pada era 70-an itu," ulasnya.

Penyair senior lainnya, Adri Darmadji Woko, menilai buku ini berguna, terutama untuk menjadikan rumah ingatan tentang kesastraan/literasi kita pada setengah abad lalu, yang sebelumnya semuanya seakan tersapu dengan adanya literasi digital zaman now.

Baca Juga: Hari Kemerdekaan = Hari Promo se-Indonesia, Yuk Simak Promo Seru yang Berlaku di 17 Agustus Ini!

"Buku ini merupakan babon untuk membuka album lama literasi di negeri ini," pungkas salah seorang peraih Anugerah Buku Puisi Hari Puisi Indonesia 2022 itu. (***)

Penulis; Herman Syahara