FKUI Kembangkan Inovasi Layanan Bedah Tangan Tanpa Turniket
ruzka.republika.co.id--Guru besar tetap bidang Ilmu Bedah Plastik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. Dr. dr. Theddeus O. H. Prasetyono, Sp.B.P.R.E., Subsp.T.(K) menyampaikan pidato pengukuhan guru besar tetap yang berjudul “Bedah Tangan Tanpa Turniket Sebagai Model Pengembangan Inovasi Layanan Bedah untuk Kesiagaan Layanan Unggul Bersaing” di Kampus UI Salemba Jakarta, Sabtu (07/10/2023) lalu.
Prof Theddeus mengatakan, selama ini operasi tangan dan tungkai atas biasa dikerjakan dengan bantuan turniket (tourniquet atau tali pembendung, biasanya dibuat dari karet sintetis yang bisa meregang), melalui pemasangan manset yang menjerat lengan atas dengan tekanan tinggi untuk menghentikan aliran darah ke arah ujung tangan.
"Tetapi, penggunaan turniket mengakibatkan efek iskemia akibat dihentikannya aliran darah ke seluruh jaringan bagian distal dari manset. Di sisi lain, pengembangan teknik tumescent yang memanfaatkan obat epinefrin dalam suntikan bercampur dengan obat bius lokal lidokain, dapat menggantikan turniket, sehingga tidak terjadi efek iskemia pada jaringan," kata Prof Theddeus dalam siaran pers yang diterima, Rabu (11/10/2023).
Baca Juga: Tips Mudah Menjaga Kesehatan Mental, Salah Satunya Kontrol Emosi
Saat ini, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta—FKUI telah mengembangkan aplikasi operasi tangan dan tungkai atas tanpa turniket dikerjakan dengan indikasi yang diperluas.
"Kala itu dilakukan operasi turniket pada anak yang tergolong cukup mengejutkan bagi publik bedah, mengingat masih dipegang kuatnya keyakinan bahwa vasokonstriktor, seperti epinefrin dilarang untuk disuntikkan ke dalam jari yang dikenali sebagai end arterial organ. Namun, sebenarnya epinefrin aman untuk jari. Terlebih lagi, jaringan yang dibuat menggembung oleh karena infiltrasi cairan tumescent justru memungkinkan penambahan lebar batas aman untuk diseksi jaringan agar tidak terjadi cedera struktur-struktur penting,” jelas Prof Theddeus.
Lebih lanjut Prof Theddeus menjelaskan, RSCM Jakarta—FKUI juga menghadirkan larutan tumescent dengan menggunakan cairan one-per-mil yang memiliki kandungan epinefrin dalam konsentrasi 1: 1.000.000.
Baca Juga: Pusat Forensik Terintegrasi UI Gelar Diskusi Strategis Kasus Kopi Jessica: Kita Belajar Apa?
Konsentrasi epinefrin ini adalah konsentrasi terendah yang digunakan dengan efektivitas tinggi untuk menggantikan peran turniket. Demikian pula dengan obat bius lokal lidokain yang terkandung di dalamnya hanya sebesar 0,2%.
Berawal dari penelitian yang memanfaatkan flap kecil pada subjek hewan yang merepresentasikan flap perforator, larutan one-per-mil berhasil menjadi “senjata” yang ampuh di tataran pekerjaan klinis sejak 2010.
Selain itu, keberadaan lidokain ini memungkinkan operasi dikerjakan dengan kondisi pasien sadar penuh.
Baca Juga: PPM UI Gelar Seminar Budaya Literasi Finansial DKM Kota Depok
Full Awake Hand Surgery (FAHS) merupakan pendekatan teknik tumescent tanpa turniket untuk operasi dengan pasien sadar penuh untuk kondisi-kondisi klinis tangan dan tungkai atas.
Misalnya, luka robek disertai putus urat atau tendon fleksor dan ekstensor, fraktur tulang dan dislokasi sendi, cedera saraf, cedera ujung jari, amputasi jari tangan, benjolan ganglion atau tumor dll yang dalam kelaziman praktik kedokteran dikerjakan dengan bius umum atau bius regional (blok).
Penggunaan cairan tumescentone-per-mil dapat menghasilkan lapangan operasi jernih serta efek bius lokal yang adekuat.
Kehadiran FAHS telah mengubah praktik operasi secara dramatis dengan simplifikasi operasi tanpa bius umum atau blok sehingga pasien tidak perlu menjalani semua tes saringan persiapan bius umum.
Pasien juga tidak perlu mengalami mual, muntah, dan berbagai efek samping akibat penggunaan sedasi (bius umum) dan opioid. FAHS menjadikan “ongkos produksi operasi” menjadi lebih murah karena tidak diperlukannya kamar operasi utama dan cukup kamar operasi poliklinis.
Baca Juga: KPU Kabupaten Bogor Mulai Mendata Daftar Pemilih Tambahan
Dengan demikian FAHS memungkinkan berbagai operasi ditransformasi menjadi operasi berbasis layanan ODC (one day care) atau office-based surgery. FAHS juga dapat menurunkan kebutuhan full sterility menjadi field sterility sehingga produk buang (waste product) pekerjaan operasi berkurang.
Selain itu, FAHS juga aman bagi pasien-pasien dengan kondisi komorbid karena tidak memerlukan sedasi dan bius umum. Hal ini sejalan dengan adagium less sedation is safer than more sedation sehingga the safest sedation is no sedation. Diperkirakan dalam 1-2 dekade mendatang, sebagian besar operasi bedah tangan akan dikerjakan dengan mode FAHS.
Layanan FAHS dapat ditempatkan sejalan dengan perkembangan layanan bedah plastik estetik. Prosedur FAHS dengan berbagai keunggulannya sebagai sekedar contoh atas semua layanan kedokteran, perlu disampaikan dan dikerjakan dengan prima.
"Prima dalam layanan disertai kesadaran bersama untuk menghasilkan kepercayaan dan kepuasan pasien. Prosedur FAHS yang dikerjakan oleh dokter yang komunikatif dengan full engagement bersama pasien dapat menghasilkan kenyamanan dan diharapkan memberikan kepuasan tingkat tinggi,” papar Prof. Theddeus.
Prof Theddeus telah menamatkan pendidikan dokter di FK Universitas Arilangga pada 1991. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya di FKUI dan berhasil lulus sebagai Dokter Spesialis Bedah Plastik, Rekonstruksi, dan Estetik pada tahun 2000. Di kampus yang sama, ia lulus pendidikan Doktor Ilmu Kedokteran pada 2018.
Beberapa karya ilmiahnya telah dipublikasikan, di antaranya berjudul The impact of the Covid-19 pandemic on reconstructive education and practice: a qualitative study of Indonesian surgeons (2023); A randomized controlled trial: Comparison of one-per-mil tumescent technique and tourniquet in surgery for burn hand contracture in creating clear operative field and assessment of functional outcome (2022); dan Cutaneous perforators and their clinical implications on intrinsic hand flaps: A systematic review.