Kebangkitan Nasional, Keragaman Suku Indonesia Wariskan Nilai Kepemimpinan Nasional
RUZKA REPUBLIKA -- Kebangkitan Nasional Indonesia yang dipelopori kaum terpelajar menjadi sarana kristalisasi nilai-nilai kepemimpinan.
Menurut Plt. Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Ir. Dedi Priadi, DEA, beragam nilai kepemimpinan daerah terkristalkan dan diwariskan menjadi nilai kepemimpinan di Indonesia.
Untuk itu, UI sebagai institusi pendidikan tinggi, berperan dalam mengedukasi dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan kepada seluruh lapisan masyarakat.
Baca Juga: Warga Sukamaju Depok Dapat Edukasi Terapi Pencegahan TB
Pernyataan Prof. Dedi tersebut disampaikan pada acara Sarasehan Budaya yang diselenggarakan Makara Art Center (MAC) UI, Senin (20/05/2024) lalu, bertepatan dengan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional.
Acara ini menghadirkan para narasumber yang mengulas topik kepemimpinan Jawa-Bali dan Bugis-Makassar-Melayu. Beberapa di antaranya adalah Guru Besar Antropologi UI, Prof. Dr. Amri Marzali; Dosen Program Studi Indonesia UI, Dr. Syahrial, S.S., M.Hum.; Dosen Program Studi Filsafat UI, Dr. LG. Saraswati Putri; Ketua Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama (NU), K.H. M. Jadul Maula; dan Seniman Senior, Toni Junus.
Pada kesempatan itu, Dr. Saraswati atau yang akrab disapa Yayas menggunakan Nitisastra untuk memaparkan konsep kepemimpinan Bali.
Baca Juga: Warga Kelurahan Kemiri Muka Depok Bentuk Bank Sampah
Kakawin Nitisastra yang disusun berdasarkan ajaran Weda menganjurkan kematangan spiritual seorang pemimpin, di samping posisinya sebagai tokoh politik.
Terdapat dua sifat yang bisa mencerminkan kematangan spiritual ini, yakni pandai dan berempati. Sementara itu, Toni Junus menyebut bahwa ada tiga jenis pemimpin dalam budaya Jawa, yaitu nistha (buruk), madya (cukup baik), dan utama (bijaksana).
“Seorang pemimpin diharapkan menjadi pemimpin utama yang bijaksana. Namun, ada dua tipe kepemimpinan yang selalu hadir, yakni hegemonik dan egaliter. Keduanya dibedakan melalui efek domino kepemimpinannya terhadap situasi politik. Umumnya, kepemimpinan hegemonik menyebabkan lunturnya demokrasi, sedangkan kepemimpinan egaliter memperkuat demokrasi,” ujar Toni Junus.
Baca Juga: Kelurahan Abadijaya Depok Gelar Rembuk Stunting, Upaya Percepatan Pencegahan dan Penurunan Stunting
Sebagai contoh kepemimpinan Jawa yang bijaksana dan sakti, Jadul Maula menjelaskan Kisah Panji. Panji dikenal secara luas di Nusantara, mulai dari Sumatra, Sulawesi, Malaka, hingga Pattani.
Bentuk paling umum dari kisah ini adalah seorang pangeran yang mengembara untuk memperoleh solusi atas permasalahan di istana. Melalui pengembaraan ini, pangeran bertemu langsung dengan masyarakat dan pemuka agama, sehingga tumbuh rasa cinta kepada rakyatnya.
Selain konsep kepemimpinan Jawa-Bali, pada diskusi tersebut, juga diulas kepemimpinan dalam budaya Bugis-Makassar-Melayu.
Baca Juga: UI Jadi Perguruan Tinggi Peraih Penghargaan Terbanyak di ONMIPA PT 2024
Prof. Amri menjelaskan sistem stratifikasi sosial di masyarakat Bugis yang cenderung terbuka menerima pemimpin dari kalangan Maradeka (rakyat biasa).
Maradeka bisa menjadi pemimpin jika memenuhi satu dari empat kriteria, yaitu agamawan, orang kaya, tentara, atau pakar/ahli dalam suatu bidang.
“Seorang pemimpin Bugis-Makassar harus memiliki karakter, di antaranya jujur, pandai, pantas, taat kepada hukum, pekerja keras, dan mampu menjaga kehormatan diri. Aturan lebih baku terkait kepemimpinan ini tersusun dalam Pangadereng yang disebut-sebut sebagai salah satu konstitusi paling awal di Nusantara,” jelas Prof. Amri.
Yang menarik, konsep kepemimpinan Bugis-Makassar ternyata tidak jauh berbeda dengan Melayu. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Syahrial yang menyebut bahwa pada dasarnya seorang pemimpin harus berintegritas dan setia terhadap kehormatan posisinya.
Melalui disertasinya tentang kepemimpinan masyarakat Melayu Lampung, Dr. Syahrial menemukan adanya dua pola kepemimpinan dalam masyarakat tersebut.
Pertama, masyarakat pesisir atau lebih dikenal dengan Saibatin biasanya memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan. Meski demikian, terdapat Sumpah Saibatin yang harus dijaga oleh pemimpin.
Jika pemimpin tidak setia terhadap rakyatnya, ia akan kehilangan marwahnya. Kedua, masyarakat pedalaman atau Pepadun. Kelompok ini tidak menjadikan keturunan sebagai dasar untuk memilih pemimpin. “Selama orang itu memiliki kecakapan, dia bisa menjadi pemimpin,” jelas Dr. Syahrial. (***)