Cerpen Fanny J Poyk, Aku, Kau dan Kopi
Aku, Kau dan Kopi
Oleh Fanny J. Poyk*
ruzka.republika.co.id--Kau tahu persaingan kita tak pernah tuntas. Aku dan kau adalah dua rival yang tegas bila berhadapan, namun rindu selalu muncul kala kita berjauhan.
Kita punya mimpi yang sama, memenangkan persaingan dalam bisnis yang kakek kita rintis. Mereka telah memulainya sejak kita masih di awang-awang. Kakekmu dengan toko kecilnya berdiri di awal tahun yang sama dengan tahun didirikannya warung kopi depan rumah kakekku.
Mereka dua orang tua yang tak pernah mengenal kata lelah untuk menenangkan ambisi bisnisnya, mereka sama seperti kita. Ambisius dan serakah.
Dua bisnis rumahan itu saling berhadapan, dua-duanya memberikan suguhan yang sama, dua-duanya menjadi musuh bebuyutan yang tak pernah tuntas hingga kita muncul ke dunia. Aku dan kau melebur bersama biji-biji kopi yang mereka kumpulkan di gudang-gudang tersembunyi rumah tua mereka.
Baca Juga: KONI Kota Depok akan Jalin Kemitraan Dibidang Kehumasan dengan PWI
Dua manusia itu telah melebarkan sayap dalam bentuk yang lebih elegan dan merasuk hingga ke bisnis internasional dengan skala besar. Rahasia yang mereka simpan begitu tertutup rapat. Dua mahluk tua itu, saling mengintai, saling meracik dan saling curiga.
Mereka saling tersenyum bila berpapasan, namun di saat yang bersamaan mereka saling mencari tahu keberadaan pelanggan masing-masing, mencari tahu seberapa besar omset yang telah dihasilkan. Siapa di antara para pelayan yang berani membelot, tak ada ampun bagi mereka. Kedua lelaki tua itu tak akan pernah memberikan pinjaman uang lagi, meski itu pinjaman lunak sekali pun.
Mereka akan mengusir siapa saja yang berbuat curang, mereka mengusirnya seperti anjing buduk yang tak pernah punya harapan lagi. Mereka manusia-manusia gigih yang membuat kopi menjadi lebih bermakna. Mereka adalah kakekmu dan kakekku!
Baca Juga: FEB UI Kaji Peran Pemasaran Islam Sebagai Disiplin Ilmu Baru dalam Pengembangan Industri Halal di Indonesia
Kini yang ada kau dan aku. Dua mahluk tua itu telah terbang di awan-gemawan, entah mereka membawa naluri bisnis kopi mereka di sana atau tidak, kau dan aku tak pernah tahu. Kita penerus yang mengemban amanah dari mereka. Aku terdidik untuk mengintai, dan kau pun demikian.
Kita saling menyembunyikan rahasia, rahasia dalam aroma kopi yang berbalut dengan cinta dan persaingan. Kau mengintip dengan penciuman melalui para kaki tanganmu dan aku mengendus apa saja perkembangan terbaru yang kau ciptakan melalui rumusan-rumusan baru yaitu teori untuk memecahkan aroma kopi menjadi aroma baru yang mengguncang bisnis kakek-kakek kita. Itulah yang terjadi kini.
Geliat dan nafsu kita untuk menjadi pemasok kopi yang terbaik tak pernah pupus. Dan di saat yang bersamaan, nafsu libido kita tak bisa tertahankan lagi, aku jatuh cinta padamu dan kau pun demikian. Namun, demi kopi, semua kisah kita berjalan tanpa arah, tujuan yang kita rancang melalui pertemuan-pertemuan singkat yang menggebu, selalu berakhir dengan persaingan dan kecurigaan.
***
“Aku tak bisa menerima pinanganmu.” Ujarmu ketus. “Aku tak mau ada mata-mata di antara kita, itu alasannya.”
“Mata-mata apa?” tanyaku.
“Keluargamu. Aku tahu mereka menginginkan rahasia tersembunyi dalam meracik kopi yang dimiliki keluargaku. Itu salah satu sebab mengapa aku terus memikirkan kelanjutan hubungan kita.”
“Tapi…orangtua kita kan sudah setuju?”
“Ya di depanmu, di belakang mereka memiliki kecurigaan yang sama.”
“Apakah benar begitu?”
“Kita lihat saja nanti.”
Akhirnya pembatalan sepihak itu benar-benar terjadi. Aku terpaksa mengikuti alurmu. Cinta yang membludak itu terlebur oleh kepentingan bisnis dari masing-masing keluarga kita. Kau aman dengan rahasiamu dan aku pun demikian. Aku juga tak mau menjadi lelaki pecundang, yang mencoba mengorek rahasia dengan dalih cinta. Ya, kau memang cerdas, bisa menangkap gelagat itu dengan jitu. Kau memiliki hati sekeras batu, mampu menutup cinta yang telah kita jalin selama delapan tahun dengan wajah datar sedingin es, tak ada kesedihan di situ. Kau kemudian berubah menjadi orang asing bagiku. Aroma kopi telah menutupi segalanya.
Baca Juga: Dinkes Kota Depok Gelar Sosialisasi Manajemen Kegawatdaruratan Psikiatri ke Dokter dan Perawat
Tiga bulan kemudian.
Kau muncul dengan produk barumu. Beragam jenis kopi itu kau hasilkan atas nama Warung Kopi Melati yang berdiri anggun persis di samping rumah toko yang kau beli.
Ada jenis kopi dengan nama Excellence, kau meraciknya dari biji kopi yang besar-besar, mulus, bersih, terpilih dan baik. Aroma kopi itu wangi dan rasanya kuat. Menurut pelayan sekaligus mata-mataku, khasiat yang ditimbulkan memberi efek segar, bagi yang belum biasa minum kopi itu akan merasakan efek panas dan dapat membuat wajah menjadi merah.
“Kopi itu memang benar-benar hebat Tuan. Setelah saya minum terasa sedikit pusing, tapi ketika beberapa kali mencobanya, tubuh saya jadi kuat dan saya bertambah semangat untuk bekerja.” Ujar pelayanku dengan raut meyakinkan.
Pernyataan itulah yang akhirnya membuat aku cemas. Peredaran kopi Excellence yang demikian pesat dapat menurunkan ekspor kopiku, pelanggan akan beralih ke kafemu. Dan kau duduk dengan manisnya memperhatikan pembeli yang datang dan pergi.
Baca Juga: Musim Kemarau, Pemkot Depok Gelar Sholat Istisqa, Begini Tata Caranya
Cinta memang benar-benar telah memudar dari wajahmu, aroma kopi kian menghapus rasa itu. Maka untuk menandinginya, kubuat kopi tandingan yang kuberi nama Kopi Jantan. Kopi ini memiliki kadar kafein yang cukup tinggi sebab biji-biji kopi yang membungkus di dalamnya sangat kuat, aku berharap kau terpesona dengan produk yang kuhasilkan, persaingan terselubung jelas mulai terlihat.
Kopi yang kuracik membuat kafein itu utuh dan memiliki kadar yang tinggi. Dan pembeli berdatangan, lalu kau pun meradang. Kau tahu kopi racikanku hampir menandingi Kopi Exelllence milikmu.
“Apa-apaan ini?” ujarmu ketika kau mampir ke coffee shopku. “Mengapa kau menciptakan kopi yang aromanya hampir sama dengan ciptaanku? Kau ini, sudah kutolak cintamu masih saja membuat ulah!” ujarmu sembari menggebrak meja.
“Apa yang salah? Kita kan bersaing secara sehat. Aku memiliki nama sendiri untuk kopiku!” sahutku tenang.
Baca Juga: Segera Lapor Jika Ada Bansos di Kota Depok Tidak Tepat Sasaran
Dan kau, dengan nafas memburu berlalu meninggalkan tempatku. Aku tahu di antara sungutmu, kau tengah merancang jenis kopi baru untuk melibasku dan warna-warni kehidupan terus berlanjut. Persaingan terus berjalan, kita saling memantau, mengendap-endap, mengintai, para orang suruhan dengan penyamarannya yang piawai saling mencari rahasia, baik melalui rasa dan aroma.
Tapi semua persaingan di mataku kian bertambah semu. Ketika kau terlihat semakin jauh dariku, kerinduanku padamu tak mampu lagi menutupi keangkuhan yang kumiliki, aku ingin menjambangimu dan bertanya dengan satu kalimat sederhana yang semoga saja bisa kau terima, masihkah ada rasa cinta di hatimu? Rasa ini tampaknya kembali terlebur oleh ambisi yang kau tunjukkan padaku. Kopi Betina ciptaanmu membuat aku berdegup oleh rasa persaingan yang muncul bak letupan gunung berapi.
“Tuan, Kopi Betina itu mengambil segmen para perempuan dan ibu-ibu muda. Kopi ini kadar kafeinnya tidak terlalu banyak, aromanya wangi dan agak asam. Jika diminum dengan gula dan dicampur creamer, rasanya enak sekali. Hati-hati Tuan, jangan sampai para eksportir beralih membeli kopi ini dan melupakan Kopi Jantan!” ujar pelayanku.
Baca Juga: Kemendikbudristek Fasilitasi Pelaku Perfilman Indonesia ke Ajang BIFF 2023
Sempat aku tertegun, namun aku mulai merasakan keletihan yang dalam dengan persaingan ini. Dunia bisnis terus berkembang, inovasi baru selalu berkecamuk di otakku, semuanya seakan menari-nari membentuk lingkaran setan yang selalu menghantui ke mana aku melangkah. Aku letih, aku merana. Inikah jalan yang harus kutempuh hingga aku tua nanti? Aku tahu kau juga pastinya berpikir sama denganku. Kita terkepung oleh aroma kopi, aroma yang tak lagi memberikan waktu untuk kita sekedar saling menatap dan merekatkan jemari kita. Kau…
Lalu kucari kopi andalan untuk menentramkan hatiku. Dan kau pun mengetahuinya, Kau geram ketika tahu aku mengembangkan Kopi Rajabica, kopi yang sangat digemari orang-orang Jepang. Iklan dari mulut ke mulut yang kulakukan membuatmu meradang.
Aku tahu kau jelas mengerti keampuhan kopi itu, aromanya yang harum dengan rasa cukup keras, sangat lezat dan legit ketika bersentuhan dengan lidah dan mengalir lewat tenggorokan. Dan kau menemuiku dengan tangis yang mengambang di mata.
Baca Juga: IYSA dan Mahsa University Sukses Gelar WICE 2023
“Tidak bisakah kau menghentikan persaingan ini? Kau lihat, para eksportir mulai melirik Kopi Rajabicamu, mereka bersiap-siap meninggalkan semua kopi racikanku. Kau jahat!” serumu bagai harimau yang terluka.
“Kau yang memulainya, perang sudah digelar, maka kita harus menjalaninya. Kakek-kakek kitalah yang menginginkan ini semua dan kita harus melaksanakannya.” Kataku ringan.
Aku tahu kau sedih dengan ucapanku. Dan kau tahu, aku tak berhenti sampai di sini. Persaingan bisnis kita kian menukik tajam, kita bersaing tanpa jeda. Kita telah menjadi dua mafia kopi yang memiliki ribuan mata, penciuman yang tajam untuk saling memantau dan bila perlu menerkam. Kemudian, beruntun kau mengeluarkan produk andalanmu, di antaranya Kopi Arabica Special, kopi ini kau racik khusus dengan campuran creamer dan juga susu.
Aku tahu para ibu muda sangat menyukainya. Lalu kau kian tak terkendali, selain Arabica Special, kau menciptakan Arabica Super, kopi khusus untuk pria dewasa, rasanya pahit dan keras. Para penyuka kopi biasanya mencampurnya dengan es batu.
Hhhh…aku menarik nafas panjang melihat kau demikian menggebu untuk membabat habis pelangganku. Tak ada jalan lain, selain menciptakan kopi Arabica Extra. Kopi ini sengaja kubuat dengan harga murah, rasanya tidak terlalu keras, namun cukup wangi dan enak. Sasaranku adalah pekerja kantoran, maka kumasukkan kopi ini ke berbagai supermarket mulai dari kelas menengah hingga atas. Arabica Extra mulai naik daun.
Untuk mengimbanginya kuciptakan pula kopi Arabica biasa yang beraroma sangat wangi, ringan dan cocok bagi mereka yang belum terbiasa meminum kopi. Tampaknya pelangganmu mulai kubabat habis!
***
Ambisi yang menjurus pada ketamakan pribadi akhirnya membuat kau dan aku perlahan-lahan berubah menjadi monster yang menakutkan. Tak ada lagi belas kasihan yang membuat kami menjadi manusia utuh dengan hati nurani yang lebih manusiawi. Dan kau menutup hatimu bersama aroma kopi yang membalut setiap degup nafasmu. Kau tak memberikanku kesempatan untuk sedikit menghela nafas dan mengeluarkan apa yang dulu pernah kuberikan padamu, yaitu rasa cinta!
Baca Juga: Santika Hotel Depok Gelar Festival Batik 2023, Apresiasi Para Pengrajin Batik
“Aku akan merampas semua yang ada padamu. Pabrik-pabrikmu, kafe-kafe, dan semua buruh bayaranmu. Akan kubuat kau melarat, miskin semiskin-miskinnya!” katamu geram ketika kau tahu kubuat kopi Robusta untuk karyawan-karyawan pabrik atau penjaga malam.
Dan kemarahanmu semakin menggila ketika kau tahu aku membuat kopi yang kuberi nama Wartin. Kopi ini dijual di pasar tradisional dengan bungkusan-¬bungkusan yang sangat sederhana, seperti dengan plastik dan kertas coklat.
Kopi Wartin sangat laku karena harganya murah dan dapat dijangkau oleh semua kalangan sehingga aku agak kerepotan mempersiapkannya. Di sinilah, aku tidak menyadari kalau beragam kecurangan mulai mengintai. Musuh dalam selimut dengan wajah tak terlihat dan cara kerja yang sangat terorganisir, membuatku lengah. Aku tak menyadari itu.
Lalu malam itu, ketika sinar rembulan mengintip lamat-lamat melalui peraduanku, saat angin berdesir melenakan tidurku, suara berdebum kencang terdengar di pabrik belakang rumahku. Lalu, beberapa saat kemudian teriakan terdengar. Para pegawaiku berteriak minta tolong, dan aku berlari ke luar dengan celana pendek dan dada telanjang. Ibu dan ayahku entah di mana, saudara-saudaraku juga tidak kuketahui keberadaannya.
Baca Juga: Tingkatkan Pelayanan, PT Tirta Asasta Depok Luncurkan Aplikasi Asastaku, Ini Fiturnya
Api…api…menjalari seluruh rumah, pertokoan dan kafeku. Semua ludes tanpa sisa dalam hitungan menit. Mataku berair, pada saat yang sama aku memusatkan perhatianku ke arah selatan tempat kau berada. Di sana api juga membumbung. Segera kupacu langkahku ke arah sana, mencarimu di mana saja kau bisa kutemukan. Sungguh aku sangat mencemaskanmu. Persetan dengan kopi, kau adalah segalanya bagiku.
Dan kau terduduk lesu memandangi abu biji-bji kopi yang tak bisa lagi diolah. “Kita kalah total sayang, api telah merenggut semuanya.” Bisikku ke telinganya.
“Semua telah musnah,” katamu lemah. “Aku tak punya apa-apa lagi.”
“Aku juga, api telah menghanguskan segalanya.” Sahutku.
Kulihat wajahmu menghitam penuh jelaga. Air mata menghiasi pipimu. Tak terlihat kecantikanmu di situ. Lalu aku memapahmu dan kita menemukan dua cangkir kusam yang penuh debu.
“Aku ingin minum kopi,” katamu.
“Aku juga.”
Maka diringi senja yang mulai meredup kami duduk berdua, menyeduh kopi dengan imajinasi yang tersisa. Dalam angan, kami merasa menyeduh kopi dengan air yang mendidih, setelah itu kami mendiamkannya selama sepuluh menit hingga ampasnya turun dan aroma kopi tidak hilang. Lalu kau mendekatkan cangkir itu padaku. Katamu,
“Minumlah!”
Baca Juga: Cukupi Kebutuhan Vitamin D dengan Bantuan Sinar Matahari, Makanan, dan Olahraga
Aku pun demikian, kuhapus pipimu yang berwarna dadu kehitaman. “Mau kuhembuskan aroma kopi ini ke hidungmu?” tanyaku.
Kau mengangguk.
Aku kemudian meremas jemarimu. Dan kau berkata, “Aku menerima lamaranmu. Mari kita bersama membangun kerajaan kopi kita kembali!”
Kukecup punggung tanganmu, ucapan inilah yang kutunggu. Aroma kopi Robusta perlahan-lahan menukik memasuki lubang hidungku dan kau tertidur di pangkuanku. (***)
*Penulis wartawan senior, cerpenis, novelis dan penulis puisi. Tinggal di Kota Depok