Galeri

Kisah Seorang Penyair yang Kehilangan Penggemarnya

Foto ilustrasi Fanny J Poyk.

Kisah Seorang Penyair yang Kehilangan Penggemarnya

Oleh Fanny J Poyk*

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

ruzka.republika.co.id--Tiba-tiba dia datang lalu mengambil tempat duduk di sisi para pejabat pemerintah yang akan memberikan kata sambutan pada acara pesta pembacaan puisi akhir tahun itu.

Penampilannya normatif, santun dan mencerminkan seorang ibu sejati. Kebaya yang dikenakannya senada dengan warna kain batiknya. Jilbabnya juga bernuansa sama.

Sedikit koreksi tentang penampilannya itu, kebayanya agak ketat juga kain batik yang membungkus tubuhnya, sehingga secara keseluruhan bokongnya yang besar mendominasi serta menjadi pusat perhatian kala ia berjalan.

Baca Juga: Nadin Amizah Curhat di Sosial Media Soal Batasan Privasi, Warganet: Resiko Jadi Artis

Untung saja ia sudah berusia sekitar enam puluh tahunan lebih, jadi sasaran tembak mata ‘lelaki’ nakal tak lagi menuju ke bokong yang bagaikan berisi dua panci berukuran jumbo, karena kerutan di wajahnya telah memulas sebagian kecantikannya meski dia telah mendempulnya dengan bedak yang agak tebal. Juga daya pikat ragawi telah memudar.

Yang menjadi pemikiran saya kala melihatnya duduk di samping para pejabat dari Kementerian Pendidikan itu bukanlah terletak pada bokong yang ‘gemoy’ itu.

Saya menduga ia pasti salah seorang perempuan pejabat pemerintah yang juga akan memberikan kata sambutan di acara pesta pembacaan puisi yang mengambil tempat di selasar pusat berkumpulnya para pelaku seni dan sastra di Jakarta, yaitu Taman Ismail Marzuki.

Baca Juga: Program Penghapusan Denda PBB-P2 di Depok Diperpanjang Hingga 29 Desember 2023, Yuk Bayar Pajak!

Setelah dua pejabat usai berceloteh dengan frasa, diksi yang diolah menjadi jalinan kalimat selalu sama dan standar, saya menunggu si ibu gemoy ini naik ke atas podium.

Ternyata penantian saya sia-sia. Dia masih duduk dengan manis di kursi empuk yang selalu tersedia untuk para pejabat.

Dugaan saya, dia menunggu dipanggil atau masih menyusun tenaga karena bokongnya yang besar dan berat.

Baca Juga: Layar Anak Indonesiana Meriahkan Festival Film Dokumenter Yogyakarta

Namun, lima belas menit saya menunggu, si ibu masih bercokol di tempat duduknya. Hingga akhirnya dua pejabat dari kementerian berdiri dan berjalan meninggalkan arena acara. Si ibu masih tetap duduk di sana.

Lalu waktu bergulir dengan perkasa. Gebyar acara yang diberi nama Senja Berpuisi itu, mulai menampilkan para pemusik, penyair, pemain teater dan penulis untuk naik ke panggung memeragakan aksinya.

Beberapa penyair menyuguhkan tampilan dengan teknik membaca puisi yang beragam di dalam memikat penonton agar ‘ternganga’ melihatnya membacakan puisi ciptaannya atau penyair lain yang sudah punya nama.

Baca Juga: Pagelaran Tourism Day X Pelabuhan UI 2023, Promosikan Budaya Betawi

Gaya mereka macam-macam, ada yang redup dan melankolik, ada yang berteriak dengan bermain di intonasi suara serta pernafasan yang panjang namun minim gerak, ada yang berolah tubuh dengan melompat dari pagar selasar lalu berjalan dengan mimik serius bersama raut wajah yang menuntunnya untuk mendalami isi dari larik demi larik puisi.

Seolah-olah beban kemanusiaan yang terangkai di puisi bacaannya terbang bebas ke awan gemawan dan manusia melupakan sejenak penderitaannya, padahal setelah puisi berakhir, mereka harus bertarung untuk menghidupi keluarga dengan beragam biaya mulai dari pendidikan hingga makan tiga kali sehari.

Lalu ada yang bermonolog membacakan cerpen seorang penulis dengan style bermain drama yang dipadu dengan improvisasi.

Baca Juga: Depok Gelar Gebyar Festival Literasi 2023, Ajang Tingkatkan IPLM Depok

Anak-anak muda millennial, bermain musik dengan memadukan musikalilsasi puisi dan lagu-lagu rock dari beragam era. Semua bergembira di atas panggung.

Dan, si ibu berkebaya senada dengan bokong gemoy itu, masih tetap duduk sendiri di kursi empuk dekat dengan panggung.

Di kesendiriannya yang senyap meski musik dan suara para penyair melengking tinggi, ia masih setiah dengan penantiannya, belum beringsut barang semester pun.

Baca Juga: Libur Nataru, Polrestro Depok Siapkan Penitipan Motor Gratis

Saya masih tetap bertanya siapa dia?

Jika dia memang pejabat, mengapa sang master of ceremony alias MC tidak memanggil namanya naik ke atas panggung.

Ada apakah gerangan? Tanya saya di dalam hati.

Lalu seorang teman yang barangkali merasa kasihan melihatnya sendiri, maju ke depan menemaninya.

Beberapa menit setelah setelah itu, saya ikut mendekati si ibu gemoy, baru saya tahu kalau teman saya punya planning yang sama seperti, kami mengincar beragam kue yang tertata apik di dua piring di atas meja di depannya, plastiknya belum dibuka.

Baca Juga: Pemuka Agama Turut Berperan dalam Percepatan Penurunan Stunting di Indonesia

Lalu, sinyal terselubung tanpa melalui bahasa isyarat, harapan saya terkabul. Teman saya berkata, “Bu, kue-kuenya sayang jika tak dibuka. Saya sobek ya plastiknya!” katanya dengan gerakan cepat, secepat angin senja yang berdesir kencang saat itu.

Hmm…ini yang saya tunggu.

Senja kian merambah petang.

Rasa lapar tak mau lagi berkonspirasi dengan kehendak.

Lalu saya pun mencomot dua potong kue yang plastiknya telah dibuka oleh teman saya. Setelah itu, dengan sedikit naluri jurnalistik yang masih tersisa, saya bertanya tentang profesi si ibu gemoy itu.

Baca Juga: Depok Distribusikan Bantuan BKB Kit Stunting di 30 Kelurahan

Ia dengan nada rendah berkata, “saya penyair. Saya menunggu untuk dipanggil ke panggung untuk baca puisi oleh si MC, Tapi kok acara sudah mau berakhir, nama saya tidak dipanggil-panggil, ya?” ujarnya dengan wajah lesu.

Saya dan teman saling pandang. Kemudian kami saling memperkenalkan diri, dia berkisah tentang pengalamannya sebagai penyair di era 90-an.

Menurutnya, keterlibatannya di ranah sastra sudah melampaui ruang dan waktu. Ia kerap diundang ke negara-negara ASEAN, Amerika dan negeri luar lainnya untuk berbicara tentang sastra, dalam hal ini puisi.

Baca Juga: Depok Distribusikan Bantuan BKB Kit Stunting di 30 Kelurahan

Saya terpana mendengarnya. Namun, tatkala dia memberikan kartu namanya dan meminta tolong pada saya untuk menanyakan kapan dia akan dipanggil panitia untuk naik panggung membacakan puisinya, saya tak sampai hati untuk mengelak permintaannya.

Terlihat kelas di wajahnya, dia ingin sekali membacakan puisi-puisinya di atas panggung. Sayang ketika saya tanyakan ke panitia, namanya tak tertera di daftar acara.

Saya tak berani kembali duduk di dekatnya lagi. Kartu namanya yang ada di tangan saya, saya amati.

Menurut teman penyair saya yang seangkatan dengannya, si ibu gemoy itu pernah berjaya sebagai penyair di era tahun sembilan puluhan. Seiring berjalannya waktu, namanya redup, terlebih lagi ia tidak aktif berkarya sehingga generasi milenial tak tahu kiprahnya di ranah kata-kata.

Baca Juga: Pentas Seni SDN Anyelir 1 Depok, Suarakan Stop War

Rotasi dari sebuah karya dan pencapaian di beragam aktivitas kehidupan tampaknya akan selalu mengikuti alur masa.

Berharap pada generasi kekinian untuk mengingat dan membaca karya-karya orang-orang terdahulu, semuanya sia-sia, sebab karya sastra yang terdahulu telah tergerus modernisasi dan teknologi.

Media sosial lebih memikat mata. Nama yang viral akan terus meruar apabila ada sistem yang kembali membangkitkan kisah tentangnya.

Baca Juga: Depok Launching Modul Sekolah Pra Nikah Huruf Braile, Berharap Dapat Membantu Masyarakat Disabilitas

Saya melihatnya dari kejauhan lalau si ibu yang gemoy ini masih memegang kartunya, sepertinya ia ingin menunjukkan ke MC sembari berkata, “ini lho saya, penyair angkatan sembilan puluhan yang dulu pernah berjaya di berbagai media dan acara pembacaan puisi di tingkat nasional dan mancanegara.”

Sang Master of Ceremony tersenyum dengan manisnya sembari berkata, “Bu, saya cuma pembawa acara, nanti saya lihat di list, apakah nama Ibu ada atau tidak, ibu duduk dulu sembari makan kue, ya.”

Sang ibu si penyair ‘gemoy’ itu mengangguk pasrah. Hingga akhir acara, dia tak pernah naik ke atas panggung. Saya menatapnya dari kejauhan.

Baca Juga: SMA Pelita IV Jakarta Kerjasama dengan Kaukus Muda Insani Peringati Hari HAM Internasional

Suatu saat, jika saya tak bisa berkarya lagi, otak mulai buntu untuk mendulang kata-kata, lalu merangkainya menjadi kalimat, anak kalimat dan cucu kalimat, maka bisa jadi nama saya akan hilang dari wahana peredaran sastrawi.

Barangkali nasib itu sama dengan karya-karya saya Sebab, sajian drama Korea, Girl dan Boy band, berita kekerasan, dan hal-hal instan yang tidak mengusung keindahan kata-kata dan kemanusiaan, akan dianggap ‘lebay’ dan tidak kekinian lagi.

Lalu sang ibu gemoy itu, tak terlihat lagi di tempat duduknya, barangkali dia pergi diam-diam sambil membawa tanya, “saya ini ternyata sekarang bukan siapa-siapa.”

Demikianlah sosok seorang penyair yang telah ditinggalkan para penggemarnya.

*Fanny J Poyk, seorang wartawan senior yang juga penyair, penulis cerpen dan novel.