Galeri

Mengenang Abdul Hadi, Sang Penyair Sufi dalam Pusaran Arus Sastra, Kebudayaan dan Kebangsaan

Diskusi mengenang tentang kiprah sang penyair di bidang sastra dalam hal ini puisi, Prof Abdul Hadi WM atau Abdul Hadi Widji Muthari.

ruzka.republika.co.id--Untuk mengenang kembali kiprah almarhum Prof Abdul Hadi WM atau Abdul Hadi Widji Muthari, seorang penyair, ahli filsafat yang juga dosen Universitas Paramadina, Jakarta, Sabtu 3 Januari 2024.

Forum Wartawan Jakarta mengadakan diskusi tentang kiprah sang penyair di bidang sastra dalam hal ini puisi. Kegiatan berlangsung di lantai 4 Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Penyair yang meninggal dunia Jumat (19/01/2024) dalam usia 77 tahun itu, menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto pada pukul 03.36 WIB, karena sakit.

Sastrawan kelahiran Sumenep 24 Juni 1946 ini, sejak kecil menyukai bacan-bacaan berat karangan Plato, Socrates dan Imam Gozali.

Lau, juga Rabindranath Tagore hingga Mohammad Iqbal serta puisi-puisi Chairil Anwar dan Amir Hamzah.

Baca Juga: BPS, Terjadi Penurunan Presentase Kemiskinan di Depok

Selain selalu haus akan ilmu, Abdul Hadi yang lulusan Universitas Gajah Mada, juga menempuh pendidikan di Fakultas Filsafat di Universitas yang sama.

Lalu ia melanjutkan pendidikan di Universitas Padjadjaran Bandung dengan mengambil kuliah di jurusan Antropologi.

Setelah itu ia memperoleh beasiswa untuk ikut International Writing Program di IOWA, Amerika Serikat dan melanjutkan pendidikan di Hamburg untuk mendalami sastra serta filsafat.

Baca Juga: Workshop Guru Kimia, Universitas Pertamina Ilhami Inovasi dalam Ilmu Kimia

Pada 1992 ia mengambil gelar master dan doktor filsafat dari Universitas Sains Malaysia di Penang, Malaysia.

Diskusi yang berlangsung sejak pukul 14.00 WIB hingga 17.000 WIB diisi dengan kisah memoar kehidupan sang penyair sejak ia berkiprah di dunia perpuisian hingga akhir hayatnya.

Pembicara di diskusi tersebut diisi oleh Dr. Maman S Mahayana penyair yang juga dosen FIB Universitas Indonesia, Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bahri, Fajriah anggota Komite Dewan Kesenian Jakarta dan moderator Yusuf Susilo Hartono.

Baca Juga: Ini Rahasia Cantik Sambil Lestarikan Bumi, Panduan Praktis mengenai Sustainable Beauty

Sedang Master of Ceremony kegiatan tersebut Rita Sri Hastuti dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Sebelum pembahasan tentang kiprah almarhum Prof Abdul Hadi berlangsung, acara diisi dengan pentas teaterikal dari puisi sang penyair yang dibawakan oleh Nuyang Jaime, pembacaan puisi dan kisah kenangan tentang Prof Abdul Hadi oleh sastrawan Taufik Ismail, pembacaan puisi oleh Remmy Novaris, juga pembacaan puisi Jose Rizal Manua, Linda Djalil dan Ariani Isnamurti.

Acara dibuka oleh Nugroho yang mewakili PDS HB Jassin. Dilanjutkan dengan penayangan ungkapan tanda kasih dari putri almarhum yaitu Gayatri Wedatami Muthari, dalam memori kenangannya tentang sang ayah.

Baca Juga: Membangun Budaya Literasi di Depok, Merupakan Tanggung Jawab Bersama

Ia menuturkan kalau ayahnya selalu mengajaknya ke perpustakaan untuk membaca buku dan membuat puisi. Kecintaan sang ayah pada puisi tampaknya sudah mendarah daging hingga akhir hayatnya.

Secara personal, Sutardji Calzoum Bahri yang dijuluki sebagai Presiden Penyair Indonesia menuturkan kalau ia mengenal Abdul Hadi sejak tahun 70-an.

Menurutnya, kala itu Abdul Hadi baru merintis karier di bidang puisi dan juga jurnalistik.

Seperti diketahui, Abdul Hadi pernah menjadi wartawan untuk Koran Berita Buana.

Baca Juga: UI Nomor 1 di Indonesia dan Top 10 di Asia Tenggara, Versi Webometrics Ranking of World Universitas

Persahabatan yang terjalin sejak masa muda mereka dituturkan dengan lugas dan penuh kegembiraan yang semua itu sulit sulit untuk dilupakan, khususnya kala mereka baru menekuni dunia sastra.

Di dalam kenangan Sutardji Calzoum Bahri, puisi-pusi Abdul Hadi sarat dengan nuansa sufisistik, yang kesemuanya tersirat pula dalam sikap dan perilaku sang penyair yang sangat dekat dengan Tuhannya.

Kemudian, seiring berjalannya waktu, Abdul Hadi semakin dikenal sebagai penyair sufi, karena hampir semua puisinya sarat dengan unsur-unsur Islami.

Baca Juga: Menulis dan Cerpen

Di samping itu, Abdul Hadi juga dijuluki penyair berdasi karena ia selalu berpenampilan rapi. “Level kemanusiaannya tinggi. Ia orang yang baik hati,” ucap Bang Tardji, demikian ia akrab disapa.

Sedangkan Maman S Mahayana selaku pembicara kedua, menjelaskan tentang kiprah Prof Abdul Hadi.

Secara singkat dan teoritis ia menggambarkan kalau pemikiran sang profesor sangat relevan pada kebudayaan masa lalu.

Baca Juga: Apakah Utang Debitur yang Telah Meninggal Dunia Wajib Dilunasi Ahli Waris

Abdul Hadi dalam Pusaran Arus Sastra, Kebudayaan dan Kebangsaan, di dalam pemikiran-pemikirannya memiliki makna kembali ke sumber atau kembali ke akar.

Ia membuka mata rantai sastra Jawa dan Hindu. Meski Hamzah Fansuri tetap sebagai Bapak Puisi Indonesia, Abdul Hadi WM juga menggiring pembaca pada puisi sufi yang sarat dengan muatan filsafat yang menjadi semacam tasawuf yang tertindas.

Senada dengan pendapat Maman S Mahayana, Fajriah dari Dewan Kesenian Jakarta menambahkan bahwa diksi-diksi dari Abdul Hadi sarat dengan unsur sufi dan filsafat, diksi-diksi tersebut lebih membebaskan dan penuh dengan cerita.

Baca Juga: Depok Tekankan Rencana Kerja Pemda 2025 Mengacu pada Tujuan SDGs

Gagasannya bisa hadir leluasa di dalam puisi-puisi ciptaannya. Puisi yang disampaikannya memiliki makna yang dalam, yaitu terlantun dalam doa-doa panjang yang dirasa hingga menuju kepada Tuhan.

Begitulah kehidupan manusia khususnya sastrawan juga penyair di perjalan waktu. Ketika nafas meninggalkan raga, maka karya selalu menjadi catatan yang tak lekang oleh waktu. Damai bersama Sang Pencipta Dunia Profesor Abdul Hadi WM.

Penulis : Fanny J Poyk