Sejarah Depok dalam Buku Novel Fanny Jonathans Poyk, Bertemu Ayah dan Masa Penjajahan
ruzka.republika.co.id--Wartawan senior yang juga novelis, Fanny Jonathan Poyk meluncurkan buku Sebuah Novel Depok, Tentang Ibuku, Kota Depok, Feminisme, Filsafat Kehidupan dan Cinta yang diterbitkan Kosa Kata Kita (KKK) pada September 2023. Berikut kisah Bagian Ketiga Bertemu Ayah dan Masa Penjajahan.
Perjuangan Ibu yang berat di dalam menghidupi keempat anaknya, menjadi kisah absurditas kehidupan yang dilaluinya dengan pasrah. Ibu harus berdamai dengan waktu dan pada dirinya sendiri. Ketika ada seorang pemuda yaitu Ayahku kemudian melamarnya dan menjadikannya istri, Ibu melepas masa jandanya.
Dengan menikahi seorang bujangan, Ibu merasa nyaman dan terhindar dari godaan para lelaki hidung belang yang sudah beristri dan beranak. Ibu hanya ingin memperoleh rasa percaya diri, perlindungan dari kehidupannya, tambahan lagi predikat janda muda yang kadang bernada miring, membuatnya sedih.
Begitulah, Ibu mengakhiri kesendiriannya sebagai janda. Dan, keputusannya menerima pinangan Ayahku, menurutku itu keputusan yang tepat, sebab jika tidak, aku tentu tak lahir ke dunia ini dan kisah tentang Ibu serta Depok, tak akan pernah ku tulis kan. Dan, Ibu secara mutlak akhirnya memutuskan untuk menerima pinangan Ayah, selain itu Ibu juga jatuh cinta padanya.
Baca Juga: Tingkatkan Investasi, DPMPTSP Kota Depok Luncurkan E-Helpdesk & Tim Pengendali Investasi
Ayahku yang tinggi, langsing, tampan dan pintar, telah memberikan pesona ragawi juga kepandaian yang membuat Ibu kagum padanya. Dan secara logika, sangat langka sosok tampan dan pandai seperti Ayah bisa terpikat pada seorang janda beranak empat.
Tapi begitulah rahasia Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta, cinta yang diciptakan olehNya, memang memiliki misteri tersendiri dia akan datang seperti anak panah yang meluncur ke sasaran yang tepat dan disukainya.
Jika mereka tidak saling jatuh cinta sekali lagi. Sudah pasti tentu aku tak ada sebagai ibu dengan anak empat yang suaminya mungkin mati dibunuh dan konon menurut cerita dibuang ke dalam sumur entah oleh siapa di daerah Cisalak, membuat lerlahan-lahan melupakan kepedihannya.
Meski sesekali masih tak mengerti, dan bertanya, apa kesalahan suaminya dan siapa yang membunuhnya. Tanya ini kerap menggiringnya pada kepedihan yang mendalam. Namun Ibu sadar bahwa semua yang dialaminya tidak boleh membuatnya terlena dan larut di dalamnya.
Baca Juga: Berikut Kinerja Disrumkim Kota Depok, Target Pembangunan Selesai Desember 2023
Ibu tahu bahwa tak baik kalau dia terus meratapi nasibnya, di hadapannya masih ada empat anak yang menjadi tanggungjawabnya, mereka harus menjadi manusia yang berguna kelak, begitu selalu pikir Ibu. Hingga pada akhirnya, keletihan Ibu tertutupi dengan kehadiran ayahku.
Ibu bersyukur bertemu Ayah yang menerima keberadaannya dengan tangan terbuka. Ayahku yang sangat paham tentang agama itu, mempraktekkannya dalam kehidupan kesehariannya.
Melalui pemahamannya yang kuat tetang agama, aku tahu ia ingin melindungi Ibu beserta empat anaknya. Setelah Ibu menjadi istrinya, ia melihat kehidupan keseharian Ayah yang agamais itu, dan Ibu kian merasa kagum. Terlebih lagi Ayah yang akademisi.
Seperti yang sudah ku ceritakan, Ayah adalah sosok yang pandai juga cerdas, mahir berbahasa Belanda sekaligus tata-bahasanya, Ayah juga pandai berbahasa Inggris.
Boleh dikatakan ia sebagai sosok intelektual di masanya. Ia pembaca buku yang rajin, jago dalam berdiplomasi. Itu sebabnya, ia berkali-kali dipakai oleh beberapa perusahaan Belanda sebagai kontraktor atau penerjemah. Dan Ibu yang terpukau akan kebaikan serta kecerdasan Ayah, akhirnya memutuskan untuk di babptis, mengikuti agama Kristen Protestan yang dianut Ayah.
Itulah kisah mengapa Ibu berganti nama menjadi Maria Magdalena. Nama ini dipilih Ibu karena ia mengagumi kesetiaan Maria Magdalena di dalam meneladani kehidupan Yesus Kristus, Tuhan yang disembah para penganut agama Kristen. Dahulu Ibu mengikuti agama Orangtuanya yaitu Kong Hu Tzu.
Ibu kerap mengkilasbalik kenangan masa lalu di mana dia hidup bersama kedua orangtuanya. Masa itu adalah masa pergolakan dan juga masuk ke masa ketika era negara yang lebih kuat menjajah negara yang lemah.
Baca Juga: Semua Bangunan di Kota Depok Harus Ada IMB, Tak Terkecuali Rumah Ibadah
Belanda dan Jepang yang menjajah Indonesia adalah bentuk dari pelebaran daerah kekuasaan dengan menindas dan menekan warga pribumi secara sewenang-wenang. Indonesia sebagai negara kepulauan yang tanahnya subur dan lautnya kaya akan beragam ikan serta biota laut lainnya, juga gas alam, batubara dan minyak bumi, menjadi sasaran negara-negara asing untuk dijajah dan direbut oleh mereka.
Dari penuturan Ibu yang dia dengar melalui suaminya yaitu Ayahku, penjajahan di Indonesia cukup lama terjadi. Selain Jepang dan Belanda, negeriku Indonesia pernah dijajah oleh beberapa bangsa, di antaranya bangsa Portugis juga Spanyol.
Sedangkan penjajahan oleh Portugis yang pertama kali data ke Indonesia dilakukan melalui Malaka, tepatnya pada 1509. Kedatangannya dipimpin oleh Alfonso de Albugue Portugis dapat menguasai Malaka pada 10 Agustus 1511
Alfonso de Albuguergue adalah seorang Laksamana Angkatan Laut, negarawan sekaligus penjajah. Ia lahir tahun 1453 di kota Lisbon, Portugal. Alfonso berperan di dalam pembentukan pemerintahan kolonial Portugis di Asia. Alfonso dikenal sebagai The Great at The Caedar of the East. Ia seorang penjelajah terkenal dari Portugal dan banyak memperoleh pencapaian.
Baca Juga: Dinas PUPR Kota Depok Lakukan Rekonstruksi Jalan Cipayung-Pitara, Ditargetkan Selesai Desember 2023
Sebelumnya ia adalah penasihat raja dan memulai pelayarannya ke berbagai penjuru dunia termasuk Asia pada tahun 1503. Setelah mendapatkan Malaka, Portugis mulai bergerak ke Madura hingga Ternate.
Alfonso de Albuguergue adalah arsitek utama untuk ekspansi Portugis ke Asia, negara itu merupakan bangsa Eropa pertama yang tiba di Nusantara. Para penjajah Eropa ini mencoba mengeruk sumber rempah-rempah yang sangat berharga dan banyak terdapat di Indonesia.
Pada awalnya bangsa Portugis mendirikan koalisi dan perjanjian damai pada tahun 1512 dengan Kerajaan Sunda Parahyangan. Namun perjanjian koalisi tersebut gagal karena sikap permusuhan yang diperlihatkan oleh sejumlah pemerintahan Islam di Jawa seperti Demak dan Banten.
Portugis kemudian mengalihkan perhatiannya ke Kepulauan Maluku, di pulau itu tanaman cengkeh tumbuh subur. Kala itu Maluku yang terdiri dari beberapa kerajaan saling berperang satu sama lain, dan ini memberikan keuntungan serta peluang bagi penjajah.
Baca Juga: 6 Ruas Tol JOOR 2 Telah Tersambung, Segera Diresmikan Presiden Jokowi
Militer Portugis kemudian menaklukkan Maluku dan mereka mendirikan pos penjagaan, benteng, misi perdagangan Indonesia Timur termasuk pulau Ternate, Ambon, dan Solor.
Selanjutnya dua armada Portugis di bawah pimpinan Francisco Serrao serta Antonio Albreu, mendarat di Kepulauan Penyu dan Kepulauan Banda. Mereka menjalin persahabatan dengan penduduk dan raja-raja setempat, seperti dengan kerajaan Ternate.
Portugis memperoleh ijin untuk mendirikan benteng di Pikaoli, namun hubungan yang akrab antara Portugis dan para raja tidak berlangsung lama sebab negeri itu menerapkan sistem monopoli yang menguntungkan negeri mereka sendiri.
Pertemanan Portugis dan Spanyol berakhir pada tahun 1570, kemudian terjadi peperangan dengan Sultan Babullah yang berlangsung selama 5 tahun (1570-1575), peperangan ini membuat Portugis harus menyingkir dari Ternate, Tidore dan Ambon.
Perginya Portugis ini digunakan Belanda untuk menjejakkan kakinya di Maluku. Kemudian pada tahun 1605, Belanda berhasil membuat Portugis menyerahkan pertahanannya di Tidore kepada Cornelisz Sebastianz. Markas Portugis di Ambon harus diserahkan kepada Steven van der Hagen. Benteng Inggris di Kambelo, Pulau Seram, dihancurkan Belanda.
Negeri Kincir Angin itu akhirnya dapat menguasai sebagian besar wilayah Maluku dan kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat dengan berdirinya VOC pada tahun 1602. Kemudian, Belanda menjadi penguasa tunggal dim Maluku.
Baca Juga: Wow, 'Si Tukang Bubur' Binton Nadapdap, Ternyata Punya Koleksi Ribuan Lukisan, Buku dan Foto
Kisah kedatangan Portugis di Indonesia itu membuat bangsa Eropa lain tergerak juga untuk mencari keuntungan. Dalam hal ini Spanyol. Kemudian persaingan pun terjadi di daerah Maluku.
Spanyol lalu memilih untuk membangun benteng di Tidore. Pembangunan benteng membuat persaingan semakin memanas. Dan, pada tah 1527 terjadilah pertempuran antara Ternate dengan bantuan Portugis melawan Tidore yang dibantu ole Spanyol. Benteng yang dibangun Spanyol di Tidore dapat dirampas oleh persekutuan Portugis dan Ternate.
Pada tahun 1534 Spanyol dan Portugis menyepakati diadakannya perjanjian Saragosa. Perjanjian ini terjadi karena kedua belah pihak menyadari dampak negatif yang akan ditimbulkan jika mereka berperang dengan memakai kekuatan yang sangat besar. Mereka membuat perjanjian bahwa Maluku menjadi milik Portugis, dengan begitu negara itu dapat melakukan beragam kegiatan.
Sedangkan Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan kedudukan mereka di Filipina. Perjanjian ini semakin mengokohkan kedudukan Portugis di Maluku, khususnya dalam melaksanakan monopoli perdagangan.
Baca Juga: Untuk Ibu Hamil Risiko Tinggi, Ini Aplikasi Cegah Stunting Sejak Masa Kehamilan
Portugis juga memiliki ambisi untuk menanamkan kekuasaan di Maluku. Itulah sebabnya, rakyat dan raja Ternate kemudian menentang penuh kebijakan Portugis tersebut.
Portugis mengakhiri penjajahan di Indonesia tahun 1602 setelah Belanda masuk dan menjajah NKRI. Di bawah kepemimpinan Cornelius de Houtman Belanda berhasil tiba di Indonesia melalui Banten. Belanda berkeinginan untuk mendapatkan dan menguasai pasar rempah-rempah di Indonesia dengan mendirikan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) yang bertempat di Banten pada tahun 1602.
Karena pada waktu itu pasar di Banten sadang mengalami persaingan perdagangan dengan Inggris dan Tionghoa. Oleh sebab itulah VOC kemudian dipindahkan ke Sulawesi Selatan.
Namun Di Sulawesi Selatan VOC mendapat perlawanan dari Sultan Hasanuddin. VOC beberapa kali berpindah tempat, kemudian VOC akhirnya mendapatkan tempat di Yogyakarta. Di kota Jendral Sudirman tersebut, VOC menyepakati perjanjian Giyanti yang isinya adalah, Belanda mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwono 1. Perjanjian Giyanti juga membagi kerajaan Mataram menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunan Surakarta. Kemudian, pada tanggal 1 Januari 1800 VOC dibubarkan setelah Prancis mengalahkan Belanda.
Penjajahan Belanda ternyata masih berlangsung. Semenjak VOC dibubarkan, Belanda kemudian memilih Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Saat masa Deandels, rakyat Indonesia dipaksa untuk membuat jalan raya dari Anyer hingga Panarukan.
Namun masa pemerintahan Daendels berlangsung singkat, ia kemudian digantikan oleh Johannes van den Bosch. Pengganti Daendels ini menerapkan Cultuur Stelsel (sistem tanam paksa). Dalam sistem tanam paksa, tiap desa wajib menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor seperti tebu, kopi, dil. Hasil tanam paksa ini harus dijual kepada pemerintah Kolonial dengan harga yang telah ditetapkan oleh mereka.
Pada tahun 1905 muncul gerakan nasionalis yang pertama, yaitu Serikat Dagang Islam yang kemudian diikuti oleh munculnya gerakan Budi Utomo. Belanda merespon gerakan tersebut dengan memenjarakan banyak dari mereka dengan alasan kegiatan politis termasuk Presiden Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno juga pernah dipenjarakan.
Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Hindia Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di bulan Juli Belanda mengalihkan ekspor untuk Jepang ke Britania dan Amerika Serikat.
Baca Juga: BKD Kota Depok Sebut Target PBB Sudah Tercapai Sebesar 83,6%
Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat tempur Jepang gagal di Juni 1941, kemudian pada bulan Desember 1941 Jepang mula menaklukkan Asia Tenggara.
Penjajahan Belanda terhadap Indonesia berakhir secara keseluruhan saat Pemerintah Jepang melakukan penyerangan. Tanggal 27 Februari 1942 tentara Jepang berhasil mengalahkan armada gabungan dari negara Inggris, Amerika, Australia dan Belanda.
Kemudian, di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, tentara Jepang mulai menginjakkan kaki di pulau Jawa. Disana Letnan Jenderal Hitoshi Imamura mengancam akan menyerang Belanda apabila tidak segera menyerah.
Pada akhirnya setelah mengalami kekalahan terus-menerus dari Jepang, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer selaku Jenderal Hindia Belanda menyerah dan ditangkap oleh Jepang. Hal ini menjadi tanda berakhirnya sejarah penjajahan Belanda di Indonesia sekaligus pertanda dimulainya masa penjajahan Jepang di Indonesia.
Baca Juga: Depok Berdayakan Rumah Ibadah jadi Mandiri, Gagas Pembinaan Tematik
Pada akhirnya, setelah 350 tahun Kolonial Belanda menguasai Indonesia, akhirnya Belanda menyerah tanpa syarat terhadap Jepang melalui perjanjian Kalijati pada tanggal 8 Maret 1942.
Masa kependudukan Jepang dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada masa penjajahan negeri Sakura tersebut, mereka membentuk beberapa organisasi di antaranya PETA (Pembela Tanah Air), Heiho (Pasukan Indonesia buatan Jepang), dan Jawa Hokokai (Pengganti Putera).
Pada awalnya, kedatangan pasukan Jepang disambut dengan ramah oleh bangsa Indonesia. Namun dalam kenyataannya, Jepang tidak jauh berbeda dengan Belanda.
Pada Juli 1942, Presiden Soekarno mendapat tawaran dari Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang. Soekarno, para Kyai dan Mohammad Hatta memperoleh penghormatan dari Kaisar Jepang pada tahun 1943.
Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangatlah beragam, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan adalah ketika mereka mengalami siksaan, penahanan sembarang orang, terlibat perbudakan seks, hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya.
Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda, juga China merupakan target sasaran kekejaman dalam penguasaan Jepang.
Pada Maret 1945 Jepang membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Kemudian pada 28 April 1945, Jenderal Kumakichi Harada, Komandan Pasukan Jepang Jawa melantik anggota BPUPKI di Gedung Cuo Sangi In, di Pejambon Jakarta (sekarang gedung Kemenlu).
Saat itu Ketua BPUPKI yang ditunjuk Jepang adalah dr. Rajiman Wedyodiningrat dengan wakilnya Icibangase (Jepang) serta Sekretaris R.P. Soeroso. Jumlah anggota BPUPKI kala itu 63 orang yang mewakili hampir semua wilayah di Indonesia.
Reporter: Maulana Said