Filosofi Hijrah Nabi untuk Transformasi Diri
RUZKA REPUBLIKA -- Bagi Nabi Muhammad SAW, hijrah pada awalnya adalah perintah Allah, perintah Tuhan. Dan, Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya melakukannya.
Di dalam perspektif sejarah, momentum hijrah dari Makkah ke Madinah adalah langkah awal strategis bagi kebangkitan Islam yang kemudian ajarannya menyebar ke seluruh penjuru dunia. Kini, beragam spirit hijrah kemudian digali hari demi hari.
Sebelum saya juga coba gali spiritnya, dalam perspektif peradaban, Madinah sendiri melambangkan suatu kota (city) yang modern.
Baca Juga: Hadiri Penyampaian Laporan BPK, DPD Optimis Peroleh WTP Ke-18
Madinah juga melambangkan sebuah peradaban yang modern (modern civilization). Pengubahan nama Yatsrib menjadi Madinah sendiri sepertinya bukan perubahan artifisial (dibuat-buat) semata, tapi penuh makna.
Madinah, kemudian kita kenal sebagai Madinah Al Munawwarah, kota yang tercerahkan, "Enlightened City."
Pemikir dan Sosiolog Amerika, Robert N Bellah dalam “Beyond Belief” mendekati fenomena hijrah ini dengan dengan istilah “Habits of the mind and habits of the heart”. Yaitu sebuah hijrah dari Makkah ke Madinah yang melibatkan pikiran dan hati sekaligus.
Baca Juga: Depok Luncurkan BISKITA Trans, Ini Rute yang Dilewati
Semuanya itu, saya kira berangkat dari sebuah cita-cita yang besar. Demi terwujudnya sebuah tatanan dan persatuan umat yang berbasis tauhid, ilmu pengetahuan, dan siyasah (cara hidup) mewujudkan semacam universe prosperity (kesejahteraan semesta).
Bagi mereka yang mengaku muslim, bagaimana sebenarnya makna hijrah teresapi dengan baik bagi dirinya sekarang? Saya kira, ini menarik perhatian.
Bagaimana seorang muslim memetik momentum historis ini dalam konteks kekinian? Saya coba bangun relevansi bagaimana kita melakukan telaah filosofis atas hijrah ini. Setidaknya, nantinya bisa berguna bagi upaya transformasi diri.
Baca Juga: Tahun Baru Hijriah, Wali Kota Depok Ajak Perkuat Spirit, Tingkatkan Kesejahteraan Bangsa
Reza Wattimena, seorang pemikir filsafat, tahun lalu (2023) menulis buku menarik berjudul “Teori Transformasi Kesadaran”.
Menarik karena, selain kenyataan tak terbantahkan, orang Indonesia bahkan profesor sekalipun jarang ada yang membuat buku teori sendiri, penulis ini melakukannya.
Dalam Teori Transformasi Kesadaran, dikatakan bahwa kesadaran adalah sebuah pengalaman. Ia bisa juga disebut sebagai pengalaman sadar (consious experience) dan pengalaman kehidupan (living experience).
Baca Juga: Disdukcapil Depok Fasilitasi Mesin ADM di 5 Tempat, Memudahkan Pelayanan
Dalam Teori Transformasi Kesadaran ini, diperkenalkan apa yang disebut dengan “Kesadaran holistik kosmis” (holistic-cosmis consciousness).
Di sini, manusia melihat dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dengan segala yang ada. Aku adalah semesta, dan semesta adalah aku. Manusia dilihat sebagai warga semesta bersama dengan segala bentuk kehidupan lainnya.
Di sini muncul rasa cinta universal terhadap segala yang ada. Di sini muncul kesadaran akan kesalingbergantungan dari segala sesuatu. Karena segalanya satu, apa yang terjadi pada satu mahluk akan memengaruhi seluruh semesta. Ini kiranya sejalan dengan ide dasar dari fisika kuantum tentang keterkaitan, atau entanglement.
Baca Juga: Wakil Wali Kota Depok, Tahun Baru Islam Momentum Perubahan yang Lebih Baik
Di sini, saya kira, yang muncul kemudian adalah keseimbangan kehidupan. Dari kesadaran demikian, saya kira menjadi modal manusia untuk tidak serampangan dalam hidup. Ia adalah semesta.
Seperti biasanya, kerusakan-kerusakan di muka bumi disebabkan karena individu yang gagal paham dalam memahami kehidupan. Begitu juga, berawal dari pikiran dan sikap hidup yang serampangan terhadap alam semesta.
Akibatnya, kerusakan demi kerusakan terjadi. Kesadaran diri, pada akhirnya, saya pikir bisa membantu manusia untuk bisa hidup selaras dengan kemanusiaan itu sendiri, alam semesta dan tentu saja dengan Allah, Tuhan semesta alam.
Baca Juga: Program Ini Genting, Aksi Forum GenRe Depok Cegah Stunting dari Hulu
Hijrah sendiri, sangat dekat dengan spirit transformasi diri ini. Yaitu terkait dengan perubahan menuju tatanan lebih baik yang hendak dicapai oleh manusia.
Terkait dengan transformasi diri, bagaimana spirit hijrah ini bisa kita mulai sebagai upaya memperbaiki diri sendiri? Kita, mulai pembacaan merenungi hijrah secara maknawi. Diantaranya dengan pemahaman berikut ini:
Pertama, hijrah fikriyah (Hijrah pemikiran). Pendidikan sekuler kita hari ini telah melahirkan pemikiran yang dikotomis. Misalnya memisahkan atau mengkategorikan ilmu agama dan ilmu umum.
Baca Juga: Depok Kembali Berangkatkan Puluhan Peserta Pelatihan Bahasa Jepang
Bahkan, yang disebut ilmu umum itu dipaksa lepas sama sekali dengan agama. Semuanya disebabkan karena dominasi filsafat barat yang menghegemoni pendidikan. Hal ini berangkat dari dua kutub pemikiran.
Plato dengan rasio (akalnya) dan Aristoteles dengan empiri (pangalamannya). Terombang-ambang saja diantara dua kutub itu, hasilnya adalah ilmu pengetahuan sekuler. Tidak hadir atau dihadirkan wahyu (Al-Quran) di sini. Hijrah pemikiran, mesti mulai dari mengubah pemahaman ini.
Semula, kita menempatkan akal, nalar, rasio dan pengalaman (empiris) untuk menafsir realitas. Kehadiran wahyu bisa bermakna keduanya sekaligus.
Baca Juga: Karya Bakti Kodim Depok 2024, Diterjunkan 10 Personel Satgas Dinas PUPR
Bagaimana menghadapkan wahyu (Al-Quran) pada realitas sosial. Atau sebaliknya, wahyu (Al-Quran) ditempatkan sebagai sumber bagi terbentuknya konstruksi sosial.
Terkait pemikiran ini, banyak yang berkesimpulan umat Islam bakal maju kalau berpikir kritis. Terhadap beragam hal. Saya kira tak cukup, yang lebih penting adalah bagaimana menghidupkan kultur baru pemikiran profetik (berkenabian) seperti yang kita singgung secara singkat di atas.
Sebuah transformasi pemikiran profetik (berkenabian) ini, yang menghadirkan wahyu di dalamnya, bakal berpengaruh pada transformasi diri berikutnya.
Baca Juga: Ayo Daftar Pemilihan Duta Kesehatan Kota Depok Tahun 2024
Kedua, hijrah syu’uriyyah (Hijrah cita rasa). Dunia tidak berjalan begitu saja. Ada yang menggerakkan. Dalam level global, salah satunya digerakkan oleh strategi kebudayaan suatu bangsa. Sementara, bangsa lain kerap menjadi korbannya (pasarnya).
Kabar buruknya, Indonesia sendiri tidak punya strategi kebudayaan. Itu sebabnya, ketika produk-produk kebudayaan semacam hollywood (Amerika), Bollywood (India), Kpop (Korea), Jpop (Jepang) merangsek masuk, ketahanan budaya kita tidak tampak. Itu semua karena memang identitas kebudayaan manusia Indonesia tak benar-benar digali atau diresapi. Begitu juga identitas keIslaman muslim Indonesia.
Hasilnya, sekian lama, kebudayaan semacam itu yang kental kita saksikan. Di tengah dominasi dan hegemoni kebudayaan semacam ini, apakah hijrah keluar dari wajah demikian bisa dilakukan? Tentu bisa.
Sebuah perpindahan dari hobi, cita rasa kebudayaan yang melenakan, jauh dari nilai-nilai tauhid seperti beragam nyanyian yang penuh keputusasaan, begitu juga gaya hidup atas pemujaan terhadap materi yang berlebihan.
Menuju kebudayaan profetik (berkenabian). Saya kira, lemahnya culture defence (ketahanan budaya) ini menjadi menarik sebagai medan transformasi demi sebuah kehidupan yang lebih maknawi, bukan duniawi. Hijrah kita di level ini butuh terobosan yang berani karena bakal menciptakan arus baru.
Ketiga, hijrah sulukiyyah (Hijrah laku). Pada akhirnya, inilah tantangan transformasi paling penting. Layaknya, misalnya orang-orang di luar Islam, mereka menilai Islam bukan dari doktrinnya, tapi dari perilaku umatnya.
Baca Juga: PWI Jaya Sambut 2 Anggotanya yang Sukses Daki Gunung Kerinci
Itu sebabnya, suluk, tingkah laku, kepribadian, adab tak terpisahkan dari umat Islam itu sendiri. Di sini, Ta’dib, sebuah konsep Pendidikan Islam yang digagas oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang bertujuan mencetak manusia beradab perlu dipahami, diresapi dan dijalankan di tengah masyarakat yang tampaknya sedang kehilangan adab (the loss of adab).
Dalam laku ini, kalau kita amalnya konsep dari tokoh di atas, tak cukup misalnya “asal berbuat baik” saja.
Tapi, lebih dari itu semua. Secara filosofis, orang beradab adalah orang yang menggunakan epistemologi ilmu dengan benar, menerapkan keilmuan kepada objeknya secara adil, dan mampu mengidentifikasi dan memilah pengetahuan-pengetahuan (ma’rifah)yang salah.
Setelah itu, metode untuk mencapai pengetahuan itu harus juga benar sesuai kaidah Islam. Sehingga, seorang yang beradab (insan adabi) mengerti tanggung jawabnya sebagai jiwa yang pernah mengikat janji dalam “Primordial Covenant” dengan Allah SWT sebagai jiwa bertauhid.
Menelisik beberapa hal di atas, saya kira memaknai hijrah sebagai spirit transformasi diri tak mudah. Bagaimanapun juga, setiap tingkah laku, amal, perlu dilandasi dengan ilmu.
Untuk sampai ke sana, sekali lagi tak mudah. Tapi, kabar baiknya, semuanya itu bisa dimulai dari sebuah keyakinan.
Baca Juga: Mengurai Perbedaan Bantuan Pangan Nasional dan Bantuan Sosial Lainnya serta Peranan Perum Bulog
Tak lain tak bukan dikenal juga dengan istilah hijrah “i'tiqadiyyah” yaitu perpindahan dari keyakinan yang salah, rapuh, dan sesat kepada keyakinan yang benar, kokoh, dan tidak ada keraguan di dalamnya.
Corak keberagamaan yang berkenabian (profetik), pada akhirnya menjadi proses panjang pembelajaran. Hal ini, juga seperti halnya hijrah sendiri. Yaitu sebuah momentum permulaan, sebuah proses, bukan akhir sebuah kisah. (***)
Penulis: Yons Achmad
(Kolumnis, tinggal di Kota Depok)