History

Sejarah Depok dalam Buku Novel Fanny Jonathans Poyk, Cerita Ibuku

Rumah Belanda Depok di kawasan Depok Lama.

ruzka.republika.co.id--Wartawan senior yang juga novelis, Fanny Jonathan Poyk meluncurkan buku Sebuah Novel Depok, Tentang Ibuku, Kota Depok, Feminisme, Filsafat Kehidupan dan Cinta yang diterbitkan Kosa Kata Kita (KKK) pada September 2023. Berikut kisah Cerita Ibuku.

Ibuku memiliki versi yang hampir mirip dengan cerita yang tertulis di atas. Inilah kisah Ibuku tentang Kampung Depok Lama di masa lalu.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Menurut versi Ibu, ia mengungkapkan kembali bahwa situasi di Depok di masa mudanya memang erat dengan budaya Belanda, khususnya bahasa.

Meski secara grammar hanya orang-orang tertentu saja yang paham dan menguasainya, para tetua di zaman Ibuku muda, lancar berbahasa negeri Kincir Angin tersebut. Barangkali dari sini munculah istilah Belanda Depok.

Baca Juga: Mick Jagger, Sehat di Masa Tuanya, Ini Rahasianya Menurut AI ChatGPT

Namun menurutku cerita tentang Kampung Depok Lama memiliki alur yang lebih menukik dan menarik. Ada pernak-pernik bercampur dengan lingkup sosial di sebuah era dari kehidupan manusia dengan segala permasalahannya.

Ibu mengenal hampir semua para tetua kedua belas marga yang ada di Kampung Depok Lama tersebut. Meski zaman Ibuku muda para penduduk Kampung Depok Lama sehari-hari berbahasa Belanda, tapi Bahasa Indonesia tidak pernah mereka lupakan. Khususnya dialek perpaduan Betawi, Sunda dan Depok.

Ibu mengerti akan apa yang diucapkan oleh penduduk Kampung Depok Lama, walaupun dia tidak bisa berbicara bahasa Belanda secara lisan juga tulisan. Gaya hidup dan berbicara dengan bahasa Belanda tidak membuat orang-orang di kampung itu merasa sebagai orang Belanda. Mereka tetap berkata bahwa nenek
moyang mereka berasal dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia.

Baca Juga: Warga Kota Depok Gelar Sholat Minta Hujan, Wali Kota Jadi Imam

Memang secara asal-usul, sebenarnya mereka tidak mengelak kalau di darah mereka adalah pribumi asli yang berasal dari hampir 27 provinsi di negeri kita tercinta ini. Mereka diambil untuk dijadikan budak yang mengerjakan tanah pertanian dan perkebunan milik tuan Cornelis Chastelein yang berasal dari Belanda. Kedua belas nama marga yang mereka sandang, merupakan pemberian dari tuan Belanda yang pernah bekerja sebagai akuntan di VOC.

Ibuku kemudian menuturkan tentang keberadaan juga karakter orang-orang Belanda Depok yang berkulit sawo matang dan tinggal di Kampung Depok Lama.

Menurut penuturan Ibu bahwa ada orang Belanda yang mengatakan Depok itu kepanjangan dari De Eereste Protestanse Organisate van Kristenen, singkatan itu memiliki makna Jemaat Kristen Depok adalah jemaat yang pertama.

Baca Juga: Tidak Hanya Lansia, Berjemur saat Matahari Pagi Baik untuk Semua Usia

Siapa orang yang menyatakan itu, Ibu mengaku sudah lupa. Dan, menurut orang Kampung Depok Lama yang pernah menjabat sebagai koordinator bidang harta benda milik Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein yaitu sebuah lembaga yang beranggotakan orang Depok Lama atau Kaoem Depok, Depok berasal dari kata Padepokan.

Hal itu disebabkan karena di zaman kerajaan Pajajaran, Depok tempat para orang-orang sakti bersemedi atau bertapa. Sedangkan dalam laporan ekspedisi Abraham van Riebeek pada 1730, kata Depok bukan dari bahasa asing, namun diprediksi dari bahasa Sunda atau Jawa.

“Pendapat orang memang berbeda-beda, namun mana yang benar Ibu tidak tahu, yang memberi nama lah yang lebih tahu,” ucap Ibu berseloroh.

“Tapi ada juga yang menuliskan kalau Depok dulunya merupakan sebuah dusun kecil dan terpencil.” Tambahnya.

Ucapan Ibu yang terakhir itu aku amini sebab sekarang ini, Depok yang dulunya dusun terpencil itu, kini telah menjelma menjadi sebuah kota yang bisa dikatakan kota metropolitan.

Baca Juga: Ribuan Anak di Kota Depok Dapat Kartu Identitas Anak, Ini Fungsi dan Tujuannya

Hutan belantara, semak belukar juga areal persawahan telah berganti wujud menjadi bangunan tinggi, hotel, perkantoran dan perumahan.

Jalan Raya Margonda yang dulu sepi, sekarang riuh ramai dengan beragam jenis kendaraan. Kemacetan terjadi di jam-jam yang sibuk serta bila hujan turun.

Bangunan perumahan dengan skala menengah ke atas dan ke bawah juga gedung-gedung tinggi mulai tumbuh bagai jamur. Mal serta pusat perbelanjaan kelas menengah hingga setengah elit, menyuguhkan daya tarik yang bertujuan menggaet pembeli.

Baca Juga: Film Horor Bangku Kosong, Teror Siswi Kesurupan

Ruang tempat berekreasi adalah mal. Sajian wisata alam di dalam kota dan ketersediaan tanah untuk bercengkerama bersama keluarga seperti taman yang cantik dengan ragam tumbuhan yang alami, banyak yang sudah terpangkas dan menjadi areal bisnis seperti kafe atau restoran.

Universitas Indonesia sebagai universitas yang konon menjadi lembaga pendidikan nomor satu di Indonesia, berdiri tegak dan mengembangkan sayapnya di Depok.

Depok menjadi rumah bagi sebagian besar penduduk yang bekerja di Jakarta. Depok berubah fungsi menjadi tempat kaum urban untuk menetap dan bersosialisasi. Depok, yang sekarang juga dikenal sebagai kota penyangga dan pemantau banjir kiriman dari Bogor untuk Ibu Kota Jakarta bila musim hujan datang, pun Depok mulai tak lepas dari banjir itu sendiri dan hal ini sangat ironis.

Baca Juga: FEB UI Kaji Peran Pemasaran Islam Sebagai Disiplin Ilmu Baru dalam Pengembangan Industri Halal di Indonesia

Menurut seorang warga Depok asli yang bernama Yano Jonathans dalam bukunya yang berjudul Depok Tempoe Doeloe Potret Kehidupan Sosial & Budaya Masyarakat, menuliskan dua versi asal mula nama Depok.

Versi pertama berkaitan dengan kegiatan pertapaan. Yano menyebutkan, tanah yang dibeli oleh Cornelis Chastelein telah bernama Depok pada 18 Mei 1696: dulunya berupa hutan dan semak belukar. Tanah ini dibeli secara resmi oleh Cornelis yang merupakan seorang petinggi Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC).

Depok Tempat Bertapa Para Jawara

Berdasarkan kisah Ibuku lagi, dulunya wilayah Depok banyak digunakan sebagai tempat pertapaan karena ketenangannya. Tentu saat itu keadaan kota Depok masih asri, penuh dengan pepohonan yang menggambarkan kesunyian hutan belantara dan dipercaya sebagai tempat mahluk-mahluk gaib atau binatang buas sebagai penghuninya.

Tempat favorit pertapaan itu diperkirakan berada di sekitar hutan Depok itu sendiri, Situ Pancoran Mas, dan tepian Kali Ciliwung.

“Mereka membuat padepokan dan dangau sederhana dari bahan bambu untuk bersemedi.” Ucap Yano.

Baca Juga: Dinkes Kota Depok Gelar Sosialisasi Manajemen Kegawatdaruratan Psikiatri ke Dokter dan Perawat

Yano sempat menemukan padepokan yang dibangun di tepi Sungai Ciliwung dekat Kedung Eretan, menurutnya tempat itu untuk keperluan bersemedi orang tertentu. "Nah, menurut versi inilah, nama Depok itu berasal, tepatnya dari kata padepokan," tambahnya.

Menurut Yano, sebutan kata Depok di dalam bahasa Belanda, muncul pada tahun 1950-an. Hal ini terjadi di kalangan masyarakat Depok yang tinggal di negeri Kincir Angin tersebut.

"Mereka ini merupakan orang-orang yang memilih kewarganegaraan Belanda setelah peristiwa pengakuan kedaulatan dan telah menyamakan diri sebagai warga Eropa, yang dikenal dengan sebutan gelijkgestelden," tuturnya.

Baca Juga: Segera Lapor Jika Ada Bansos di Kota Depok Tidak Tepat Sasaran

Hal ini ada di dalam buku yang ditulis Yano dalam bukunya yang berkaitan tentang Depok.

Gelijkgestelden merupakan orang-orang yang statusnya disamakan dengan warga negara Eropa. Oleh karena itu, mereka sepenuhnya berada di bawah hukum Eropa yang berlaku.

Mereka, disebut Yano, banyak yang mengaku sebagai orang-orang turunan Indo walaupun tak semua dari mereka berasal dari hasil kawin campur dengan orang Belanda dan mereka banyak yang sudah memiliki kewarganegaraan Belanda.

Baca Juga: Santika Hotel Depok Gelar Festival Batik 2023, Apresiasi Para Pengrajin Batik

Paguyuban De Dodol

Meski penduduk yang berasal dari Kampung Depok Lama itu sudah banyak yang memilih kewarganegaraan Belanda, ikatan batin dengan Kampung Depok Lama di Indonesia masih kuat melekat.

Untuk mengenang hubungan mereka dengan Depok, orang-orang Depok di Belanda, mendirikan paguyuban bernama De Dodol atau singkatan dari Depok Ondervindt Doorlopend Onze Liefde. Kalimat tersebut memberikan arti bahwa Depok tetap memberikan cinta pada mereka.

Kemudian paguyuban tersebut diubah menjadi Stidas lalu berubah lagi menjadi BODAS (Bond van Depokkers, Aanverwanten en Sympathiserenden).

BODAS berarti Perkumpulan orang Depok, suami atau istri yang menikah dengan orang Depok dan para simpatisan.

"Pada saat itulah lahir singkatan dari kata Depok di antara mereka, yang tidak lain adalah versi orang-orang Depok di Belanda yang rindu pada kampung halamannya. Mereka pun memberi arti akan makna Depok seperti versi kedua dan mereka secara rutin berkumpul pada waktu-waktu tertentu untuk sama-sama bernostalgia mengenang kampung mereka sambil mengadakan kegiatan amal," tambah Yano.

Baca Juga: Tingkatkan Pelayanan, PT Tirta Asasta Depok Luncurkan Aplikasi Asastaku, Ini Fiturnya

Versi lain pengertian tentang Depok adalah "Deze Einheid Predikt Ons Kristus". Ungkapan itu, menurut Yano, merupakan produk dan kerinduan komunitas orang Depok di Belanda terhadap negeri kelahiran dan sanak keluarganya.

“Sekarang, Kota Depok sudah selama bertahun-tahun ini menjadi salah satu kota satelit, kota yang paling pesat perkembangannya, kota kaum urban yang menjadi tempat berteduh. Sayangnya, seiring berjalannya pertumbuhan pembangunan, bangunan-bangunan bersejarah dengan konsep arsitektur zaman Belanda, sudah tergerus modernisasi dan berubah menjadi mal, apartemen, perumahan mewah dan sederhana serta pertokoan. Nilai-nilai sejarah dari bangunan kuno mulai tergusur. Mungkin yang sedikit tersisa dan belum mengalami perubahan, hanya rumah tua di kawasan Pondok Cina, Jembatan Panus dan Perkampungan Belanda Depok di sekitar Jalan Pemuda,” ungkap Jonathans, mantan ketua YLCC periode tahun sembilan puluhan dengan nada prihatin.

Terlepas dari itu semua, Ibuku yang mengalami pergeseran waktu dari zaman demi zaman, berujar, bahwa Tuan Cornelis Chastelein lah yang berperan besar berdirinya Kampung Depok Lama.

Baca Juga: Batik, Warisan Budaya Jadi Identitas Bangsa

Orang-orang yang diambilnya dari seluruh provinsi di Indonesia itu, akhirnya dibebaskan dari perbudakan, mereka diberi marga seperti yang sudah ku tuliskan di atas, dan mengikuti tuannya menjadi penganut Kristen Protestan.

Para pengikutnya ada yang beraliran Huegenot, seperti yang diyakini Cornelis Chastelein. Huegenot adalah gelar yang diberikan kepada beberapa masyarakat Prancis yang memeluk agama Kristen Protestan, gelar ini terkenal pada abad ke 16.

Cornelis Chastelein yang konon nenek moyangnya berasal dari Prancis, mengikuti aliran Protestan Huegenot tersebut. Nama Huegenot sendiri berasal dari bahasa Jerman yaitu Eidgenosse yang artinya para sahabat yang terikat dengan sumpah.

Baca Juga: Begini Cara Menghindar dan Mengatasi Bank Keliling

Para pengikut Huegenot berkembang dengan pesat pada 1550-an. Akibat tekanan dari pihak Katolik, mereka dibuang dari negara mereka sendiri (Jerman). Pada akhir abad ke 18, mereka menjadi Protestan Prancis dengan menjadi pengikut Calvinis.

Sejarah Huguenot erat hubungannya dengan perkembangan agama Kristen Protestan di Eropa. Hal ini berkaitan erat juga dengan pengembangan ajaran Protestan dari Martin Luther di Jerman pada 1517.

Di Prancis ajarannya ini memperoleh sambutan yang cukup baik. Namun ada penolakan dari pihak Katolik. Hingga pada 1523 terjadi pembakaran pada seorang Huguenot yang dianggap sebagai ajaran sesat kala itu.

Konflik kemudian terjadi antara Huguenot dan Katolik. Pada 1550-an ratusan orang berpindah mengikuti aliran Protestan Huguenot.

Pada 1559, diadakanlah pertemuan yang diwakili oleh 15 gereja Protestan di Paris untuk mengukuhkan keberadaan Huguenot dan hasilnya di masa ajaran Protestan Huguenot dalam dua tahun telah berdiri 200 gereja Protestan Huguenot di seluruh Prancis.

Perkembangan ini mengakibatkan perang agama antara Katolik dan Protestan Huguenot di masa itu. Perang agama ini mengakibatkan pembunuhan massal pada 23-24 Agustus 1572 dan melibatkan Raja Prancis Charles IX serta ibunya Chaterine de Medicis.

Baca Juga: Dinas PUPR Kota Depok Tata Trotoar dan Saluran di Jalan Komjen Pol M Jasin

Hampir sebagian kota di Prancis seperti Aix, Bordeaux, Bourges, Lyons, Meaux, Orleans, Rouen, Touluse dan Troyes mencekam. Sekitar 2.000 hingga 3.000 orang penganut Protestan Huegonot tewas, di berbagai provinsi ada sekitar 7.000 orang raib entah kemana.

Para penganut Protestan Huegenot yang tidak mau ikut agama Katolik, akhirnya pindah ke Belanda, Inggris, Irlandia, Scotlandia, Denmark. Swedia, Swiss, Amerika Utara, Karibia, Afrika, hingga Hindia Timur.

Perang agama memang memberikan dampak yang menyakitkan sekaligus mengerikan. Dampak yang terjadi memerlukan waktu yang panjang untuk memulihkannya.

Baca Juga: RS Hermina Depok Gelar Seminar Awam Jantungku Sehat Hidup Penuh Manfaat

Dari Kristen Huegonot itu inilah kemungkinan ada hubungan erat yang kemudian menggiring kisah tentang Cornelis yang mendirikan Kampung Depok Lama atau Kota Depok sekarang. Kisah ini masih dicari kebenarannya, sebab Cornelis sang pendiri Kampung Depok, tidak pernah menampilkan wajahnya secara transparan dan menjelaskan secara tertulis tentang nama Depok.

Namun, ada beberapa orang Depok yang melakukan penelitian secara otodidak selama bertahun-tahun tentang berdirinya Kampung Depok Lama yang kemudian orang-orangnya mentahbiskan diri menjadi Kaoem Depok seperti yang dijelaskan di kisah sebelumnya.

Salah seorang dari mereka adalah Ronald M. Jonathans, SE, bukunya yang berjudul Cornelis Chastelein Sang Penemu Depok, menuturkan bahwa pada 24 Januari 1674, saat Cornelis usia 17 tahun, ia berlayar ke Oost-Indie (Indonesia) dengan menumpang kapal t'Hujis te Cleef.

Baca Juga: Hindari Penggunaan Obat untuk Anak, Perawatan Ringan Bisa Gunakan Balsam

Setelah menempuh perjalanan selama 223 hari, tepatnya 16 Agustus 1674 ia tiba di Batavia, lalu bekerja di VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) sebagai boekhouder di Heeren XVII.

Karirnya melesat cepat, mulai dari boekhouder lalu meningkat ke grootwinkelier, meningkat lagi ke opperkoopman des casteels hingga tahun 1691.

Seiring berjalannya waktu, Cornelis mulai merasa ada yang tidak beres dengan kebijakan politik dagang yang dibuat Gubernur Jenderal Van Outhoorn.

Kebijakan ini bertentangan dengan agama yang dianutnya, yaitu Protestan sejati atau Huegenot. Ia memutuskan berhenti bekerja di VOC yaitu persekutuan dagang asal Belanda yang memonopoli aktivitas perdagangan di Asia.

Keluar dari VOC, Cornelis mulai serius menekuni bidang pertanian. Awalnya ia membeli tanah di daerah Gambir dekat Senen, Batavia pada 1673. Lalu pada tahun 1695 ia membeli tanah lagi di Seringsing (Serengseng Sawah sekarang).

Pada tahun 1696 ia juga membeli tanah di Mampang, Depok, di Karang Anyer pada 1712, dan tahun 2714 ia kembali membeli dua persil tanah di seberang kali Ciliwung.

Baca Juga: Ini yang Disampaikan Guru Besar FEB UI, Ada 5 Hal Penting dalam Kebijakan Moneter dan Keuangan

Tujuannya membeli tanah-tanah itu ia ingin membuka hutan, berkebun dan menggarap tanah-tanah pertanian, juga mengelola sawah-sawah Contoh yang ia wujudkan di daerah Kwini (Jakarta Pusat sekarang), tempat itu kemudian dijadikan kebun kopi dan kebun binatang. Begitu juga Lapangan Banteng, daerah itu dahulu merupakan kebun tebu.

Cornelis Chastelein kemudian mengambil 150 orang tenaga bantuan yang berasal dari Bali, Sulawesi Selatan (Makassar), Nusa Tenggara Timur (NTT), Bengali dan India, mereka bekerja secara penuh untuknya.

Seiring berjalannya waktu, mereka yang kemudian disebut sebagai Kaoem Depok atau Belanda Depok, meski secara fisik warna kulit dan rambut sama persis dengan orang asli Indonesia, para budak ini mulai mendiami Kampung Depok Lama.

Baca Juga: Sinopsis Film Horor Di Ambang Kematian, Usaha Gadis Muda Memutus Rantai Pesugihan Keluarganya

Tiga tahun setelah membeli areal pertanahan di Depok, Cornelis membuat surat wasiat untuk membebaskan para pekerjanya dari ikatan perbudakan. Ia menghibahkan tanah, harta dan uangnya kepada para mantan budaknya dengan adil dan merata.

Lelaki yang berdarah Prancis itu kemudian menikah dengan Catharina van Oualbergh, mereka memiliki anak tunggal yang diberi nama Anthony Chastelein, yang kemudian menikah dengan Anna de Hann. Sayang Anthony tak berumur panjang, ia meninggal di usia muda pada 1715. Setahun setelah suaminya meninggal, Anna menikah lagi dengan F. de Witte van Schooten.

Dia dan keturunannya kerap mengutak-atik peninggalan Cornelis Chastelein. Padahal, sebelum wafat Cornelis telah mewariskan sebagian kekayaannya pada putranya Anthony dan dua anak angkatnya serta ibu mereka.

Baca Juga: Ikutan Yuk! Lomba Foto dan Tulisan Anugerah Pewarta Astra 2023, Hadiahnya 4 Motor Honda CBR250RR

Keinginan Cornelis untuk menyerahkan harta miliknya kepada para pekerjanya, membuat ia harus berulang-ulang kali menulis konsep surat wasiat. Perubahan konsep itu berlangsung hingga lima kali. Inilah sekilas perjalanan Cornelis hingga memasuki Depok.

Ia mengambil dua belas pekerja atau budak dari seluruh Indonesia dan membebaskan mereka dari perbudakan, lalu memberikan mereka tanah-tanah di Depok Lama miliknya, dan para budak yang sudah dibebaskan itu, kemudian mengolah tanah-tanah mereka sehingga menjadi milik pribadi.

“Ibu yakin Cornelis memiliki niat baik dengan membebaskan para budak yang ia pekerjakan di tanah-tanah perkebunannya. Buktinya ia memberikan dua belas marga kepada mereka dan hal ini untuk membuktikan bahwa mereka adalah manusia-manusia merdeka yang bebas menentukan arah kehidupan mereka sendiri.” Ucap Ibu.

Baca Juga: Kembangkan Riset di Bidang Industri, UI Siap Berkolaborasi dengan KIT Korsel

Beragam versi tentang keberadaan Kampung Depok Lama dahulu, akhirnya membuatku berkesimpulan kalau kota yang dulunya teduh, sejuk akibat embun yang berasal dari aliran sungai Ciliwung, kini menjadi hunian yang padat oleh penduduk yang datang dari berbagai provinsi di Indonesia.

Terlebih lagi dengan sisi positif berdirinya Universitas Indonesia yang merupakan magnit bagi para pelajar berada di lingkungan Kota Depok dan telah menjadi ikon bahwa Depok juga identik sebagai kota pendidikan. (***)

Reporter: Maulana Said