Sejarah Depok, Kampung Liok, Rawa Besar, Citayam dan Engkong Thio Tengljun
ruzka.republika.co.id--Wartawan senior yang juga novelis, Fanny Jonathan Poyk meluncurkan buku Sebuah Novel Depok, Tentang Ibuku, Kota Depok, Feminisme, Filsafat Kehidupan dan Cinta yang diterbitkan Kosa Kata Kita (KKK) pada September 2023. Berikut kisah, Kampung Liok, Rawa Besar, Citayam dan Engkong Thio Tengljun.
Ibuku yang masuk ke dalam lingkungan Kaoem Depok, dia diterima dengan tangan terbuka oleh para warganya. Terlebih lagi Ibu kemudian menikah dengan Ayahku yang bermarga Jonathans, salah satu marga orang Depok Lama.
Lagi-lagi keahlian Ibu memasak juga membuat para penduduk Kampung Depok Lama menyukainya. Dan kisah Ibuku tentang perjalanan hidupnya pun berpadu di sana.
Dalam kenangan Ibu yang berkompilasi dengan ingatan tentang masa kecil dan remajanya, dia selalu menuturkannya dengan penuh semangat dan mata berbinar.
Baca Juga: Rombongan Bus Wisata SMPN 3 Depok Alami Tabrakan Beruntun di Tol Subang
Seingat ibu, di tahun 1940an, kala dia masih remaja berusia sekitar 13 tahun, dia kerap diajak neneknya ke Kampung Depok Lama dan dis terpesona melihat orang-orang yang berasal dari seluruh Indonesia itu lancar berbahasa Belanda.
Dalam kisahnya, menurut ibu, koloni kecil yang bernama Kampung Depok Lama, memiliki tradisi kehidupan yang sedikit berbeda dengan kampung-kampung di sekitarnya. Perbedaan itu apalagi kalau bukan dalam hal berbahasa, dalam hal ini bahasa Belanda.
Contoh perbedaan itu terdapat di Kampung Liok, Citayam, Bojong Gede, Cilebut atau Parung. Kelima kampung ini masuk dalam kecamatan Bogor, Jawa Barat.
Baca Juga: Pemkot Bekasi Tak Batasi Pembelian Beras dalam Kemasan
Setahuku Kampung Citayam yang paling dekat dengan kampong Liok, kampung Ibuku, kampung ini berada di sebelah selatan Kota Depok. Di kampung ini perpaduan dialek Betawi dan Depok terdengar unik.
Citayam berasal dari Cit atau Peuncit dan Ayam. Jika disambung menjadi Pameuncitan Ayam yang berasal dari Bahasa Sunda. Dalam Bahasa Melayu artinya pemotongan ayam.
Dahulu Citayam tempat persinggahan para pedagang dari berbagai suku bangsa, khususnya Timur Tengah. Penduduk Citayam percaya kampung mereka dilindungi oleh makam keramat yang ada di desa mereka. Entah siapa nama sosok yang ada di makam itu. Usia makam itu menurut prediksi Ibuku sekitar 4-5 abad yang lampau.
Baca Juga: Pelaksanaan Bedah Rumah TMMD di Kota Depok Capai 80 Persen
Dulu, di Citayam banyak kebun dan gudang karet milik Belanda. Ibuku sering bermain ke kebun karet itu dengan mengendarai sepeda merek Fongres yang dibelikan ayahnya, yaitu Engkongku.
Karena tidak begitu jauh dari Kampung Liok, Citayam menjadi pilihan Ibu dan adiknya Nonah untuk jalan-jalan. Di kampung Citayam ada beberapa ragam suku, ada Betawi, Jawa dan China.
Penduduk yang tinggal di kampung Citayam sering berbelanja di pasar Liok, sebuah pasar tradisional yang tak jauh letaknya dari Rawa Besar. Rawa Besar yang dulunya luas dan bersih, sering didatangi warga Citayam untuk berenang dan memancing ikan.
Hingga sekarang air Rawa Besar tidak pernah surut, Kampung Liok yang menjadi bagian dari Rawa Besar, tetap menjadi perkampungan yang penuh dengan dinamika serta percampuran budaya yang beragam. Orang-orangnya kreatif dengan perputaran perekonomian skala kecil dan menengah untuk menambah penghasilan keluarga.
Rawa besar yang berdekatan dengan rumah Ibu, dahulu memiliki luas sekitar 12,1 hektar, barangkali luas rawa itu mulai menyusut akibat tumbuhnya rumah-rumah sederhana di sekitarnya.
Nama Rawa Besar kemudian berubah menjadi Situ Rawa Besar, lokasinya di Jalan Pakis No. 106, Kelurahan Depok Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok.
Baca Juga: Menuju Kota Depok Bebas Stunting, 113.420 Balita Diberi Vitamin A Gratis
Kota Depok sendiri memiliki 25 situ atau rawa yang tersebar di wilayah Timur, Barat dan Tengah. Situ Rawa Besar kemudian dijadikan sebagai konservasi dan tempat olahraga air juga destinasi wisata alam serta pemancingan oleh Pemerintah Kota Depok.
Kampung Lio atau Liok sendiri, dihuni oleh beragam suku. Ada etnik Sunda, Jawa, Betawi dan China. Kampung ini dulu terkenal dengan warganya yang mampu mengolah tanah menjadi gerabah.
Menurut Pengurus Bidang Sejarah dan Aset Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein, almarhum Ferdy Jonathans, sejarah kampung Liok hingga para penduduknya ahli membuat gerabah, erat kaitannya dengan campur tangan Cornelis Chastelein sang Tuan Tanah Depok.
Baca Juga: Waspada Musim Kemarau Rawan Kebakaran, Terjadi Kebakaran Ruko di Kampung Bulak Timur Depok
Cornelis dan anak buahnya melatih penduduk kampung ini untuk membuat gerabah dan batu bata. Yang paling mahir membuatnya adalah para mantan budak sang tuan tanah yang sudah dibebaskannya sejak tahun 1714.
Awalnya yang memiliki pabrik gerabah dan batu bata para mantan budak itu sendiri. Selain gerabah dan batu bata, mereka juga diajarkan membuat ubin dan tembikar. Perkembangan produksi gerabah, batu bata, ubin dan tembikar meredup pada tahun 1960-an.
Dahulu nama Liok identik dengan tempat pembakaran bata merah dan gerabah. Kampung Liok, yang masuk ke dalam Kelurahan Depok, sekarang memiliki empat Rukun Warga. Lokasi kampung, berdekatan dengan Kantor Pemerintah Kota Depok dan Situ Rawa Besar.
Baca Juga: Wali Kota Depok, Shalat Istisqa Sebagai Bentuk Ikhtiar Memohon Diturunkan Hujan
Sekarang, Kampung Liok telah menjadi pemukiman padat yang dihuni ribuan warga. Gang-gang sempit kampung menjelma bagai labirin yang dinaungi tembok bangunan. Penduduk yang padat membuat kampung itu tampak kurang terawat dan tertata indah.
Terlebih lagi dengan padatnya kendaraan yang berlalu-lalang, area bisnis di tiap halaman rumah dan perkembangan penduduknya yang pesat, membuat kampung itu terkesan penuh sesak oleh hunian, juga manusia.
Budaya yang telah tercampur dengan khas di Kampung Liok, membuat siapa pun yang bertandang ke sana, akan terkesan dengan gaya bahasa para penduduknya.
Barangkali, kata Liok juga diambil dari beberapa pendatang China yang bermukim di sana. Salah satunya leluhur Ibu. Menurut cerita Ibu, Engkongku yang berasal dari Tiongkok, memilih Kapung Liok sebagai tempat untuk menetap usai ia meninggalkan Batavia.
Aku hanya sebentar mengenal Engkong, ia jarang memakai marganya yaitu Thio. Aku memanggilnya Engkong Tjun saja. Alkisah mengapa ia memilih menetap di Kampung Liok, itu disebabkan kampung itu tanahnya dinilai subur karena terdapat Situ Rawa Besar. Tanah yang subur jika ditanami apa saja akan tumbuh dengan baik.
Itulah sebabnya, Engkong membeli tanah di situ. Ia lalu hidup dengan bercocok tanam, memelihara ikan dan menjualnya di pasar Liok yang letaknya tak jauh dari rumahnya.
Baca Juga: Disdukcapil Rekam Data Diri Pelajar SMAN 1 Depok
Namun pekerjaan utama Engkong adalah menjadi centeng atau penjaga di rumah-rumah orang kaya sekitar Pasar Liok. Dan sudah seperti yang ku tuturkan, pekerjaan Engkong sebagai centeng karena ia memiliki ilmu silat dan tenaga dalam yang piawai. Engkongku bisa dibilang sakti mandraguna.
Dalam penuturan Engkong Tjun, ia datang ke Depok melalui jalur yang cukup rumit. Ibuku kadang ingat akan perjalanan ayahnya, kadang ada yang terlupakan.
Yang diingat Ibu, Engkong datang ke Indonesia melalui Batavia bersama beberapa pemuda asal Tiongkok. Jalur yang ditempuh dari daratan China juga penuh perjuangan dan misteri. Engkong nekat pergi dari kampung halamannya sebab ia ingin mencari pengalaman dan mengenal dunia luar.
Baca Juga: Ribuan Anak di Kota Depok Dapat Kartu Identitas Anak, Ini Fungsi dan Tujuannya
Baca Juga: Film Horor Bangku Kosong, Teror Siswi Kesurupan
Ternyata, ia benar-benar tak kembali lagi ke negeri China. Sisa hidupnya dihabiskan di Kampung Liok, Depok. Engkong dan teman-temannya juga pernah menjadi kuli panggul di sebuah pelabuhan di negerinya.
Menurut penuturan Ibuku lagi, setelah tumbuh menjadi pemuda yang tampan, ia ikut dan bekerja di kapal-kapal yang berlayar dan masuk ke beberapa pulau di sekitar daratan China. Jiwa petualangannya semakin membuatnya ingin mengenal dunia yang luas.
Menurut kisah, untuk bisa pergi ke luar dari negerinya, Engkong mempelajari ilmu beladiri dan tenaga dalam terlebih dahulu. Itulah sebabnya Engkong mendapat julukan sebagai pendekar. Barangkali Engkong juga menguasai ilmu beladiri Kung Fu dan Tai Chi atau Ju Jit Su.
Ketika ada kapal pengangkut batu bara sekaligus ikan ke luar negeri, Engkong melamar di kapal tersebut dan diterima. Masa itu, pendidikan adalah barang mahal. Engkong tidak pernah mengenyam bangku sekolah, namun ia memperoleh pelajaran dari kerasnya pengalaman hidup yang ia lalui.
Menurut Engkong, yang penting bertubuh sehat, kuat dan punya keberanian, ditambah memiliki ilmu silat dan tenaga dalam, maka dunia bisa ada di dalam genggaman. Engkong meyakini hal itu.
Tiba di Batavia, Engkong Tjun tidak ikut kembali ke kapal yang membawanya dari daratan China. Ia desersi, menyelundup dan menyusup di keramaian pelabuhan, mencari jalan kehidupan baru yang diyakininya bisa memberikan pencerahan pada kehidupan selanjutnya.
Dalam kisahnya, ibu menuturkan, selama pengembaraannya di Batavia, Engkong Tjun bergaul dengan para mafia China dengan gerakan bawah tanah mereka yang penuh rahasia dan terorganisir.
Ibu tidak tahu sampai sedalam mana perkembangan dan kiprah Engkong di dunia hitam yang digelutinya. Tapi menurut ibu, Engkong tak terlena oleh kehidupan mafia yang pernah ia masuki itu.
Ia kemudian memilih jalur sendiri, bergaul dengan jawara Betawi dan mempelajari segala ilmu silat juga ilmu tenaga dalam yang mereka miliki.
Baca Juga: Segera Lapor Jika Ada Bansos di Kota Depok Tidak Tepat Sasaran
Engkong Tjun kemudian mengejawantah menjadi pribumi Batavia, lebih banyak mempelajari tentang perjuangan pribumi yang mulai bergejolak menentang penjajah, yaitu Belanda dan Jepang.
Di samping itu, berkat beragam ilmu kebal dan silat yang dikuasainya, Engkong pun dibaptis menjadi jawara. Entah siapa yang membaptisnya, sebab bertahun tahun kemudian, Engkong mirip Mafioso Italia yang keren dan beken itu, yang pernah ku tonton di film yang berjudul The Godfather.
Namun sekali lagi, Engkong tidak memilih jalur berdarah yang hitam sebagai jalan hidupnya, ia lebih suka menjadi petani sekaligus centeng dari para pedagang China dan pribumi kaya di sekitar Pasar Liok.
Baca Juga: 37 Pelajar di Kota Depok yang Hendak Tawuran Diamankan Polisi
“Barangkali Engkong mu hanya ikut-ikutan saja Tapi menurut cerita Emak Enih, Nenekmu yang melahirkan Ibu dan istri dari Engkong, ia memang petualang dan pendekar sejati.
Engkongmu banyak belajar tentang ilmu kehidupan termasuk ilmu tenaga dalam pada para pendekar Betawi. Konon hingga ilmu menghilangkan raga pun pernah dipelajarinya.
Kata Emak Enih, Engkongmu juga jago memelet atau menggoda perempuan hingga dia terpikat dan tergila-gila pada Engkong. Salah satunya Nenekmu itu," kisah Ibu suatu hari.
Entah ini benar atau tidak, jika melihat wajah dan postur Engkong yang tampan malah lebih tampan dari Jet Lee, bisa jadi banyak perempuan klepek-klepek atau jatuh Cinta padanya, apalagi Engkong memiliki ilmu kanuragan dengan level sempurna.
Aku tertarik akan kisah ini tentang para perempuan yang tergila-gila padanya itu. “Emak Enih juga di peletnya hingga berhasil jadi Istrinya, padahal Emak sudah punya anak tiga dari suami sebelumnya.” Cerita ibu lagi saat itu. Kisah ini sungguh membuatku terkejut.
Aku sangat penasaran mendengar penuturan Ibuku. Cerita pertemuan Engkong dan Nenekku Enih, sangat spektakuler. Sungguh cerita tentang Engkongku ini sangat unik.
Baca Juga: Mick Jagger, Sehat di Masa Tuanya, Ini Rahasianya Menurut AI ChatGPT
Menurut penuturan Ibu, suatu malam, di pesta perkawinan di Kampung Beji yang tak jauh dari Kampung Liok, Nenekku diundang ke perkawinan tersebut. Dia datang diantar dua keponakannya, yang satu laki-laki dan satunya perempuan. Pada masa itu, setiap pesta perkawinan selalu mengundang grup tari Cokek Betawi yang berdandan ala penari jaipongan.
Tari cokek sendiri merupakan tarian asal Betawi, perpaduan dari budaya Betawi, Sunda dan Tionghoa. Tarian ini kemudian dijadikan sebagai sarana untuk menyambut para tetamu yang datang di sebuah pesta, baik itu pesta pernikahan atau sunatan. Gerakan tarian ini berupa gerakan berputar, maju-mundur, berjinjit, serta menggelengkan kepala.
Para penari mengenakan kostum berupa baju kurung dengan bentuk Cheongsam dengan celana panjang yang terbuat dari bahan sutra dilengkapi sehelai selendang. Sementara alat musiknya berupa gambang kromong seperti gendang, suling dan krecekan.
Baca Juga: Begini Cara Menghindar dan Mengatasi Bank Keliling
Gadis-gadis penari cokek cantik-cantik dan muda. Menurut Ibu, di arena seperti itu biasanya para jagoan dan pendekar Betawi berkumpul. Mereka ikut menari atau dalam bahasa Betawinya, ngibing.
Banyak di antara mereka ahli pencak silat dan memiliki kesaktian bisa menghilangkan diri: semacam ilmu kanuragan yang dapat lenyap tanpa diketahui kapan ia menghilang, ada di situ.
Nek Enih yang masih cantik dan bertubuh bagus dengan bokong serta pinggul menyembul tegas, tidak terlihat telah memiliki anak tiga. Dia bagai masih perawan. Kulitnya kuning langsat, kecantikan alami dan kemolekkan ragawi yang dimilikinya, membuat Engkong Tjun terpana.
Baca Juga: Dinas PUPR Kota Depok Tata Trotoar dan Saluran di Jalan Komjen Pol M Jasin
Lelaki asal Tiongkok berwajah tampan dengan mata lebar dani berlesung pipi, terpesona melihat kecantikan Nek Enih.
Engkong yang selalu berpakaian mirip pendekar Betawi dengan dominasi warna hitam, bercelana dan baju pangsi serta ikat kepala, terlihat kian gagah dan perkasa ketika difoto dengan warna dasar hitam dan putih.
Aku memperhatikan foto Engkong dengan seksama, kucoba untuk membandingkannya dengan raut wajahku, adakah ketampanan Engkong turun ke wajahku?
Ah, setelah kutelisik di depan cermin, tidak ada. Wajah ayah terlalu mendominasi termasuk kulitku yang berwarna coklat muda, aku tidak cantik dan berkulit kuning langsat seperti kulit Engkong dan Nenekku. tapi menurut suamiku, aku manis. Well, tak apa, yang penting aku sehat dan memiliki raga yang sempurna.
Di mataku, keseluruhan penampilan Engkong memberikan kesan perkasa, sehingga ia tampak berwibawa dan menjadi sosok yang disegani. Ibu bilang, wajahnya yang kharismatik dan tampan membuat siapa pun yang bicara dengan Engkong akan menunduk penuh hormat.
Mereka tidak berani menatap matanya yang tajam mirip mata elang dan hal ini membuat penampilannya tak beda jauh dengan para pendekar jawara Betawi pada masanya.
Baca Juga: Ini yang Disampaikan Guru Besar FEB UI, Ada 5 Hal Penting dalam Kebijakan Moneter dan Keuangan
Dan mata Engkong yang mirip bintang film Chow Yun Fat itu, menurut Ibu mampu membuat para perempuan dewasa yang menatapnya mabuk kepayang.
Reporter: Maulana Said