History

Buku Novel Sejarah Depok, Romeo dan Juliet, Ciu, Ceki serta Dinasti Ming

Foto ilustrasi Dinasti Ming.

ruzka.republika.co.id--Wartawan senior yang juga novelis, Fanny Jonathan Poyk meluncurkan buku Sebuah Novel Depok, Tentang Ibuku, Kota Depok, Feminisme, Filsafat Kehidupan dan Cinta yang diterbitkan Kosa Kata Kita (KKK) pada September 2023. Berikut kisah Romeo dan Juliet, Ciu, Ceki serta Dinasti Ming.

Pada akhirnya kehidupan bergulir mengikuti waktu. Ibuku merawat Nenek dan Engkong hingga mereka pergi dari dunia ini. Anak-anak Nenek dari suami serta dan juga dari Engkong telah menikah dan menyebar ke seluruh pelosok Depok serta Jakarta.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Menurut kisah, ada tiga saudara Engkong lagi yang datang menyusulnya ke Batavia alias Jakarta. Mereka kawin-mawin dan tinggal di Jakarta Barat.

Baca Juga: SMA IT Insan Mandiri Cibubur Juara 1 Lomba Hiking Rally Pramuka di Ajang Laser XII SMANAMFEST

Ketiga saudara Engkong yang kesemuanya laki-laki itu bernama Thio Hwa Beng, Thio Ok Tjoa dan Thio A Sun. Ketika Engkong masih hidup mereka sering datang ke rumah Engkong di Kampung Liok untuk menginap, minum ciu dan bermain ceki.

Ciu yang dalam bahasa Hokkianya chiu atau ciu rantai, adalah sejenis minuman beralkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi ketela pohon cair yang terbuang dalam proses pembuatan tapai.

Minuman ini asalnya dari desa Sumpiuh Banyumas dan Cikakak Ajibarang, Jawa Tengah. Kadar alkohol di minuman ini cukup tinggi sehingga membuat si peminumnya cepat mabuk.

Baca Juga: Taylor Swift Bawa ‘The Eras Tour’ ke Layar Lebar: Siap Tayang di Bioskop pada 3 November 2023

Namun bagi yang kuat, mereka tidak segera mabuk, mungkin mereka memiliki teknik sendiri untuk minum sehingga tahan meski minum bergelas-gelas, contohnya seperti Engkong dan saudara-saudaranya.

Ciu ada sejak zaman kolonial Belanda, tepatnya sekitar abad 18 yang pada awalnya dikenal dengan nama Batavia Arrack van Oosten. Miras ini dibuat karena bahan bakunya banyak terdapat di Indonesia, seperti beras yang difermentasi, tetes tebu dan kelapa, hingga ketela pohon.

Barangkali karena minuman keras seperti Whiski atau Johny Walker mahal harganya, maka ciu yang jauh lebih murah menjadi pilihan. Ciu tidak berwarna, dia putih Seperti air minum biasa, jika diminum akan terasa pahit dan sampai di tenggorokan rasanya seperti terbakar. Anehnya, banyak orang yang menyukai ciu termasuk Engkong dan saudara-saudaranya.

Baca Juga: Letak Kancing Baju Perempuan dan Laki-laki Berada di Posisi yang Berbeda, Mau Tahu Sejarahnya

Sedangkan permainan judi kartu ceki merupakan kegiatan berjudi tradisional dari suku peranakan China, biasanya dimainkan oleh kaum perempuan. Permainan ini disebut juga dengan judi daun terup purba yang dimulai di negeri China.

Selain ceki ada juga permainan judi yang disebut mahjong. Sesekali Engkong dan saudara-saudaranya bermain mahjong untuk menghibur diri dan rasa kangen pada kampung halamannya.

Tentang kisah kedatangan Engkong sudah kututurkan di awal kisah ini. Engkong muda yang perkasa memang ingin melanglangbuana ke negeri-negeri lainnya, seperti Indonesia.

Mengetahui Engkong sukses di Kampung Liok Depok, Jawa Barat dengan memiliki beberapa ribu meter tanah perkebunan dan pertanian, selain menjadi centeng di pasar Liok, para adik (Engkong anak tertua), tergiur untuk datang ke Batavia.

Tugu kawasan Belanda Depok di Depok Lama.

Dan menurut cerita Ibu, mereka adalah pejuang kehidupan yang pantang menyerah. Setelah mereka tiada, para anak, cucu dan cicit mereka berkecimpung di dunia bisnis, mereka ada yang berdagang emas, berlian, sembako dan memiliki usaha pembuatan dupa atau hio.

Baca Juga: Peringati Hari Rabies Sedunia, Pemkot Depok Gelar Vaksin Rabies Gratis

Karena aku tidak tahu lagi perkembangan mereka selanjutnya, sebab setelah Engkong, Nenek, Ibu dan Ayah meninggal, maka hubungan kekeluargaan kami terputus.

Kini aku lebih dekat dengan keturunan dari anak-anak Ayah dan Ibu juga saudara sepupuku, kami masih kerap datang bersilaturahmi.

“Kisah sejarah datangnya Engkong mu ke Batavia, Ibu rasa ada kaitannya dengan eksodus besar-besaran orang-orang China ke berbagai negara. Setahu Ibu berdasarkan kisah Engkong, selain dia datang untuk mencari pengalaman, mungkin ia resah dengan situasi politik yang ada di negerinya.” Ibuku menduga-duga.

Baca Juga: Depok Kota Penghasil Batik, Ini Sejarahnya

Aku mencoba mencari tahu tentang eksodos itu dari berbagai data, menurutku dengan mengetahui apa yang menjadi dugaan Ibuku tentang Engkong yang meninggalkan negaranya, paling tidak cakrawala di benakku tidak berhenti di tempat dengan pertanyaan yang tak kunjung terjawabkan.

Kisah Engkongku merantau selamanya ke luar dari negeri China, kemungkinan hal itu disebabkan oleh runtuhnya dinasti Ming pada tahun 1644.

Keruntuhan ini kemudian digantikan oleh Dinasti Chi'ing, di mana pada periode dinasti ini, perdagangan Tiongkok dengan Asia Tenggara kembali dibuka.

Baca Juga: Pemkot Depok Raih Penghargaan Kinerja Penangganan Stunting, Dapat Insentif Rp 6,63 Miliar

Inilah yang dirasa menjadi pendorong mengalirnya para imigran ke berbagai negara, khususnya mereka yang berasal dari provinsi Hokkian/Fujian, Kwantung/Guandong (sekitar Macao dan Canton/Guangzhou).

Dari sinilah mereka datang dan masuk ke Asia Tenggara termasuk Indonesia. Para eksodos China masuk ke Indonesia lebih dulu daripada orang Belanda.

Mereka hidup dengan damai, mata pencaharian mereka selain berdagang, bertani, juga menjadi tukang. Kala itu para pendatang asal China datang tidak bisa membawa istri, namun tidak demikian Untuk Engkong dan tiga saudaranya, mereka masih bujangan, berangkat ke tanah Jawa untuk mengadu nasib.

Jadi mereka yang bujangan itu bebas untuk memilih dengan siapa akan menikah kelak. Dan di Batavia lah mereka baru menemukan pasangan lalu menikah serta beranak-pinak. Lagi pula masa itu di China para perempuan dilarang ikut suami mereka pergi merantau.

Mereka harus menunggu hingga sang suami kembali. Namun tak jarang para lelaki Tionghoa yang merantau itu banyak yang menikah dengan gadis setempat, mereka memiliki keturunan lalu banyak yang mengikuti agama si istri.

Rumah saudagar Cina di Kelurahan Pondok Cina, Kota Depok. Rumah tersebut saat ini sudah menjadi sebuah kafe di kawasan Margocity Mal.

Jika para pria Tionghoa itu berhasil di dalam usahanya, maka mereka akan mengadakan pesta pernikahan yang meriah sesuai dengan tradisi mereka. Seperti juga Engkong, mereka yang berhasil di Tanah Jawa dan pulau lainnya yang ada di Indonesia ratarata rajin dan pandai mengelola uang.

Baca Juga: Satpol PP Kota Depok Gelar Operasi Rokok Ilegal, Ribuan Rokok Disita

Dengan kedatangan para lelaki Tionghoa ke pulau Jawa yang subur dan makmur itu, tempat itu menjadi hunian yang membuat mereka tak ingin kembali ke kampung halaman.

Orang-orang Tionghoa yang sudah lama menetap di Tanah Jawa sangat dekat dengan raja-raja Jawa, mereka juga ada yang diberi gelar bangsawan dan dinikahkan dengan putri keraton.

Juga sebaliknya, gadis gadi keturunan Tionghoa, ada vang dijadikan selir oleh raja-raja Jawa, contohnya, seperti istri Sunan Gunung Jati dari Cirebon.

Baca Juga: Mau Tahu Sepak Terjang Beckham? Tonton Film Dokumenternya di Netflix

Dugaan awal masuknya bangsa Nusantara, diketahui berkat penemuan benda arkeologi yang dilansir dari buku Tionghoa dalam pusaran politik yang ditulis sejarawan Benny G Setiono.

Penemuan benda kuno yang memperlihatkan awal masuknya bangsa China, antara lain tembikar di Jawa Barat, Lampung dan Kalimantan Barat, juga kapak batu dan zaman Neolitikum.

Artefak itu memperlihatkan kesamaan dengan yang ditemukan di China pada periode yang sama.

Penemuan lainnya adalah genderang perunggu berukuran besar di Sumatera Selatan, yang termasuk dalam budaya Dongson atau Heger Type I pada periode 600 SM hingga abad ke-3 Masehi.

Baca Juga: Musim Kemarau, Dinsos Depok Distribusikan 1.050 Dus Air Minum untuk Warga Terdampak Kekeringan

Nama Dongson diambil dari desa kecil di Thanh Hoa, Teluk Tonkin, di sebelah utara Vietnam. Genderang perunggu dengan tinggi sekitar 1 meter dan berat lebih dari 100 kg itu memiliki kesamaan dengan genderang perunggu asal China yang berasal dari masa Dinasti Han.

Penemuan sejumlah benda arkeologi itu memperlihatkan bahwa ada kemungkinan terjadi lalu lintas pelayaran yang dilakukan masyarakat Tionghoa di China dengan masyarakat Nusantara.

Dugaan itu juga didukung dengan berbagai kronik dan cerita dari Dinasti Han, terutama pada masa pemerintahan Kaisar Wang Ming atau Wang Mang (6 SM - 1 SM). Pada masa itu, bangsa China mengenal Nusantara dengan sebutan Huang Tse.

Perkembangan lebih lanjut adalah dengan penemuan adanya koloni masyarakat Tionghoa di Tuban Gresik. Jepara, dan Lasem pada pemerintahan Kerajaan Airlangga.

Penemuan serupa juga terdapat di Banten Masyarakat Tionghoa dapat bermukim dan menjadi koloni setelah mereka mampu beradaptasi dan diterima dengan masyarakat setempat.

Baca Juga: Mick Jagger, Sehat di Masa Tuanya, Ini Rahasianya Menurut AI ChatGPT

Koloni itu kemudian terus berkembang hingga terjadi pembauran. Hal ini terlihat pada ritual dari sejumlah warga etnis Tionghoa yang menggelar ritual tolak bala di Vihara Dharmayana Kuta, Bali.

Ritual tersebut dilakukan untuk menetralisir aura negatif serta penyucian menyambut Tahun Baru Imlek 2570.

Historiografi Bangsa China memiliki peran besar dalam historiografi Indonesia. Salah satu tokoh yang mencatat mengenai eksistensi Nusantara atau Indonesia sejak awal adalah Fa Hian, yang dikenal juga sebagai Fa Hsien, Fa Hien, atau Faxian.

Benny G Setiono menulis bahwa Fa Hian yang merupakan seorang pendeta atau biksu itu mengunjungi Pulau Jawa pada 399-414.

Baca Juga: Tidak Hanya Lansia, Berjemur saat Matahari Pagi Baik untuk Semua Usia

Saat itu dia dalam perjalanan menuju India. Perjalanan Fa Hian itu ditulis dalam buku berjudul Fahueki. Jejak penjelajahan Fa Hian itu kemudian diikuti oleh Sun Yun dan Hwui Ning dalam perjalanan ziarah menuju India.

Catatan perjalanan lain yang memperlihatkan eksistensi Nusantara dalam ekspedisi bangsa China adalah yang ditulis oleh I Tsing. Pendeta I Tsing berangkat dari Cantor menuju Nalanda di India. Perjalanan itu ditulis secara detail dalam buku Nan Hai Chi Kuei Fa Ch'uan dan Ta T'ang Si Yu Ku Fa Kao Seng Ch'uan.

Secara spesifik, arkeolog Uka Tjandrasasmita dalam buku Arkeologi Islam Nusantara (2009) menulis bahwa | Tsing dalam perjalanan dari India singgah di Shih Li Fo Shih, yang dikenal juga sebagai San Fo Tsi atau Fo Shih.

Baca Juga: FEB UI Kaji Peran Pemasaran Islam Sebagai Disiplin Ilmu Baru dalam Pengembangan Industri Halal di Indonesia

Arkeolog dan sejarawan George Cocdes mengidentifikasi Shih Li Fo Shih sebagai Sriwijaya.
Identifikasi ini sebagaimana dikenali dalam prasasti tertua Kadatuan Sriwijaya di Sumatera Selatan.

Sejumlah catatan sejarah itu menginspirasi para penjelajah China untuk mendatangi Nusantara. Salah satu penjelajah China yang kemudian memiliki pengaruh besar dalam perkembangan masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah Laksamana Cheng Ho.

Uka Tjandrasasmita menulis bahwa ekspedisi China yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dilakukan sejak pemerintahan Dinasti Ming di bawah Kaisar Cheng Tsu (1403-1424).

Cheng Ho disebut bertujuan untuk meyakinkan kerajaan di wilayah Laut Selatan dan Barat untuk mengakui Kekaisaran China. Perjalanan itu kemudian tercatat dalam jurnal berjudul Ying-Yai ShengLan yang diterjemahkan oleh JVG Mills (1970).

Sejumlah catatan sejarah itu memperlihatkan bahwa masyarakat Tionghoa sudah ada sejak lama dan menjadi bagian penting dalam terbentuknya masyarakat Indonesia di masa depan.

Baca Juga: Segera Lapor Jika Ada Bansos di Kota Depok Tidak Tepat Sasaran

“Itu sebagian kisah tentang Engkong mu. Sejarah kedatangan orang Tionghoa ke Indonesia yang pasti ada dalam berbagai versi. Namun kisah tentang Engkong adalah nyata, Ibu tahu siapa Engkong, karena masa kecil Ibu dekat dengannya. Ia sosok yang jujur dan tidak suka berbuat yang menyalahi peraturan, khususnya dalam peraturan sebagai warga Negara.” ujar Ibuku, Maria Magdalena Jonathans alias Thio Ok Nyo.

Dan sejarah tentang Engkong dan saudara-saudaranya secara perlahan lenyap tertelan waktu. Ketika Engkong meninggal menyusul Nenek ku, Emak Enih yang melahirkan Ibuku, yang pergi lebih dulu ke haribaan Ilahi, ia merasa sangat sedih. Tubuhnya mulai sakit-sakitan.

Engkong tidak bersemangat lagi menghadapi kehidupan ini. Ia merasa separuh nafasnya telah pergi. Nenek adalah belahan jiwanya dan dia selalu bilang ingin ketemu Nenek. Setahun setelah Nenek tiada.

Baca Juga: Batik, Warisan Budaya Jadi Identitas Bangsa

Engkong menyusulnya, ia meninggal tidak mengalami sakit yang berat. Engkong hanya bilang masanya sudah hampir berakhir di bumi. Tanpa Nenek, tak ada lagi yang bisa membuatnya bahagia.

Cinta Engkong pada Nenekku yang cantik, lembut dan baik hati itu, mungkin mirip kisah klasik seperti di dalam novel Romeo dan Juliet karangan William Shakespeare.

Bila Romeo dan Juliet merupakan kisah cinta yang tragis akibat permusuhan dua keluarga yaitu keluarga Capulet dan Montague, Engkong dan Nenek tidak, namun seperti yang telah ku ceritakan, Nenek ikut Engkong setelah ia meludahi lelaki dari Tiongkok itu. Dia meninggalkan suami sah dan anak-anaknya.

Baca Juga: Cukupi Kebutuhan Vitamin D dengan Bantuan Sinar Matahari, Makanan, dan Olahraga

Kisah cinta Nenek dan Engkong memang memiliki alur cerita yang berbeda, namun cinta tetap terletak di rasa yang tidak bisa dihalangi oleh apapun. Cinta ya tetap cinta, seperti apa sumber awalnya, bila dia datang sudah tak bisa terelakkan.

Dia seperti panah amor yang mencari arah dan jalan menuju ke sasaran tanpa meliuk ke kiri maupun kanan, lurus seperti kacamata kuda. Dan seperti akhir dari sebuah kehidupan yang memiliki kisah sendiri sendiri, kisah hidup Engkong yang epic itu berakhir setelah Nenek tiada.

Ia meninggal di usianya yang ke delapan puluh lima, kala Depok masih berada di masa pemerintahan sebelum orde baru, masa di saat tentara Jepang baru saja menyerah dan kembali negeri asal mereka, Nenek dan Engkong meninggalkan gejolak revolusi yang masih tersisa.

Baca Juga: Warga Kota Depok Tolak Bank Keliling, Dibentuk Posko Pengaduan

Andai keduanya masih hidup, mereka pasti akan terpana oleh pesatnya pembangunan di Depok, kota kelahiran mereka. Nenek tentu tak akan menyangka bahwa tanah-tanah warisan orangtuanya telah dijual oleh anak serta cucu dan cicitnya kepada taipan pengusaha hotel dan properti.

Ya, kampungnya, kampung Manggah telah berubah menjadi daerah perumahan mewah, pertokoan serta mal-mal mewah yang berbalut hedonisme juga borjuisme.

Engkong pun pasti tak akan menyangka kalau Kampung Liok tempat ia menetap, telah menjadi kampung satelit dengan banyaknya rumah dan penduduk yang datang dari berbagai penjuru kota.

Baca Juga: Dinas PUPR Kota Depok Tata Trotoar dan Saluran di Jalan Komjen Pol M Jasin

Di samping kampungnya terletak stasiun kereta api dua arah, jalan layang atau fly over serta beragam pertokoan dan jalan raya yang padat serta riuh oleh suara kendaraan.

Nenek Enih dan Engkong Thio Teng Tjun adalah sebuah kisah dari catatan sejarah yang selalu ku kenang di sepanjang hidupku. Kisah Nenek Enih dan Engkongku barangkali lebih Seru dari cerita Romeo dan Juliet yang tak lekang oleh waktu itu.

Alur cerita mereka menjadi bagian dari perjalanan waktu dengan setting tempat serta skenario yang berbeda. Jika kisah Romeo dan Juliet yang ditulis Shakespeare sastrawan asal Inggris pada awal kariernya yang tidak happy ending, karena di dalamnya merupakan tragedi sepasang kekasih yang saling jatuh cinta.

Baca Juga: Ini Tips Hilangkan Kerutan Wajah dengan Face Yoga

Nenek Enih bin Juned dan Kakekku Thio Teng Tjun tidak. Cinta mereka berakhir pada satu titik yang tidak terpisahkan, Yaitu rindu untuk tetap saling bertemu, meski di alan yang berbeda. Dan Engkong menyusulnya dengan rasa kangen serta kepasrahan total bahwa suatu saat dia akan bertemu kembali dengan pujaan hatinya, Nenekku Enih.

Sejarah kisah Romeo dan Juliet yang awalnya merupakan roman tragis berdasarkan cerita di Italia, lalu diubah menjadi sajak dalam kisah The Tragical History of Romeo and Juliet, yang digarap ulang oleh Arthur Brooke pada tahun 1562 dan diceritakan kembali dalam bentuk prosa di Palace of Pleasure oleh William Painter pada tahun 1582.

Shakespeare kemudian meminjam ide dari keduanya dan lebih mengembangkan karakter pendukung di kisah itu. Terutama Mercutio dan Paris.

Baca Juga: Ini yang Disampaikan Guru Besar FEB UI, Ada 5 Hal Penting dalam Kebijakan Moneter dan Keuangan

Hal ini ia lakukan untuk memperluas jalan ceritanya. Kisah ini ditulis antara tahun 1591 hingga 1595 dan drama Romeo dan Juliet dipentaskan pertamakali pada tahun 1597.

Di drama ciptaan Shakespeare, ia memakai unsur dramatic. Efek seperti perubahan antara komedi dan tragedi, menjadi ketegangan yang memuncak.

Perluasan karakter kecil dan penggunaan sub-plot untuk membubuhi cerita, telah dipuji sebagai salah tanda awal bakat dramatik Shakespeare. Drama ini berasal dari berbagai bentuk puisi dan karakter yang kadang-kadang mengubah jalur pengembangan karakter. Contohnya Romeo yang semakin mahir menyusun sonata selama cerita berlangsung.

Romeo dan Juliet telah berkali-kali dipentaskan dalam bentuk drama, film, musical dan opera. Selama restorasi Inggris, drama ini dihidupkan kembali dan direvisi oleh William Davenant.

David Garrick juga mengubah beberapa bagian dan adaptasi opera oleh Georg Benda menghilangkan banyak aksi dan menambah akhir yang bahagia.

Pada abad ke-19, ditampilkan kembali dengan menggunakan naskah asli Romeo dan Juliet oleh Charlotte Cushman, kisah itu lebih kepada realis.

Baca Juga: Sinopsis Film Horor Di Ambang Kematian, Usaha Gadis Muda Memutus Rantai Pesugihan Keluarganya

Kemudian pada abad ke-20 Romeo dan Juliet diadaptasi ke dalam versi filmnya pada tahun 1936. Kisah Romeo dan Juliet yang berakhir menyedihkan itu, tidak terjadi pada Nenek dan Engkong.

Bila Nenek tidak memegang sebilah golok dan bersedia bunuh diri atau dibunuh demi Engkong, barangkali ceritanya akan lain. Bisa jadi tragedi Romeo dan Juliet akan menimpa mereka.

Namun, ayah dari Nenekku Enih akhirnya menyerahkan keputusan itu pada putrinya. Dan aku pun bisa lahir ke dunia yang fana ini. (***)

Reporter: Maulana Said